Tertidur lagi...
Tanpa mengerti jawaban kisah terindah tanpa hadirnya
Adalah benci menebus malam tak berganti
Merasakan pagi enggan menyapa
Terusik lagi...
Tanpa paham suara pikiran melupakan hadirnya
Adalah bimbang menawar larut tak beralih
Merasakan damai tak lagi mesra
Terucap lagi..
Tanpa sadar menyuarakan bayang hadirnya
Adalah sakit malam tersurat panjang
Menyita waras kehdupan
Terus menjadi-jadi...
Tanpa sukar menjelma hadirnya
Adalah peluk perasa hampa jiwa
Menghadirkan debar maha dahsyat
Semakin terjadi...
Tanpa transisi terangkan hadirnya
Redupkan jiwa tersudut jauh meredam
Adalah suara pikiran malam panjang
Merasakan berat kepala mengangkat tegak sisa kehidupan
Hanya Rumah Kenangan, Bahasa Rindu, Budak Jarak, Amarah, Ucap Mata, dan Aroma Takdir.
Kamis, 27 Oktober 2016
Jumat, 21 Oktober 2016
CARAKU
Sederhana saja...
Sebentar lagi waktu itu tiba. Aku melihat jam dinding begitu bersemangat menyambutnya. Seakan membuaiku dalam ketidaksabaran memulai hening malam di ruang yang sudah ku siapkan. Meskipun aku sendirian, namun senyumku tidak akan hilang. Karena akan tiba waktu yang mengajakmu bahagia disana. Ingin rasanya segera menghubungimu, memastikan kebahagianmu tak beralih. Akan tetapi; aku memutuskan untuk tidak menghubungi. Bukan karena tidak percaya diri. Tapi, ada cara yang terbaik tuk merajut sesuatu tanpa dusta.
Hanya mampu mengingat tak bisa berucap...
Tiada sikap yang bisa ku
tunjukan padamu. Bukannya aku gugup dan takut memulai suara melalui ponselku. Bukan pula tak ingin mencoba membentuk kotak istimewa atau
membungkus bening mawar merah yang indah. Untuk apa bila semua itu ada,
namun kau tak merasakannya. Lebih baik ku angkat tangan sedada agar mudah kau merasa karena restu
maha segalanya. Biarlah terlihat bodoh atau disebut pengecut yang memilih
untuk tidak diketahui sama sekali.
Dan teruntukmu, bunga terindahku...
Jangan lupa untuk tetap tersenyum ya, semoga semua harapanmu terwujud, mimpi-mimpi indahmu terjamah, dan jadilah pribadi yang luar biasa dengan lembaran angka hidup yang baru ini.
Selamat ulang tahun...
Kamis, 20 Oktober 2016
KEPADAMU RUANG REDUP (5.45)
Kepadamu ruang redup...
Takkan pernah rajuk
membujuk potret kusam masa silam. Mulanya sendu berangin, melayang-layangkan
daun yang ingin kembali pada rantingnya yang masih mengangah sigap di atas tuan
petuah. Bukan kembali meranting, tapi, ia melayang semakin jauh dan hilang. Begitu
malang tuan yang tak berniat membuang harus merayakan kehilangan. Tak
kepalangtanggung sumpah-sumpah bencanapun tercaci maki memakan daging hati,
melumat seisinya yang bersemikan cinta suci.
Kepadamu ruang redup...
Bunga malam kala itu
menumpahkan embun tak berwadah. Mengalir dengan deras membasahi permukaan yang
ada. Gubahan sukma tersia pula oleh pinta logika suara, sepasang jiwapun
berputus asa kala mendayung perahu di samudera berbeda. Tak kuasa lagi hati
menuai diksi tuk memanipulasi cinta yang suci. Bertahan diri menanggung segala
derita misteri.
Kepadamu ruang redup...
Kini pusaka cinta suci
yang tersemat di hati, mulai berbenah mata. Meratapi lentera hidup yang kini
tak bermakna. Ia mencoba Mencari sejumlah obrolan singkat melalui semesta. Dalam
keterasingan jiwa yang berduka akan temu yang tak kunjung tiba. Setiap pukul
lima empat puluh lima sore menjadi pilihan terbaiknya. Kala manja bersama angin
di pesisir yang diramaikan ombak, sering pula dihiasi sepasang merpati
bertengger di atas karang yang terselamat akan kebasahan serta dilengkapi
dengan langit kemerahan yang meluas ke seluruh penjuru mata angin. Ratapannya
singkat, mewakili perasaan hebat yang terguncang dahsyat. Dan kini mulai
membengkak dengan senyum kepalsuan.
Kepadamu ruang redup...
Tiada bunga yang
bermekaran ingin layu dalam nafas yang teramat panjang. Bagai pucuk yang tak
beranak sama sekali di sekitarnya. Menjadikan sepi merayukan sendu bernuansakan
cinta, guna menghitung-hitung hari yang terus berganti. Berharap relung
terobati meskipun tiada terikat janji ketika menyuarakan mimpi. Sungguh
malangnya nasib dua hati yang kini beradaptasi menghidupkan kembali sejumlah
asa yang tersia masa. Menjaga pusaka cinta yang termakan jarak. Tanpa peralihan
jiwa, tetap bertahta tanpa sepengetahuan bersama.
Rabu, 19 Oktober 2016
KITA DAN KEADAAN
Bila saja ada yang lebih menyenangkan dari mengingatmu
Mungkin aku tak sebegitu pilu menghabiskan waktu
Bukan niat beralasan tuk merapuh karenamu
Tak sedikitpun niatanku melibatkanmu mendesak waktu mencari temu
Bila mungkin kau tahu tentang aku
Adakah kesamaan diantara kita prihal merindu
Atau kau tak mau membeberkan beban agar senyummu tak hilang
Lengkap dengan deritamu yang kau simpan diam-diam
Pandanganku tak mampu menembus langit biru
Guna menerka jejakmu yang terhapus debu
Yang pernah pamit menyuarakan mimpi jauh
Menghilang untuk sementara waktu dari kehidupanku
Tanpa berita aku menderita tak terkira
Hidup yang harus ku susun rapi berantakan sudah
Barangkali aku terlalu membenci kisahnya
Yang mendebatkanku dengan keadaan yang kau juga tak suka
Suara-suara angin menghampiriku, membadai lara meributkan tanya
Sudahkah terhitung berapa lamanya?
Sudahkah kau merasa diri bagai hampa sejati?
Ataukah kau sedang menikmatinya? Mungkin saja begitu.
Hingga larik hujan tak lagi mampu memberi sajaknya
Langitpun tak mampu bangkit akan redupnya
Hai...
Bagaimana kabar mimpimu?
Mungkin aku tak sebegitu pilu menghabiskan waktu
Bukan niat beralasan tuk merapuh karenamu
Tak sedikitpun niatanku melibatkanmu mendesak waktu mencari temu
Bila mungkin kau tahu tentang aku
Adakah kesamaan diantara kita prihal merindu
Atau kau tak mau membeberkan beban agar senyummu tak hilang
Lengkap dengan deritamu yang kau simpan diam-diam
Pandanganku tak mampu menembus langit biru
Guna menerka jejakmu yang terhapus debu
Yang pernah pamit menyuarakan mimpi jauh
Menghilang untuk sementara waktu dari kehidupanku
Tanpa berita aku menderita tak terkira
Hidup yang harus ku susun rapi berantakan sudah
Barangkali aku terlalu membenci kisahnya
Yang mendebatkanku dengan keadaan yang kau juga tak suka
Suara-suara angin menghampiriku, membadai lara meributkan tanya
Sudahkah terhitung berapa lamanya?
Sudahkah kau merasa diri bagai hampa sejati?
Ataukah kau sedang menikmatinya? Mungkin saja begitu.
Hingga larik hujan tak lagi mampu memberi sajaknya
Langitpun tak mampu bangkit akan redupnya
Hai...
Bagaimana kabar mimpimu?
Minggu, 16 Oktober 2016
ABSTRAK
Kamu yang baru
kukenali melalui imajinasi.
Pertemuan hebat yang kunikmati kala itu. Aku yang
sedang sendiri, termenung, menyaksikan keramaian di sekitarku, tanpa kuduga
kamu datang menghampiri memecah keheningan yang sedari tadi menemaniku tanpa
ada rasa pamrih.
Senyummu disaat itu menawar kebahagian. Memudarkan rasa
kesepian yang sempat mengajariku tentang kreatifitas kegilaan. Kehadiranmu
bagai Sesuatu yang sulit kujelaskan dengan diksi kehidupan. Oh.... ramahnya
sikapmu membuat aku terbuai dengan ingatan yang seharusnya ku ingat dengan
benar.
Kamu yang kemarin
kukenali melalui imajinasi.
Terimakasih atas segala kebaikanmu, meluangkan waktu
untuk sekedar menemaniku. Membebaskanku dari penjara hampa yang kerap mengikuti
keberadaanku. Dan semenjak ada kamu semua berubah. Entah itu hanya firasatku
atau memang benar adanya “entahlah” yang pastinya kamu mampu buatku berhasill
mendeskripsikan keterasingan yang selama ini tiada peradilan. Membuatku
membuka alam pikiran untuk menganalogi setiap
detail tentang tidak dan adanya kamu.
Kamu yang
kukenali melalui imajinasi.
Aku punya satu permintaan sederhana, apa aku boleh
mengenali wajah aslimu? Ada banyak peertanyaan yang masih kugantungkan namun
aku memilih satu pertanyaan ini saja.
Kamu yang kukenali melalui imajinasi.
Masihkah sama kemarin dengan hari ini.
"Jika kau mampu sadar maka kau akan tahu siapa aku"
"jika kau hanya menikmati maka kau akan lupa diri"
"Jika kau memilih untuk diam dan tidak bergerak hanya karena aku membuatmu nyaman maka kehidupanmu tidak akan berubah"
***
Sabtu, 15 Oktober 2016
OCEHAN TERHADAP JARAK
Sebuah peleraian terlerai tanpa pengerai
Berakhir sebelum dimulai....
Sudahlah aku dikejutkan suara pikiranku
Tanpa aba-aba pemberitahuan singkat mencekam otakku
Aku kelimpungan....
Sepertinya kita hanyalah korban rahasia waktu
Tidak ada yang salah dalam perhitungan waktu
Hanya saja...
Tidak ada peradilan untuk kejahatan jarak
Tidak ada toleransi mengenai sikap
Pemaksaan menjadi akrab dengan rasa takut
Seolah gemar sekali mengajak ribut
Berakhir sebelum dimulai....
Sudahlah aku dikejutkan suara pikiranku
Tanpa aba-aba pemberitahuan singkat mencekam otakku
Aku kelimpungan....
Sepertinya kita hanyalah korban rahasia waktu
Tidak ada yang salah dalam perhitungan waktu
Hanya saja...
Tidak ada peradilan untuk kejahatan jarak
Tidak ada toleransi mengenai sikap
Pemaksaan menjadi akrab dengan rasa takut
Seolah gemar sekali mengajak ribut
Jumat, 14 Oktober 2016
MDHT
Tragedi puncak mimpi...
Misteri dua hati yang tersembunyi
Mungkin semesta sedang berbaik hati pada mereka
Memberi waktu luang mengajukannya pada Tuhan
Atas segala amin yang terucap merobek keheningan semoga
Dalam pikiran yang keguguran
Denyut nadinya tak kehilangan rima
Walau tak sempat melahirkan kenangan
Misteri dua hati yang tersembunyi
Mungkin semesta sedang berbaik hati pada mereka
Memberi waktu luang mengajukannya pada Tuhan
Atas segala amin yang terucap merobek keheningan semoga
Dalam pikiran yang keguguran
Denyut nadinya tak kehilangan rima
Walau tak sempat melahirkan kenangan
Kamis, 13 Oktober 2016
DIA DAN RAHASIA LANGIT
Dia sedang
termenung meratapi keramik persegi
Bertuliskan
sebuah nama yang masih dirahasia Tuhan
Hatinya
menyerupai sungai kecil mengalir deras
Bibirnya
terkatup melepaskan bait doa padat permohonan
Merayu
kemustahilan demi menemukan semoga itu
Dia
merahasiakan butir rindu kepada langit biru
Tentang sebuah punggung yang belum dikenali
Tentang sebuah senyum yang masih dinanti
Tentang sebuah pertemuan yang belum terjadi
Tiada yang lebih indah baginya selain memandangi langit
Rumah terindah jejak perjalanannya menuju entah
Tak lekang olehnya doa-doa yang terbang tinggi membahana
Tanpa gerak lidah ia begitu yakin seluruhnya
Tuhan punya rencana...
Tentang sepasang kekasih yang belum bertemu
Tak ada tangan sedada yang tak berguna
Tentang sebuah punggung yang belum dikenali
Tentang sebuah senyum yang masih dinanti
Tentang sebuah pertemuan yang belum terjadi
Tiada yang lebih indah baginya selain memandangi langit
Rumah terindah jejak perjalanannya menuju entah
Tak lekang olehnya doa-doa yang terbang tinggi membahana
Tanpa gerak lidah ia begitu yakin seluruhnya
Tuhan punya rencana...
Tentang sepasang kekasih yang belum bertemu
Tak ada tangan sedada yang tak berguna
SECANGKIR KOPI MASA LALU
Sering kali aku berbicara dengan jarum jam dalam lamunanku, sekedar untuk memastikan tanda tanya raksasa dalam pikiran sambil menikmati secangkir kopi masa lalu yang memberadakanku tepat di lorong beranda kenangan pertama kali kita bertemu.
Sering kali aku berpikir, apa gunanya pertemuan itu? Sesuatu yang melibatkan dua hati terpedaya oleh buaian kasih sayang tak terduga. Tanpa inisiatif, rindu merenovasi hati bila sedetik saja tidak bertemu. Sedangkan kini menjadi suatu perkara hati saat kreatifitas jarak merumuskan kita pada lingkaran yang berbeda tanpa ada perpisahan. Perkara ini hanya kebetulan sama halnya dengan pertemuan kita yang aku anggap kebetulan juga. Lalu, bagaimana dengan "rindu"? Ia seperti anak kecil yang menggemaskan selalu bermain dan bertanya-tanya lugu tanpa pamrih.
Ketidakhadiran yang selalu hadir sering kali membuat secangkir kopi masa laluku lambat habis. Mungkin aku terlalu menikmati hitam pekat pahitnya. Sampai akhirnya aku lupa sudah berapa lama aku menghabiskan waktu berbicara dengan jarum jam. Padahal, yang ku bicarakan hanya sekedar perasaan yang menjadi ibu dari segala harapan tentang pertemuan silam. Namun, itu menjadikanku menipu diri dengan keindahan-keindahan yang semu. Seperti mengendalikan pesawat terbang sesuka hati, merekayasa dunia untuk mengembalikan waktu yang telah jauh berada di belakangku.
Pada akhirnya, secangkir kopi masa lalu yang kunikmati sedari tadi menuang kesimpulan. Bahwa harapan yang ada telah bertransformasi menjadi cinta. Cinta yang seharusnya kulogikakan tanpa pandang malu, gengsi, dan alasan lain yang membuat terpendam. Selama ini aku cenderung membungkam logika yang memang benar adanya suka kurang ajar dalam berkata jujur. Aku terlambat menyadarinya bahwa logika adalah penasihat yang mencegahku sakit hati dari harapan yang menumbuhkan cinta. Dia sungguh realistis meskipun cara menjelaskannya menampar pipi. Sudahlah, terlalu banyak aku berbicara pun takkan berubah keadaan yang ada. Tidak semua orang beruntung dengan harapan.
Selasa, 11 Oktober 2016
MAHASAKIT
Aku masih mengarungi jalan yang sama
Hanya saja keadaanya berbeda
Kaki kita pernah meninggalkan jejak beriringan
Sebelum ruang dan waktu memandu kita ditujuan yang lain
Aku hanya perlu terpejam untuk melihat keindahanmu
Bagai perpaduan pagi muda dan senja di bibir pantai
Mengingat senyummu adalah cara bunuh diri yang sering kulakukan
Bagai menancapkan belati di dada
Ketika peran sepi sebagai pintu masuk beranda kenangan
Duhai luka mahasakit...
Atas nama segala rintih jiwa yang nyaris mati
Izinkan aku mengikhlaskan kali ini
Agar seni bertarung melawan pesakitan kunikmati
dalam pertempuran ego yang melukai
Hanya saja keadaanya berbeda
Kaki kita pernah meninggalkan jejak beriringan
Sebelum ruang dan waktu memandu kita ditujuan yang lain
Aku hanya perlu terpejam untuk melihat keindahanmu
Bagai perpaduan pagi muda dan senja di bibir pantai
Mengingat senyummu adalah cara bunuh diri yang sering kulakukan
Bagai menancapkan belati di dada
Ketika peran sepi sebagai pintu masuk beranda kenangan
Duhai luka mahasakit...
Atas nama segala rintih jiwa yang nyaris mati
Izinkan aku mengikhlaskan kali ini
Agar seni bertarung melawan pesakitan kunikmati
dalam pertempuran ego yang melukai
BUNGA SENDU
Tak bisa kau terjemahkan secara gamblang
Mungkin belum ingin mengambil kesimpulan atau dalam menyususn kesiapan
Setengah jam kau betah tanpa sepatah kata
Seperti berhadapan dengan lawan berkepribadian ganda
Biasanya kau seheboh pesta kembang api
Kini malah sebisu dini hari
Bibirmu terkatup rapat
Pandanganmu berlari-lari tanpa tujuan
Seakan mencari fungsi perasaan di permukaan
Wajahmu kini mulai memerah
Begitu terlihat jelas kau ingin hengkang dari zona bimbang
Kau adalah seoarang penyayang bernasib malang
Penumbuh harapan dan kebaikan
Tanpa dapat pertimbangan kau seperti terbuang
Terasingkan diri dari buaian angin kesilapan
Memaksamu bertahan menghadapi gelombang perasaan
Senin, 10 Oktober 2016
SEPULUH BARIS DALAM DIAM
Bagian tubuhku yang mengasingiku sendiri
Mungkin terlalu muak akan prilaku diri
Yang terus berpartisipasi mematahkan hati sendiri
Membiarkan masa lalu menjadi secangkir kopi
Yang teramat sering merayakan kehilangan
Yang benci tentang pengganti dan sering menghitung mundur untuk kembali
Bagian tubuhku kini tak bersahabat lagi
Mulai bosan dengan percakapan mengenai jarak
Mulai benci pertanyaan mengenai pertemuan
Memakiku dengan sepuluh baris dalam diam
Mungkin terlalu muak akan prilaku diri
Yang terus berpartisipasi mematahkan hati sendiri
Membiarkan masa lalu menjadi secangkir kopi
Yang teramat sering merayakan kehilangan
Yang benci tentang pengganti dan sering menghitung mundur untuk kembali
Bagian tubuhku kini tak bersahabat lagi
Mulai bosan dengan percakapan mengenai jarak
Mulai benci pertanyaan mengenai pertemuan
Memakiku dengan sepuluh baris dalam diam
BUKAN BUNGA YANG TERLUKA
Cahaya cintamu kini berkilauan
Bagaikan butiran permata terapung di permukaan
Berharap bahtera menyambut suci
Hati yang terdampar sepi
Terapung rindu yang terbuai jauh
Hanyut berlayar menuju harap dermaga kasih
Padanya semoga kau utarakan kemungkinan
Berpangku keyakinan atas ketetapan Tuhan
Kau tetap menyemai meski kasihmu lunglai
Biarpun langit hatimu berhujan badai
Kau anyam kembali lara yang terurai
Syukurmu tak terbatas masa atas cinta yang kau semat dalam doa
Kau ukir cinta dalam hampa bahagia
Biarlah berlayar jauh membahana tanpa temu dermaga
Kaulah sengketa dalam doa samudera harap, lautan semesta
Kau tetap tersenyum...
Kau tetap tak mengapa...
Tak penting bagimu merajut alasan-alasan
Biarlah adanya harap berbunga kelak
Dengan semerbak bahagia, bersemi damai ke singgahsana kehidupan
Layarmu kian berkembang mewangi
Di tepian akhir kau temu dermaga titipan Ilahi
Bagaikan butiran permata terapung di permukaan
Berharap bahtera menyambut suci
Hati yang terdampar sepi
Terapung rindu yang terbuai jauh
Hanyut berlayar menuju harap dermaga kasih
Padanya semoga kau utarakan kemungkinan
Berpangku keyakinan atas ketetapan Tuhan
Kau tetap menyemai meski kasihmu lunglai
Biarpun langit hatimu berhujan badai
Kau anyam kembali lara yang terurai
Syukurmu tak terbatas masa atas cinta yang kau semat dalam doa
Kau ukir cinta dalam hampa bahagia
Biarlah berlayar jauh membahana tanpa temu dermaga
Kaulah sengketa dalam doa samudera harap, lautan semesta
Kau tetap tersenyum...
Kau tetap tak mengapa...
Tak penting bagimu merajut alasan-alasan
Biarlah adanya harap berbunga kelak
Dengan semerbak bahagia, bersemi damai ke singgahsana kehidupan
Layarmu kian berkembang mewangi
Di tepian akhir kau temu dermaga titipan Ilahi
Sabtu, 08 Oktober 2016
(?)
Aku masih berimajinasi tentangmu di sudut ruang sempit tempat ku menutup diri memperbincangkanmu dengan Tuhan. Bukan untuk berlebihan tapi kau tahu apa yang biasanya disebut harapan "katanya" bagai nafas yang harus tetap hidup sedangkan hidup tak pernah tidak bergantungan dengan Tuhan itulah sebabnya kenapa aku selalu memperbincangkanmu dengan Tuhan karena kamu adalah harapan yang selalu ku sandingkan dengan doa. Jangan takut, meskipun kita jauh dari kata sama. Karena Tuhan tidak pernah salah mendesain kehidupan. Selalu indah, meskipun akhirnya tak bisa bersama. Lihat saja Senja!!! Indah bukan??? meskipun ia tak pernah menjadi satu hati dengan malam. Lalu langit!! tetap cerahkan?? walaupun dia hanya bisa menyaksikan samudera cintanya saja, tanpa harus hidup bersama. Itulah sebabnya kenapa aku selalu tetap menjadikanmu sebagai topik perbincanganku dengan Tuhan.
LARUT
Di ujung dini hari ku terusik
Bayangan masa lalu yang ku cemburui
Drama singkat nan kritis berujung ironis
Tak lagi ku temui sintaksis hati yang praktis
Semua cukup pasif akal sehat tak lagi aktif
Asaku menipis serentak hati pun terhiris
Aku mulai beradaptasi dengan kebiasaan
Menawar kemungkinan menjemput mimpi yang hilang
Padamu jejak kenangan aku membangkang
Menginginkan terulang malah terjurang
Kejamnya kelam mengantarku pada ketidakwarasan
Tiada malam ku lalui dengan tenang
Hampir setiapnya ku sudahi bersama igauan
Lelah dan bimbang tiada perbandingan
Aku betah terhukum tanpa penghakiman
Menjadikan suram lengkap dengan kesepian
Yang tak pernah habis ku ceritakan
Bayangan masa lalu yang ku cemburui
Drama singkat nan kritis berujung ironis
Tak lagi ku temui sintaksis hati yang praktis
Semua cukup pasif akal sehat tak lagi aktif
Asaku menipis serentak hati pun terhiris
Aku mulai beradaptasi dengan kebiasaan
Menawar kemungkinan menjemput mimpi yang hilang
Padamu jejak kenangan aku membangkang
Menginginkan terulang malah terjurang
Kejamnya kelam mengantarku pada ketidakwarasan
Tiada malam ku lalui dengan tenang
Hampir setiapnya ku sudahi bersama igauan
Lelah dan bimbang tiada perbandingan
Aku betah terhukum tanpa penghakiman
Menjadikan suram lengkap dengan kesepian
Yang tak pernah habis ku ceritakan
Jumat, 07 Oktober 2016
MEMAAFKAN HARAPAN MEMATAHKAN HATI SENDIRI
Aku bukanlah pelupa yang hebat
Hanya manusia biasa yang gemar menulis tentangmu
Kadang aku hanya berbicara dengan jarum jam
Tanpa hiraukan tanda tanya alam pikiran
Aku telah dibuat gila oleh harapku sendiri
Menjadi bebal dan tak lagi berpikir rasional
Aku gemar menipu diri sebab harapan yang tak mati
Menjebakku dengan kertas-kertas mimpi dalam ilusi memainkan hati
Aku patut membenci diri
Memilah tragedi yang tak pasti
Ah... salahkah harapan yang ada?
"dia tidak salah. Tidak ada harapan yang lahir dengan status bersalah. Sama sekali tidak"
Pikirku yang sembunyi pun berbisik
Baiknya, aku memutuskan untuk memaafkan
Meskipun harus mematahkan hati sendiri
NIKMAT BERDURI
Wahai pemikat...
Salahku juga menggenggammu begitu erat
Membiarkan duri tajammu menancap hebat
Tanpa debat kurawat tanpa sekat
Menawar harap tanpa sebab ucap
Wahai pemikat...
Tak ingin ku ralat hati yang terpikat
Dalam pekat cinta ku terjerat
Mudahnya melekat hingga lupa tanpa sebab
Kau buat singkat jiwa yang terikat
Wahai pemikat...
Aku yang terlalu jadi penikmat
Terlena ketat tanpa sempat mengungkap
Sungguh hebat kau buat luka tanpa sekat
Meracuni hakikat hingga ku tersia harap
Di ujung sempat ku terbuang tanpa tempat
Salahku juga menggenggammu begitu erat
Membiarkan duri tajammu menancap hebat
Tanpa debat kurawat tanpa sekat
Menawar harap tanpa sebab ucap
Wahai pemikat...
Tak ingin ku ralat hati yang terpikat
Dalam pekat cinta ku terjerat
Mudahnya melekat hingga lupa tanpa sebab
Kau buat singkat jiwa yang terikat
Wahai pemikat...
Aku yang terlalu jadi penikmat
Terlena ketat tanpa sempat mengungkap
Sungguh hebat kau buat luka tanpa sekat
Meracuni hakikat hingga ku tersia harap
Di ujung sempat ku terbuang tanpa tempat
Kamis, 06 Oktober 2016
KETIDAKTAHUAN
Mendeskripsikan hati...
Sama rumitnya soal matematika, rumus fisika dan memahami hasil gabungan zat kimia
Ini tentang batin
Bila dipresentasikan kejadian demi kejadian
Kemungkinan hanya semesta berperan
Aku sendiri tidak paham dengan keadaan dan mungkin sama sepertimu
Aku mencoba untuk menelaah lebih jauh dari dua sisi berkombinasi
Antara proses kognisi dan praduga hati.
Inilah aku...
Yang tidak pernah kamu ekspektasikan
Yang tidak pernah semesta duga menuntut pemahaman
Yang diskenariokan mendeskripsikan kompleksnya struktur sintaksis hati
Kamu tahu atau pura-pura tidak tahu
Aku ingin kita meyakini
Kita dirancang substansi di luar konsep pertemuan dan perpisahan
Kisah kita hanyalah nasib
Saat kamu menatapku aku dapat merekam dengan baik
Ada rahasia yang masih kamu bentengi
Mungkin kita sama merasakan
Hanya saja kita terlalu lugu untuk ungkapkan
Sama rumitnya soal matematika, rumus fisika dan memahami hasil gabungan zat kimia
Ini tentang batin
Bila dipresentasikan kejadian demi kejadian
Kemungkinan hanya semesta berperan
Aku sendiri tidak paham dengan keadaan dan mungkin sama sepertimu
Aku mencoba untuk menelaah lebih jauh dari dua sisi berkombinasi
Antara proses kognisi dan praduga hati.
Inilah aku...
Yang tidak pernah kamu ekspektasikan
Yang tidak pernah semesta duga menuntut pemahaman
Yang diskenariokan mendeskripsikan kompleksnya struktur sintaksis hati
Kamu tahu atau pura-pura tidak tahu
Aku ingin kita meyakini
Kita dirancang substansi di luar konsep pertemuan dan perpisahan
Kisah kita hanyalah nasib
Saat kamu menatapku aku dapat merekam dengan baik
Ada rahasia yang masih kamu bentengi
Mungkin kita sama merasakan
Hanya saja kita terlalu lugu untuk ungkapkan
AKU DAN HATI YANG PATAH
Aku sadar dan belajar merasakan
Patah hati menyita kewarasan
Patah hati merenggut keinginan
Patah hati membunuh harapan
Patah hati meninggalkan pesakitan
Patah hati mengobrak-abrik keindahan
Patah hati buatku betah akan nestapa panjang
Aku hanya pasrah ditikam dengan kejamnya kehilangan
Tersayat belati ketidaktahuan
Tertampar hebat dengan ketiadaan
Terhempas jauh dengan begitu memalukan
Air mata bagai jarum menjahit luka hati terdalam
Dan ikhlas, kujadikan benang pas
Patah hati menyita kewarasan
Patah hati merenggut keinginan
Patah hati membunuh harapan
Patah hati meninggalkan pesakitan
Patah hati mengobrak-abrik keindahan
Patah hati buatku betah akan nestapa panjang
Aku hanya pasrah ditikam dengan kejamnya kehilangan
Tersayat belati ketidaktahuan
Tertampar hebat dengan ketiadaan
Terhempas jauh dengan begitu memalukan
Air mata bagai jarum menjahit luka hati terdalam
Dan ikhlas, kujadikan benang pas
Bukan Pelupa Yang Hebat
Bukan
Pelupa Yang Hebat
Boby Julian
Semua tak sama. Memang benar katamu, “Kita akan berusaha menolak saat senja datang
menghampiri kita”. Awalnya, aku sempat berfikir semua akan baik-baik saja
sebelum dan setelah kita menjadi bagian yang tak lagi utuh. Namun, aku tak bisa
membantah dan kepada entah aku bertanya tolol, sendirian, dan mulai menjejaki
remang hidup yang terasa begitu suram. Tak terhitung berapa banyak senja yang
datang menertawakanku karena melihat kebodohanku menjadi pengingat sejati
tentangmu dan tentang kita. Sebenarnya, aku merasa malu pada semesta karena
ketidakrelaan ini.
Aku masih belum mampu beranjak dari masa lalu kita.
Terus terang saja, aku masih ingat saat terakhir kita bertemu di pesisir yang
disertai ombak-ombak kecil begitu berisik dilengkapi dengan hembusan
angin yang begitu romantis. Akan tetapi, semua itu merupakan malapetaka hebat
yang akhirnya menghujani kita berdua. Saat itu, kau menggenggam tangan ku
begitu erat, sejenak kita larut dalam dekapan. Lalu,
kau menangis sambil menunjukan sesuatu yang telah melingkar di jemarimu. Aku
berusaha tegar melihatnya dan mencoba mengusap setiap air mata yang tumpah di
pipimu. Kau pun mulai berbicara terbata-bata “sayang, inilah yang ingin ku jelaskan padamu di senja terakhir kita
bertemu. Aku tak bisa lagi menunggumu, karena aku harus memenuhi permintaan
kedua orang tuaku. Ini pilihannya bukan pilihanku. Maafkan aku yang tak mampu
menolak”. Aku hanya berusaha lebih tegar saat itu, dengan
perasaan hancur berderai ku memulai kata dengan sangat hati-hati “mungkin, ini jalan yang terbaik untuk kita.
Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak bisa apa-apa. Bukankah musuh terbesar
pertemuan adalah perpisahan dan harusnya kita sadar, kita memang berbeda,
mungkin inilah jawaban Tuhan agar kita mampu mendewasakan diri dan memahami
suratan dariNya” setelah itu aku pun
pamit melangkah dengan tertatih dan sadar diri bahwa semua sudah berakhir.
Sebulan berlalu, aku sendiri menatap keindahan
semesta ini dengan hati yang tak kunjung pulih. Aku hanya meronta-ronta tanpa
suara memukul diri pada sengketa derita. Andai saja dulunya aku mau saat kau
ingin perkenalkanku kepada orang tuamu mungkin semua takkan seperti ini.
Namun, semua itu bukan tanpa alasan aku menolaknya. Aku sadar, aku belum
pantas. Sebab, kita beda usia dan
sisi lainnya lagi kau berkarir sedangkan aku masih berjuang untuk
menemukan jati diriku. Bagaimana mungkin orang tuamu mau melihat anaknya
menunggu untuk waktu yang cukup lama. Entahlah, aku tidak tahu siapa yang salah
dalam kisah ini yang aku tahu kita ditakdirkan tidak untuk menjadi sepasang
kekasih sebagaimana yang sempat kita impikan bersama.
Kini aku mulai melatih diri, rasanya begitu sakit
setiap kali senja yang ku hadiri hanya sendiri dan paling menyakitkan
lagi ketika angin mengantarkan debu yang menggugah diri akan masa lalu. Seperti
kekonyolan, pada saat itu juga aku berharap embun menyambut malam untuk sekedar memulihkan
keadaan yang ku beri nama kesepian. Ku katakan sekali lagi kepada entah “Semua tak sama, dari senja pergi hingga
menjelang pagi. Aku bukanlah pelupa yang hebat. Sudah
sekian purnama aku tidak lagi melihat senyumnya dan tawa indah dari bibirnya
yang biasanya ku anggap sebagai surga kecil yang mengisi hari-hariku yang
senantiasa menawarkan bahagia dan memberi damai tanpa diminta. Kini, semua
telah tiada bahkan untuk melihat punggungnya saja aku tak mampu lagi”.
Pada
akhirnya, banyak entah yang bertanya prihal aku dan hati yang betah sendiri. Sebenarnya,
tidak ada alasan mengenai hal ini. Kalaupun ada itu hanya sebuah alasan yang ku
paksakan ada. Baiklah, aku akan mencoba untuk mengurai alasan yang ku paksakan
ada. Memang sudah cukup lama rasanya aku tidak lagi berurusan dengan yang
namanya cinta. Aku memutuskan untuk menyendiri setelah yang terakhir kali
bersamaku memilih untuk berhenti menunggu. Jujur saja, dia sedikit banyak
meninggalkan bahagia lengkap dengan luka di dalamnya. Aku dan dia pernah
berjuang bersama dalam doa dan nyata semoga indahnya cinta selamanya utuh.
Tapi, aku mengerti bahwa “selamanya” itu tidak lama. Setelah peristiwa itu aku
mencoba berdamai dengan keadaan. Merelakan yang sebenarnya tidak ku relakan.
Bukankah musuh terbesar seseorang yang sedang ingin melupakan adalah kebiasaan.
Oleh karena itu, aku telah terbiasa menghabiskan waktu bersamanya. Aku terlalu
terbiasa dengan bau harum tubuhnya, tawa indahnya dan kemanjaannya. Butuh waktu
untuk melupakan semua itu. Mungkin dengan alasan inilah, senja akan berhenti
menertawakanku dan purnama takkan membiarkan lagi aku kesepian karena mereka tahu
aku bukanlah pelupa yang hebat.
Langganan:
Postingan (Atom)