Kamis, 27 Oktober 2016

TERDAMPAR MALAM

Tertidur lagi...
Tanpa mengerti jawaban kisah terindah tanpa hadirnya
Adalah benci menebus malam tak berganti
Merasakan pagi enggan menyapa

Terusik lagi...
Tanpa paham suara pikiran melupakan hadirnya
Adalah bimbang menawar larut tak beralih
Merasakan damai tak lagi mesra

Terucap lagi..
Tanpa sadar menyuarakan bayang hadirnya
Adalah sakit malam tersurat panjang
Menyita waras kehdupan

Terus menjadi-jadi...
Tanpa sukar menjelma hadirnya
Adalah peluk perasa hampa jiwa
Menghadirkan debar maha dahsyat

Semakin terjadi...
Tanpa transisi terangkan hadirnya
Redupkan jiwa tersudut jauh meredam
Adalah suara pikiran malam panjang
Merasakan berat kepala mengangkat tegak sisa kehidupan
 

Jumat, 21 Oktober 2016

CARAKU

Sederhana saja...

Sebentar lagi waktu itu tiba. Aku melihat jam dinding begitu bersemangat menyambutnya. Seakan membuaiku dalam ketidaksabaran memulai hening malam di ruang yang sudah ku siapkan. Meskipun aku sendirian, namun senyumku tidak akan hilang. Karena akan tiba waktu yang mengajakmu bahagia disana. Ingin rasanya segera menghubungimu, memastikan kebahagianmu tak beralih. Akan tetapi; aku memutuskan untuk tidak menghubungi. Bukan karena tidak percaya diri. Tapi, ada cara yang terbaik tuk merajut sesuatu tanpa dusta.

Hanya mampu mengingat tak bisa berucap...

Tiada sikap yang bisa ku tunjukan padamu. Bukannya aku gugup dan takut memulai suara melalui ponselku. Bukan pula tak ingin mencoba membentuk kotak istimewa atau membungkus bening mawar merah yang indah. Untuk apa bila semua itu ada, namun kau tak merasakannya. Lebih baik ku angkat tangan sedada agar mudah kau merasa karena restu maha segalanya. Biarlah terlihat bodoh atau disebut pengecut yang memilih untuk tidak diketahui sama sekali.

Dan teruntukmu, bunga terindahku...

Jangan lupa untuk tetap tersenyum ya, semoga semua harapanmu terwujud, mimpi-mimpi indahmu terjamah, dan jadilah pribadi yang luar biasa dengan lembaran angka hidup yang baru ini.
Selamat ulang tahun...

Kamis, 20 Oktober 2016

KEPADAMU RUANG REDUP (5.45)



Kepadamu ruang redup...

Takkan pernah rajuk membujuk potret kusam masa silam. Mulanya sendu berangin, melayang-layangkan daun yang ingin kembali pada rantingnya yang masih mengangah sigap di atas tuan petuah. Bukan kembali meranting, tapi, ia melayang semakin jauh dan hilang. Begitu malang tuan yang tak berniat membuang harus merayakan kehilangan. Tak kepalangtanggung sumpah-sumpah bencanapun tercaci maki memakan daging hati, melumat seisinya yang bersemikan cinta suci.

Kepadamu ruang redup...

Bunga malam kala itu menumpahkan embun tak berwadah. Mengalir dengan deras membasahi permukaan yang ada. Gubahan sukma tersia pula oleh pinta logika suara, sepasang jiwapun berputus asa kala mendayung perahu di samudera berbeda. Tak kuasa lagi hati menuai diksi tuk memanipulasi cinta yang suci. Bertahan diri menanggung segala derita misteri.

Kepadamu ruang redup...

Kini pusaka cinta suci yang tersemat di hati, mulai berbenah mata. Meratapi lentera hidup yang kini tak bermakna. Ia mencoba Mencari sejumlah obrolan singkat melalui semesta. Dalam keterasingan jiwa yang berduka akan temu yang tak kunjung tiba. Setiap pukul lima empat puluh lima sore menjadi pilihan terbaiknya. Kala manja bersama angin di pesisir yang diramaikan ombak, sering pula dihiasi sepasang merpati bertengger di atas karang yang terselamat akan kebasahan serta dilengkapi dengan langit kemerahan yang meluas ke seluruh penjuru mata angin. Ratapannya singkat, mewakili perasaan hebat yang terguncang dahsyat. Dan kini mulai membengkak dengan senyum kepalsuan.

Kepadamu ruang redup...

Tiada bunga yang bermekaran ingin layu dalam nafas yang teramat panjang. Bagai pucuk yang tak beranak sama sekali di sekitarnya. Menjadikan sepi merayukan sendu bernuansakan cinta, guna menghitung-hitung hari yang terus berganti. Berharap relung terobati meskipun tiada terikat janji ketika menyuarakan mimpi. Sungguh malangnya nasib dua hati yang kini beradaptasi menghidupkan kembali sejumlah asa yang tersia masa. Menjaga pusaka cinta yang termakan jarak. Tanpa peralihan jiwa, tetap bertahta tanpa sepengetahuan bersama.

Rabu, 19 Oktober 2016

KITA DAN KEADAAN

Bila saja ada yang lebih menyenangkan dari mengingatmu
Mungkin aku tak sebegitu pilu menghabiskan waktu
Bukan niat beralasan tuk merapuh karenamu
Tak sedikitpun niatanku melibatkanmu mendesak waktu mencari temu

Bila mungkin kau tahu tentang aku
Adakah kesamaan diantara kita prihal merindu
Atau kau tak mau membeberkan beban agar senyummu tak hilang
Lengkap dengan deritamu yang kau simpan diam-diam

Pandanganku tak mampu menembus langit biru
Guna menerka jejakmu yang terhapus debu
Yang pernah pamit menyuarakan mimpi jauh
Menghilang untuk sementara waktu dari kehidupanku

Tanpa berita aku menderita tak terkira
Hidup yang harus ku susun rapi berantakan sudah
Barangkali aku terlalu membenci kisahnya
Yang mendebatkanku dengan keadaan yang kau juga tak suka

Suara-suara angin menghampiriku, membadai lara meributkan tanya
Sudahkah terhitung berapa lamanya?
Sudahkah kau merasa diri bagai hampa sejati?
Ataukah kau sedang menikmatinya? Mungkin saja begitu.
Hingga larik hujan tak lagi mampu memberi sajaknya
Langitpun tak mampu bangkit akan redupnya

Hai...
Bagaimana kabar mimpimu?

Minggu, 16 Oktober 2016

?!!


Hitam....
                     Pekat....
                                        Pahit....
                                                          Lingkaran......
                                                 Nikmat.........
                                                  

ABSTRAK



Kamu yang baru kukenali melalui imajinasi.

Pertemuan hebat yang kunikmati kala itu. Aku yang sedang sendiri, termenung, menyaksikan keramaian di sekitarku, tanpa kuduga kamu datang menghampiri memecah keheningan yang sedari tadi menemaniku tanpa ada rasa pamrih.

Senyummu disaat itu menawar kebahagian. Memudarkan rasa kesepian yang sempat mengajariku tentang kreatifitas kegilaan. Kehadiranmu bagai Sesuatu yang sulit kujelaskan dengan diksi kehidupan. Oh.... ramahnya sikapmu membuat aku terbuai dengan ingatan yang seharusnya ku ingat dengan benar.

Kamu yang kemarin kukenali melalui imajinasi.

Terimakasih atas segala kebaikanmu, meluangkan waktu untuk sekedar menemaniku. Membebaskanku dari penjara hampa yang kerap mengikuti keberadaanku. Dan semenjak ada kamu semua berubah. Entah itu hanya firasatku atau memang benar adanya “entahlah” yang pastinya kamu mampu buatku berhasill mendeskripsikan keterasingan yang selama ini tiada peradilan. Membuatku
membuka alam pikiran untuk menganalogi setiap detail tentang tidak dan adanya kamu.

Kamu yang kukenali melalui imajinasi.

Aku punya satu permintaan sederhana, apa aku boleh mengenali wajah aslimu? Ada banyak peertanyaan yang masih kugantungkan namun aku memilih satu pertanyaan ini saja.

Kamu yang kukenali melalui imajinasi.

Masihkah sama kemarin dengan hari ini. 

"Jika kau mampu sadar maka kau akan tahu siapa aku"

"jika kau hanya menikmati maka kau akan lupa diri"

"Jika kau memilih untuk diam dan tidak bergerak hanya karena aku membuatmu nyaman maka kehidupanmu tidak akan berubah"

***

Sabtu, 15 Oktober 2016

OCEHAN TERHADAP JARAK

Sebuah peleraian terlerai tanpa pengerai
Berakhir sebelum dimulai....
Sudahlah aku dikejutkan suara pikiranku
Tanpa aba-aba pemberitahuan singkat mencekam otakku
Aku kelimpungan....
Sepertinya kita hanyalah korban rahasia waktu
Tidak ada yang salah dalam perhitungan waktu
Hanya saja...
Tidak ada peradilan untuk kejahatan jarak
Tidak ada toleransi mengenai sikap
Pemaksaan menjadi akrab dengan rasa takut
Seolah gemar sekali mengajak ribut


Jumat, 14 Oktober 2016

MDHT

Tragedi puncak mimpi...
Misteri dua hati yang tersembunyi
Mungkin semesta sedang berbaik hati pada mereka
Memberi waktu luang mengajukannya pada Tuhan
Atas segala amin yang terucap merobek keheningan semoga
Dalam pikiran yang keguguran
Denyut nadinya tak kehilangan rima
Walau tak sempat melahirkan kenangan

Kamis, 13 Oktober 2016

DIA DAN RAHASIA LANGIT



Dia sedang termenung meratapi keramik persegi
Bertuliskan sebuah nama yang masih dirahasia Tuhan
Hatinya menyerupai sungai kecil mengalir deras
Bibirnya terkatup melepaskan bait doa padat permohonan
Merayu kemustahilan demi menemukan semoga itu

Dia merahasiakan butir rindu kepada langit biru
Tentang sebuah punggung yang belum dikenali
Tentang sebuah senyum yang masih dinanti
Tentang sebuah pertemuan yang belum terjadi

Tiada yang lebih indah baginya selain memandangi langit
Rumah terindah jejak perjalanannya menuju entah
Tak lekang olehnya doa-doa yang terbang tinggi membahana
Tanpa gerak lidah ia begitu yakin seluruhnya
Tuhan punya rencana...
Tentang sepasang kekasih yang belum bertemu
Tak ada tangan sedada yang tak berguna

SECANGKIR KOPI MASA LALU

Hasil gambar untuk secangkir kopi

Sering kali aku berbicara dengan jarum jam dalam lamunanku, sekedar untuk memastikan tanda tanya raksasa dalam pikiran sambil menikmati secangkir kopi masa lalu yang memberadakanku tepat di lorong beranda kenangan pertama kali kita bertemu.

Sering kali aku berpikir, apa gunanya pertemuan itu? Sesuatu yang melibatkan dua hati terpedaya oleh buaian kasih sayang tak terduga. Tanpa inisiatif, rindu merenovasi hati bila sedetik saja tidak bertemu. Sedangkan kini menjadi suatu perkara hati saat kreatifitas jarak merumuskan kita pada lingkaran yang berbeda tanpa ada perpisahan. Perkara ini hanya kebetulan sama halnya dengan pertemuan kita yang aku anggap kebetulan juga. Lalu, bagaimana dengan "rindu"? Ia seperti anak kecil yang menggemaskan selalu bermain dan bertanya-tanya lugu tanpa pamrih.

Ketidakhadiran yang selalu hadir sering kali membuat secangkir kopi masa laluku lambat habis. Mungkin aku terlalu menikmati hitam pekat pahitnya. Sampai akhirnya aku lupa sudah berapa lama aku menghabiskan waktu berbicara dengan jarum jam. Padahal, yang ku bicarakan hanya sekedar perasaan yang menjadi ibu dari segala harapan tentang pertemuan silam. Namun, itu menjadikanku menipu diri dengan keindahan-keindahan yang semu. Seperti mengendalikan pesawat terbang sesuka hati, merekayasa dunia untuk mengembalikan waktu yang telah jauh berada di belakangku.

Pada akhirnya, secangkir kopi masa lalu yang kunikmati sedari tadi menuang kesimpulan. Bahwa harapan yang ada telah bertransformasi menjadi cinta. Cinta yang seharusnya kulogikakan tanpa pandang malu, gengsi, dan alasan lain yang membuat terpendam. Selama ini aku cenderung membungkam logika yang memang benar adanya suka kurang ajar dalam berkata jujur. Aku terlambat menyadarinya bahwa logika adalah penasihat yang mencegahku sakit hati dari harapan yang menumbuhkan cinta. Dia sungguh realistis meskipun cara menjelaskannya menampar pipi. Sudahlah, terlalu banyak aku berbicara pun takkan berubah keadaan yang ada. Tidak semua orang beruntung dengan harapan.

  

Selasa, 11 Oktober 2016

MAHASAKIT

Aku masih mengarungi jalan yang sama
Hanya saja keadaanya berbeda
Kaki kita pernah meninggalkan jejak beriringan
Sebelum ruang dan waktu memandu kita ditujuan yang lain

Aku hanya perlu terpejam untuk melihat keindahanmu
Bagai perpaduan pagi muda dan senja di bibir pantai
Mengingat senyummu adalah cara bunuh diri yang sering kulakukan
Bagai menancapkan belati di dada
Ketika peran sepi sebagai pintu masuk beranda kenangan

Duhai luka mahasakit...
Atas nama segala rintih jiwa yang nyaris mati
Izinkan aku mengikhlaskan kali ini
Agar seni bertarung melawan pesakitan kunikmati
dalam pertempuran ego yang melukai


BUNGA SENDU


Ada kejanggalan di wajahmu
Tak bisa kau terjemahkan secara gamblang
Mungkin belum ingin mengambil kesimpulan atau  dalam menyususn kesiapan
Setengah jam kau betah tanpa sepatah kata
Seperti berhadapan dengan lawan berkepribadian ganda
Biasanya kau seheboh pesta kembang api
Kini malah sebisu dini hari
Bibirmu terkatup rapat
Pandanganmu berlari-lari tanpa tujuan
Seakan mencari fungsi perasaan di permukaan

Wajahmu kini mulai memerah
Begitu terlihat jelas kau ingin hengkang dari zona bimbang
Kau adalah seoarang penyayang bernasib malang
Penumbuh harapan dan kebaikan
Tanpa dapat pertimbangan kau seperti terbuang
Terasingkan diri dari buaian angin kesilapan
Memaksamu bertahan menghadapi gelombang perasaan

Senin, 10 Oktober 2016

SEPULUH BARIS DALAM DIAM

Bagian tubuhku yang mengasingiku sendiri
Mungkin terlalu muak akan prilaku diri
Yang terus berpartisipasi mematahkan hati sendiri
Membiarkan masa lalu menjadi secangkir kopi
Yang teramat sering merayakan kehilangan
Yang benci tentang pengganti dan sering menghitung mundur untuk kembali

Bagian tubuhku kini tak bersahabat lagi
Mulai bosan dengan percakapan mengenai jarak
Mulai benci pertanyaan mengenai pertemuan
Memakiku dengan sepuluh baris dalam diam




BUKAN BUNGA YANG TERLUKA

Cahaya cintamu kini berkilauan
Bagaikan butiran permata terapung di permukaan
Berharap bahtera menyambut suci
Hati yang terdampar sepi
Terapung rindu yang terbuai jauh
Hanyut berlayar menuju harap dermaga kasih
Padanya semoga kau utarakan kemungkinan
Berpangku keyakinan atas ketetapan Tuhan

Kau tetap menyemai meski kasihmu lunglai
Biarpun langit hatimu berhujan badai
Kau anyam kembali lara yang terurai
Syukurmu tak terbatas masa atas cinta yang kau semat dalam doa
Kau ukir cinta dalam hampa bahagia
Biarlah berlayar jauh membahana tanpa temu dermaga

Kaulah sengketa dalam doa samudera harap, lautan semesta
Kau tetap tersenyum...
Kau tetap tak mengapa...
Tak penting bagimu merajut alasan-alasan
Biarlah adanya harap berbunga kelak
Dengan semerbak bahagia, bersemi damai ke singgahsana kehidupan
Layarmu kian berkembang mewangi
Di tepian akhir kau temu dermaga titipan Ilahi 

Sabtu, 08 Oktober 2016

(?)

Aku masih berimajinasi tentangmu di sudut ruang sempit tempat ku menutup diri memperbincangkanmu dengan Tuhan. Bukan untuk berlebihan tapi kau tahu apa yang biasanya disebut harapan "katanya" bagai nafas yang harus tetap hidup sedangkan hidup tak pernah tidak bergantungan dengan Tuhan itulah sebabnya kenapa aku selalu memperbincangkanmu dengan Tuhan  karena kamu adalah harapan yang selalu ku sandingkan dengan doa. Jangan takut, meskipun kita jauh dari kata sama. Karena Tuhan tidak pernah salah mendesain kehidupan. Selalu indah, meskipun akhirnya tak bisa bersama. Lihat saja Senja!!! Indah bukan??? meskipun ia tak pernah menjadi satu hati dengan malam. Lalu langit!! tetap cerahkan?? walaupun dia hanya bisa menyaksikan samudera cintanya saja, tanpa harus hidup bersama. Itulah sebabnya kenapa aku selalu tetap menjadikanmu sebagai topik perbincanganku dengan Tuhan.

LARUT

Di ujung dini hari ku terusik
Bayangan masa lalu yang ku cemburui
Drama singkat nan kritis berujung ironis
Tak lagi ku temui sintaksis hati yang praktis
Semua cukup pasif akal sehat tak lagi aktif
Asaku menipis serentak hati pun terhiris

Aku mulai beradaptasi dengan kebiasaan
Menawar kemungkinan menjemput mimpi yang hilang
Padamu jejak kenangan aku membangkang
Menginginkan terulang malah terjurang

Kejamnya kelam mengantarku pada ketidakwarasan
Tiada malam ku lalui dengan tenang
Hampir setiapnya ku sudahi bersama igauan
Lelah dan bimbang tiada perbandingan
Aku betah terhukum tanpa penghakiman
Menjadikan suram lengkap dengan kesepian
Yang tak pernah habis ku ceritakan

Jumat, 07 Oktober 2016

MEMAAFKAN HARAPAN MEMATAHKAN HATI SENDIRI


Aku bukanlah pelupa yang hebat
Hanya manusia biasa yang gemar menulis tentangmu
Kadang aku hanya berbicara dengan jarum jam
Tanpa hiraukan tanda tanya alam pikiran

Aku telah dibuat gila oleh harapku sendiri
Menjadi bebal dan tak lagi berpikir rasional
Aku gemar menipu diri sebab harapan yang tak mati
Menjebakku dengan kertas-kertas mimpi dalam ilusi memainkan hati

Aku patut membenci diri
Memilah tragedi yang tak pasti
Ah... salahkah harapan yang ada?  
"dia tidak salah. Tidak ada harapan yang lahir dengan status bersalah. Sama sekali tidak"
Pikirku yang sembunyi pun berbisik
Baiknya, aku memutuskan untuk memaafkan
Meskipun harus mematahkan hati sendiri

NIKMAT BERDURI

Wahai pemikat...
Salahku juga menggenggammu begitu erat
Membiarkan duri tajammu menancap hebat
Tanpa debat kurawat tanpa sekat
Menawar harap tanpa sebab ucap

Wahai pemikat...
Tak ingin ku ralat hati yang terpikat
Dalam pekat cinta ku terjerat
Mudahnya melekat hingga lupa tanpa sebab
Kau buat singkat jiwa yang terikat

Wahai pemikat...
Aku yang terlalu jadi penikmat
Terlena ketat tanpa sempat mengungkap
Sungguh hebat kau buat luka tanpa sekat
Meracuni hakikat hingga ku tersia harap
Di ujung sempat ku terbuang tanpa tempat

Kamis, 06 Oktober 2016

KETIDAKTAHUAN

Mendeskripsikan hati...
Sama rumitnya soal matematika, rumus fisika dan memahami hasil gabungan zat kimia
Ini tentang batin
Bila dipresentasikan kejadian demi kejadian
Kemungkinan hanya semesta berperan
Aku sendiri tidak paham dengan keadaan dan mungkin sama sepertimu
Aku mencoba untuk menelaah lebih jauh dari dua sisi berkombinasi
Antara proses kognisi dan praduga hati.

Inilah aku...
Yang tidak pernah kamu ekspektasikan
Yang tidak pernah semesta duga menuntut pemahaman
Yang diskenariokan mendeskripsikan kompleksnya struktur sintaksis hati
Kamu tahu atau pura-pura tidak tahu

Aku ingin kita meyakini
Kita dirancang substansi di luar konsep pertemuan dan perpisahan
Kisah kita hanyalah nasib
Saat kamu menatapku aku dapat merekam dengan baik
Ada rahasia yang masih kamu bentengi
Mungkin kita sama merasakan
Hanya saja kita terlalu lugu untuk ungkapkan



AKU DAN HATI YANG PATAH

Aku sadar dan belajar merasakan
Patah hati menyita kewarasan
Patah hati merenggut keinginan
Patah hati membunuh harapan
Patah hati meninggalkan pesakitan
Patah hati mengobrak-abrik keindahan
Patah hati buatku betah akan nestapa panjang
Aku hanya pasrah ditikam dengan kejamnya kehilangan
Tersayat belati ketidaktahuan
Tertampar hebat dengan ketiadaan
Terhempas jauh dengan begitu memalukan
Air mata bagai jarum menjahit luka hati terdalam
Dan ikhlas, kujadikan benang pas

Bukan Pelupa Yang Hebat





Bukan Pelupa Yang Hebat
Boby Julian

Semua tak sama. Memang benar katamu, “Kita akan berusaha menolak saat senja datang menghampiri kita”. Awalnya, aku sempat berfikir semua akan baik-baik saja sebelum dan setelah kita menjadi bagian yang tak lagi utuh. Namun, aku tak bisa membantah dan kepada entah aku bertanya tolol, sendirian, dan mulai menjejaki remang hidup yang terasa begitu suram. Tak terhitung berapa banyak senja yang datang menertawakanku karena melihat kebodohanku menjadi pengingat sejati tentangmu dan tentang kita. Sebenarnya, aku merasa malu pada semesta karena ketidakrelaan ini.
Aku masih belum mampu beranjak dari masa lalu kita. Terus terang saja, aku masih ingat saat terakhir kita bertemu di pesisir yang disertai ombak-ombak kecil begitu berisik dilengkapi dengan hembusan angin yang begitu romantis. Akan tetapi, semua itu merupakan malapetaka hebat yang akhirnya menghujani kita berdua. Saat itu, kau menggenggam tangan ku begitu erat, sejenak kita larut dalam dekapan. Lalu, kau menangis sambil menunjukan sesuatu yang telah melingkar di jemarimu. Aku berusaha tegar melihatnya dan mencoba mengusap setiap air mata yang tumpah di pipimu. Kau pun mulai berbicara terbata-bata “sayang, inilah yang ingin ku jelaskan padamu di senja terakhir kita bertemu. Aku tak bisa lagi menunggumu, karena aku harus memenuhi permintaan kedua orang tuaku. Ini pilihannya bukan pilihanku. Maafkan aku yang tak mampu menolak”. Aku hanya berusaha lebih tegar saat itu, dengan perasaan hancur berderai ku memulai kata dengan sangat hati-hati “mungkin, ini jalan yang terbaik untuk kita. Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak bisa apa-apa. Bukankah musuh terbesar pertemuan adalah perpisahan dan harusnya kita sadar, kita memang berbeda, mungkin inilah jawaban Tuhan agar kita mampu mendewasakan diri dan memahami suratan dariNya”  setelah itu aku pun pamit melangkah dengan tertatih dan sadar diri bahwa semua sudah berakhir.
Sebulan berlalu, aku sendiri menatap keindahan semesta ini dengan hati yang tak kunjung pulih. Aku hanya meronta-ronta tanpa suara memukul diri pada sengketa derita. Andai saja dulunya aku mau saat kau ingin perkenalkanku kepada orang tuamu mungkin semua takkan seperti ini. Namun, semua itu bukan tanpa alasan aku menolaknya. Aku sadar, aku belum pantas. Sebab, kita beda usia dan sisi lainnya lagi kau berkarir sedangkan aku masih berjuang untuk menemukan jati diriku. Bagaimana mungkin orang tuamu mau melihat anaknya menunggu untuk waktu yang cukup lama. Entahlah, aku tidak tahu siapa yang salah dalam kisah ini yang aku tahu kita ditakdirkan tidak untuk menjadi sepasang kekasih sebagaimana yang sempat kita impikan bersama.
Kini aku mulai melatih diri, rasanya begitu sakit setiap kali senja yang ku hadiri hanya sendiri dan paling menyakitkan lagi ketika angin mengantarkan debu yang menggugah diri akan masa lalu. Seperti kekonyolan, pada saat itu juga aku berharap embun menyambut malam untuk sekedar memulihkan keadaan yang ku beri nama kesepian. Ku katakan sekali lagi kepada entah “Semua tak sama, dari senja pergi hingga menjelang pagi. Aku bukanlah pelupa yang hebat. Sudah sekian purnama aku tidak lagi melihat senyumnya dan tawa indah dari bibirnya yang biasanya ku anggap sebagai surga kecil yang mengisi hari-hariku yang senantiasa menawarkan bahagia dan memberi damai tanpa diminta. Kini, semua telah tiada bahkan untuk melihat punggungnya saja aku tak mampu lagi”.
Pada akhirnya, banyak entah yang bertanya prihal aku dan hati yang betah sendiri. Sebenarnya, tidak ada alasan mengenai hal ini. Kalaupun ada itu hanya sebuah alasan yang ku paksakan ada. Baiklah, aku akan mencoba untuk mengurai alasan yang ku paksakan ada. Memang sudah cukup lama rasanya aku tidak lagi berurusan dengan yang namanya cinta. Aku memutuskan untuk menyendiri setelah yang terakhir kali bersamaku memilih untuk berhenti menunggu. Jujur saja, dia sedikit banyak meninggalkan bahagia lengkap dengan luka di dalamnya. Aku dan dia pernah berjuang bersama dalam doa dan nyata semoga indahnya cinta selamanya utuh. Tapi, aku mengerti bahwa “selamanya” itu tidak lama. Setelah peristiwa itu aku mencoba berdamai dengan keadaan. Merelakan yang sebenarnya tidak ku relakan. Bukankah musuh terbesar seseorang yang sedang ingin melupakan adalah kebiasaan. Oleh karena itu, aku telah terbiasa menghabiskan waktu bersamanya. Aku terlalu terbiasa dengan bau harum tubuhnya, tawa indahnya dan kemanjaannya. Butuh waktu untuk melupakan semua itu. Mungkin dengan alasan inilah, senja akan berhenti menertawakanku dan purnama takkan membiarkan lagi aku kesepian  karena mereka tahu aku bukanlah pelupa yang hebat.