Surat Terakhir Buat Bu Guru
Boby Julian
Assalamualaikum Rindu.
Bagaimana kabarmu hari
ini? Aku harap kamu baik-baik saja dan selamat berbahagia ya.
Maafkan aku yang harus
menulis ini dengan sengaja dan dalam keadaan sadar. Sebenarnya, aku tidak tahu
bagaimana cara memulainya. Tapi, jika tidak memulainya mungkin aku akan tetap
disini dan tidak kemana-mana. Oh ya, sebelumnya aku ingin berterimakasih
kepadamu karena selama ini telah menjadi sosok yang begitu istimewa, tidak
hanya menjadi seorang guruku namun menjadi seorang yang berarti dalam hidupku. Hanya saja kita tidak beruntung, di atas semua perbedaan yang
ada membuat kita saling mencintai pada akhirnya Tuhan pun memberi jawaban
terindah bahwa kita tidak untuk dipersatukan.
Hai....
Seseorang yang selalu
ku kirimi isyarat melalui doa malamku. Seseorang yang ku beri nama Rindu. Hadirmu
bagaikan bintang jatuh dalam hidupku. Semenjak surat bersampul biru darimu
ku terima, semenjak itu pula aku jadi pendiam terbaik setiap hari. Ada banyak
hal yang belum bisa ku cerna sama sekali. Seakan tak percaya tapi nyata,
seperti mimpi namun fakta adanya. Padahal, di senja terakhir kita bertemu aku
sudah berusaha menjadi pria yang paling tegar dan meyakini semua akan
baik-baik saja. Rupanya semua itu hanya kemunafikan ku saja yang berusaha
menutup diri dari keterpurukan yang tak ku sadari sejak dulu. Kamu tahu,
mengapa aku sedemikian rapuhnya? Itu disebabkan luka lama senja terakhir kita
belum pulih seutuhnya. Malah kamu datang menghampiri lagi dengan membawa
surat bersampul biru itu. Entahlah, aku tak bisa berkata apa-apa lagi untuk
semua itu bahkan aku tidak tahu apakah aku sanggup menghadiri undanganmu yang merupakan permintaan terakhirmu padaku. Aku tidak pernah
tahu.
Oh ya, dalam surat
ini bolehkah aku bercerita sedikit saja tentang bagaimana aku yang terkapar,
terbakar cemburu dan terasingkan. Hampir setiap malam, dinding kamar jenuh
mendengarkan celoteh ku yang tak berkesudahan. Aku menggumang tanpa kejelasan,
mencekik lidah tanpa prikemanusiaan, dan seakan lupa diri pada kenyataan. Aku bagaikan lilin yang terbakar. Entah setan apa yang telah merasuki diri
ini hingga selimut tebal pun tak mampu lagi menenangkan ku setiap malamnya.
Namun, ketika menjelang pagi aku kembali waras dan tahu diri. Seakan gagah dan
tak mengenal patah hati. Terkadang aku tersenyum dengan sendirinya menyambut
pagi jika sambil mengingat kejadian konyol malam hari.
Dan kini telah sampai
di bagian akhir isi surat ini.
Rindu, maafkan aku yang
begitu hinanya membawa diri. Sebenarnya aku malu, tapi, untuk melapangkan
dada ini agar terlepas dari belenggu yang tak bertepi aku memberanikan diri
menulis surat ini untukmu sebagai balasan surat bersampul biru darimu. Maaf,
aku tidak bisa menghadiri undangan tersebut karena aku tidak ingin menambah luka
lagi dalam hidupku dan tak ingin juga membuat pilu hatimu karena kehadiranku. Biarlah ku titipkan surat ini tepat di hari itu sebagai pengganti aku di hari tersebut. Selamat berbahagia ya. Semoga
kekal abadi selamanya.
Tanjung Batu, 12
Desember 2015