Bukan
Pelupa Yang Hebat
Boby Julian
Semua tak sama. Memang benar katamu, “Kita akan berusaha menolak saat senja datang
menghampiri kita”. Awalnya, aku sempat berfikir semua akan baik-baik saja
sebelum dan setelah kita menjadi bagian yang tak lagi utuh. Namun, aku tak bisa
membantah dan kepada entah aku bertanya tolol, sendirian, dan mulai menjejaki
remang hidup yang terasa begitu suram. Tak terhitung berapa banyak senja yang
datang menertawakanku karena melihat kebodohanku menjadi pengingat sejati
tentangmu dan tentang kita. Sebenarnya, aku merasa malu pada semesta karena
ketidakrelaan ini.
Aku masih belum mampu beranjak dari masa lalu kita.
Terus terang saja, aku masih ingat saat terakhir kita bertemu di pesisir yang
disertai ombak-ombak kecil begitu berisik dilengkapi dengan hembusan
angin yang begitu romantis. Akan tetapi, semua itu merupakan malapetaka hebat
yang akhirnya menghujani kita berdua. Saat itu, kau menggenggam tangan ku
begitu erat, sejenak kita larut dalam dekapan. Lalu,
kau menangis sambil menunjukan sesuatu yang telah melingkar di jemarimu. Aku
berusaha tegar melihatnya dan mencoba mengusap setiap air mata yang tumpah di
pipimu. Kau pun mulai berbicara terbata-bata “sayang, inilah yang ingin ku jelaskan padamu di senja terakhir kita
bertemu. Aku tak bisa lagi menunggumu, karena aku harus memenuhi permintaan
kedua orang tuaku. Ini pilihannya bukan pilihanku. Maafkan aku yang tak mampu
menolak”. Aku hanya berusaha lebih tegar saat itu, dengan
perasaan hancur berderai ku memulai kata dengan sangat hati-hati “mungkin, ini jalan yang terbaik untuk kita.
Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak bisa apa-apa. Bukankah musuh terbesar
pertemuan adalah perpisahan dan harusnya kita sadar, kita memang berbeda,
mungkin inilah jawaban Tuhan agar kita mampu mendewasakan diri dan memahami
suratan dariNya” setelah itu aku pun
pamit melangkah dengan tertatih dan sadar diri bahwa semua sudah berakhir.
Sebulan berlalu, aku sendiri menatap keindahan
semesta ini dengan hati yang tak kunjung pulih. Aku hanya meronta-ronta tanpa
suara memukul diri pada sengketa derita. Andai saja dulunya aku mau saat kau
ingin perkenalkanku kepada orang tuamu mungkin semua takkan seperti ini.
Namun, semua itu bukan tanpa alasan aku menolaknya. Aku sadar, aku belum
pantas. Sebab, kita beda usia dan
sisi lainnya lagi kau berkarir sedangkan aku masih berjuang untuk
menemukan jati diriku. Bagaimana mungkin orang tuamu mau melihat anaknya
menunggu untuk waktu yang cukup lama. Entahlah, aku tidak tahu siapa yang salah
dalam kisah ini yang aku tahu kita ditakdirkan tidak untuk menjadi sepasang
kekasih sebagaimana yang sempat kita impikan bersama.
Kini aku mulai melatih diri, rasanya begitu sakit
setiap kali senja yang ku hadiri hanya sendiri dan paling menyakitkan
lagi ketika angin mengantarkan debu yang menggugah diri akan masa lalu. Seperti
kekonyolan, pada saat itu juga aku berharap embun menyambut malam untuk sekedar memulihkan
keadaan yang ku beri nama kesepian. Ku katakan sekali lagi kepada entah “Semua tak sama, dari senja pergi hingga
menjelang pagi. Aku bukanlah pelupa yang hebat. Sudah
sekian purnama aku tidak lagi melihat senyumnya dan tawa indah dari bibirnya
yang biasanya ku anggap sebagai surga kecil yang mengisi hari-hariku yang
senantiasa menawarkan bahagia dan memberi damai tanpa diminta. Kini, semua
telah tiada bahkan untuk melihat punggungnya saja aku tak mampu lagi”.
Pada
akhirnya, banyak entah yang bertanya prihal aku dan hati yang betah sendiri. Sebenarnya,
tidak ada alasan mengenai hal ini. Kalaupun ada itu hanya sebuah alasan yang ku
paksakan ada. Baiklah, aku akan mencoba untuk mengurai alasan yang ku paksakan
ada. Memang sudah cukup lama rasanya aku tidak lagi berurusan dengan yang
namanya cinta. Aku memutuskan untuk menyendiri setelah yang terakhir kali
bersamaku memilih untuk berhenti menunggu. Jujur saja, dia sedikit banyak
meninggalkan bahagia lengkap dengan luka di dalamnya. Aku dan dia pernah
berjuang bersama dalam doa dan nyata semoga indahnya cinta selamanya utuh.
Tapi, aku mengerti bahwa “selamanya” itu tidak lama. Setelah peristiwa itu aku
mencoba berdamai dengan keadaan. Merelakan yang sebenarnya tidak ku relakan.
Bukankah musuh terbesar seseorang yang sedang ingin melupakan adalah kebiasaan.
Oleh karena itu, aku telah terbiasa menghabiskan waktu bersamanya. Aku terlalu
terbiasa dengan bau harum tubuhnya, tawa indahnya dan kemanjaannya. Butuh waktu
untuk melupakan semua itu. Mungkin dengan alasan inilah, senja akan berhenti
menertawakanku dan purnama takkan membiarkan lagi aku kesepian karena mereka tahu
aku bukanlah pelupa yang hebat.