Kamis, 06 Oktober 2016

Bukan Pelupa Yang Hebat





Bukan Pelupa Yang Hebat
Boby Julian

Semua tak sama. Memang benar katamu, “Kita akan berusaha menolak saat senja datang menghampiri kita”. Awalnya, aku sempat berfikir semua akan baik-baik saja sebelum dan setelah kita menjadi bagian yang tak lagi utuh. Namun, aku tak bisa membantah dan kepada entah aku bertanya tolol, sendirian, dan mulai menjejaki remang hidup yang terasa begitu suram. Tak terhitung berapa banyak senja yang datang menertawakanku karena melihat kebodohanku menjadi pengingat sejati tentangmu dan tentang kita. Sebenarnya, aku merasa malu pada semesta karena ketidakrelaan ini.
Aku masih belum mampu beranjak dari masa lalu kita. Terus terang saja, aku masih ingat saat terakhir kita bertemu di pesisir yang disertai ombak-ombak kecil begitu berisik dilengkapi dengan hembusan angin yang begitu romantis. Akan tetapi, semua itu merupakan malapetaka hebat yang akhirnya menghujani kita berdua. Saat itu, kau menggenggam tangan ku begitu erat, sejenak kita larut dalam dekapan. Lalu, kau menangis sambil menunjukan sesuatu yang telah melingkar di jemarimu. Aku berusaha tegar melihatnya dan mencoba mengusap setiap air mata yang tumpah di pipimu. Kau pun mulai berbicara terbata-bata “sayang, inilah yang ingin ku jelaskan padamu di senja terakhir kita bertemu. Aku tak bisa lagi menunggumu, karena aku harus memenuhi permintaan kedua orang tuaku. Ini pilihannya bukan pilihanku. Maafkan aku yang tak mampu menolak”. Aku hanya berusaha lebih tegar saat itu, dengan perasaan hancur berderai ku memulai kata dengan sangat hati-hati “mungkin, ini jalan yang terbaik untuk kita. Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak bisa apa-apa. Bukankah musuh terbesar pertemuan adalah perpisahan dan harusnya kita sadar, kita memang berbeda, mungkin inilah jawaban Tuhan agar kita mampu mendewasakan diri dan memahami suratan dariNya”  setelah itu aku pun pamit melangkah dengan tertatih dan sadar diri bahwa semua sudah berakhir.
Sebulan berlalu, aku sendiri menatap keindahan semesta ini dengan hati yang tak kunjung pulih. Aku hanya meronta-ronta tanpa suara memukul diri pada sengketa derita. Andai saja dulunya aku mau saat kau ingin perkenalkanku kepada orang tuamu mungkin semua takkan seperti ini. Namun, semua itu bukan tanpa alasan aku menolaknya. Aku sadar, aku belum pantas. Sebab, kita beda usia dan sisi lainnya lagi kau berkarir sedangkan aku masih berjuang untuk menemukan jati diriku. Bagaimana mungkin orang tuamu mau melihat anaknya menunggu untuk waktu yang cukup lama. Entahlah, aku tidak tahu siapa yang salah dalam kisah ini yang aku tahu kita ditakdirkan tidak untuk menjadi sepasang kekasih sebagaimana yang sempat kita impikan bersama.
Kini aku mulai melatih diri, rasanya begitu sakit setiap kali senja yang ku hadiri hanya sendiri dan paling menyakitkan lagi ketika angin mengantarkan debu yang menggugah diri akan masa lalu. Seperti kekonyolan, pada saat itu juga aku berharap embun menyambut malam untuk sekedar memulihkan keadaan yang ku beri nama kesepian. Ku katakan sekali lagi kepada entah “Semua tak sama, dari senja pergi hingga menjelang pagi. Aku bukanlah pelupa yang hebat. Sudah sekian purnama aku tidak lagi melihat senyumnya dan tawa indah dari bibirnya yang biasanya ku anggap sebagai surga kecil yang mengisi hari-hariku yang senantiasa menawarkan bahagia dan memberi damai tanpa diminta. Kini, semua telah tiada bahkan untuk melihat punggungnya saja aku tak mampu lagi”.
Pada akhirnya, banyak entah yang bertanya prihal aku dan hati yang betah sendiri. Sebenarnya, tidak ada alasan mengenai hal ini. Kalaupun ada itu hanya sebuah alasan yang ku paksakan ada. Baiklah, aku akan mencoba untuk mengurai alasan yang ku paksakan ada. Memang sudah cukup lama rasanya aku tidak lagi berurusan dengan yang namanya cinta. Aku memutuskan untuk menyendiri setelah yang terakhir kali bersamaku memilih untuk berhenti menunggu. Jujur saja, dia sedikit banyak meninggalkan bahagia lengkap dengan luka di dalamnya. Aku dan dia pernah berjuang bersama dalam doa dan nyata semoga indahnya cinta selamanya utuh. Tapi, aku mengerti bahwa “selamanya” itu tidak lama. Setelah peristiwa itu aku mencoba berdamai dengan keadaan. Merelakan yang sebenarnya tidak ku relakan. Bukankah musuh terbesar seseorang yang sedang ingin melupakan adalah kebiasaan. Oleh karena itu, aku telah terbiasa menghabiskan waktu bersamanya. Aku terlalu terbiasa dengan bau harum tubuhnya, tawa indahnya dan kemanjaannya. Butuh waktu untuk melupakan semua itu. Mungkin dengan alasan inilah, senja akan berhenti menertawakanku dan purnama takkan membiarkan lagi aku kesepian  karena mereka tahu aku bukanlah pelupa yang hebat.