Minggu, 27 November 2016

PESAN MALAM

Hasil gambar untuk MALAM SEPI

Malam ini aku mengarunginya dengan sebuah perjalanan kosong tanpa tahu jarak tempuh dan arah tujuan karena yang aku lakukan hanya sekedar ingin menikmati malam. Satu jam sudah lamanya aku berjalan, kini aku sedang berada di pinggir hutan yang lumayan rimba dan aku menghampiri sebuah angin di bawah rindang, angin sedang menangis. Lantas aku pun bertanya “mengapa engkau menangis sahabatku, desirmu begitu menyayat kudengar?”  Angin pun menjawab dengan lirih “Aku kesepian. Aku melewati setiap hamparan lembah hanya keheningan yang kudapat. Ketika aku memilih melewati gurun nan luas hanya keheningan yang menemaniku. Aku kesepian, Tuan”  aku pun terperangah tanpa sepatah kata dan membiarkan angin pergi begitu saja.

Kemudian aku melanjutkan kembali perjalananku. Telah jauh aku menempuh jalan. Namun tak ku jumpai keramaian di malam, hanya ada hening yang mencekam. Perjalananku semakin jauh tanpa peduli penat kakiku yang mulai nyeri. Lalu, Aku terhenti di sebuah persimpangan kilometer 14. Di sana aku menemukan seekor belibis putih yang sedang menangis. Aku pun bertanya padanya “mengapa engkau menangis di keheningan malam ini?” dan sang belibis pun mengepakkan sayapnya seraya mendekatiku dengan lunglai sembari menjawab “aku menangis karena mengenang kekasihku Tuan. Aku tidak tahu di mana dia berada sekarang. Sudah hampir tujuh purnama aku menantinya di sini, menanti kepulangannya sebagaimana janji pertemuan yang sempat kami utarakan sebelum perpisahan. Aku takut akan kehilangan  Tuan” aku kembali bertanya pada sang belibis “apakah engkau masih meyakini bahwa kekasihmu pasti pulang? sang belibis pun menjawab sembari terisak “aku tidak tahu Tuan, kadang aku meyakini karena kekasihku pernah berjanji. Namun, kadang kala aku merasa putus asa dan hilang rasa percayaku. Sebab, untuk sekedar tahu dia baik-baik saja tidak pernah kudapati beritanya. Aku lelah Tuan, mungkin ini memang sudah nasibku hanya bersandar pada pengharapan tanpa kepastian” sang belibis pun langsung bergegas meninggalkanku. Aku hanya terdiam pun tak sanggup menerka kejadian yang serupa dengan angin setengah jam lalu.

Kini aku hanya memerhatikan alam dan menunda perjalananku di sebuah persimpangan, tempat di mana aku bertemu pada seekor belibis putih yang menangis. Aku pangling bahkan untuk mengingat yang terjadi pun aku tak tahu apa yang sedang aku rasakan, hanya ada ketiadaan di balik wujud diri ini. Mungkin semesta sedang berkelakar menyaksikan aku yang sedari tadi terheran. Namun, kenapa harus hujan yang turun? Aku pun bingung dengan keadaan alam dan semakin bingung dengan maksud hujan membasahiku.

Pada akhirnya aku memilih meneruskan perjalananku di bawah hujan melawan arah. Aku memilih menikmati saja daripada harus menggerutu tanpa sebab. Rupanya hujan begitu menyenangkan dan begitu baik sekali karena telah mengantarku pulang untuk melepaskan segala penatku yang tersesat oleh perjalanan tak bertujuan. Dan kini aku disaksikan oleh dinding kamar saat aku mulai mengeja makna demi makna yang disampaikan malam padaku. Lalu, mengurai arti demi arti yang diucapkan air.

Ternyata benar pesan malam, bahwa aku terlambat sadar akan maya demi maya yang selama ini mencuat isyarat. Aku pun lirih membenarkan firasat diri dalam pikirku yang kini mulai bersenandung bahwa “ada sesosok serupa indah kejora dalam airmata maya telah luruh mencariku. Menatih dan tertatih dalam mengayuh bidak rapuh, dikarenakan aku dalam pengembaraan sunyi. Dia diam seribu bahasa, dalam sekian masa hanya keluhnya yang hadir menemani bukan pengharapannya akan kepulanganku. Oh Puan, maafkan aku yang selama ini tak mengenal arti mayamu. Sesungguhnya yang terjadi adalah aku tidak sedang membunuh kita. Keluh itu adalah pertempuran yang tidak dapat kau menangkan, begitu pun aku merasakan dalam pencarian jalan pulangku”


Kini rasa bersalahku hadir melintasi dalam bayang-bayang dan segenap haru menghukumku menghadirkan sadar bahwa aku memang manusia yang jatuh pada butuh. Jangan anggap aku melupakanmu, tidak sama sekali itu terjadi padaku, Puan. Andai saja kau tahu bahwa kau adalah rajut sempurna pelangi tasbihku mungkin kau akan damai dalam penantianmu. Sesungguhnya begitu besar kasihku padamu, namun tak melebihi kasihku pada Tuhanku. Bersabarlah Puan, Sebab apa yang kita harapkan bila memang ada campur tangan dari Tuhan tanpa maya pun kita akan mengutus kebahagiaan baik itu di dunia maupun akhirat.

Kamis, 24 November 2016

GERIMIS YANG KRITIS

Hasil gambar untuk lelaki gerimis
Ranting pilu menulis kembali puisiku di dahan haru. Seperti rindu, sebagai rindu, pada jejak sebutanku di punggung senja kemarin kala itu tangkai kenangan berangsur-angsur menggeming mendesak rindu nan temu. Diamku menjadi lena yang membius aroma puitis jejak romantis pada bait-bait puisi yang tertulis, ibarat sampan kecil yang menjelajahi lautan gerimis dan ayat-ayat rinduku seperti tersihir pada sesuatu yang hadir, bayangmu.

Seiring dengan lamunanku, terbiar pula musim yang mengikuti perangkap sunyi yang kemayu. Tibalah waktu mendadak menjadikanku kasmaran karena dimanja rindu. Keresahan belum usai, pun tak terbatas waktu dan kali ini rindu ingin berjihad hebat melawan waktu dan jarak. Demi sebuah sapa atau sekedar menunaikan janji temu, karena rasa sesak detak rindu itu terletak sejajar di sebelah dada tempat pengabdian rasa bermuara.

Apatah benar kemungkinan temu itu menjejaki kita di tepian pasir bergaram? Ahk... aku hanya sekedar berharap tanpa titik lugas. Nyatanya prihal temu kosong, hanyalah sebatas bayang yang mengobrak-abrik tataan rindu yang mandiri.

Perlahan-lahan aku mulai mencoba menjadi manusia setabah tanah, meski harus melenyapkan prosa tanpa suara. Hanya sesumbar rindu saja, aku berpura-pura tegar mengkhatamkan puisi sendu. Lagi-lagi rindu sedang bersenandung, padahal atmosfer syaraf-syaraf kepalaku tak stabil seperti dulu. Dan pada akhirnya si pejemput puisi itupun paham, tentang si penyair penjelajah laut gerimis, suram dan tenggelam. Jasadnya dibawa malaikat inspirasi dan ruhnya tersangkut di punggung sepi.

Seandainya rindu ini adalah dongeng, mungkin aku tidak sekarat sedemikian bentuk bagaikan terkutuk, menunggu dipungut Tuhan dengan segera. Rasanya tak cukup puas memandangi wajahmu melalui album facebook atau di instagram milikmu, hanya menjadikan inti hati ini tak kelar disetubuhi duri.

Kau tahu? Rindu ini tak terbatasi, selalu hadir di hati larut di dalamnya. Kepunyaanku hanya waktu yang mati serupa jarum yang berdetik pada jam dinding batu. Aku pernah bermimpi, kau berbisik padaku tentang dongeng negri bunga, warna dan cahaya. Di sana ada taman di bawah kerlip gemintang. Di sana kau memintaku memungut sepercik cahaya berwarna biru yang mempunyai cerita tentang keindahan puisi. Akupun terbangun linglung, sebab makna telah terserap habis yang kau hadirkan dalam mimpi semu.

Lagi-lagi rindu menjadikanku penyair gerimis yang kritis tanpa mengenal rapi setiap baris yang tertulis.

Sabtu, 19 November 2016

BUDAK JARAK

Hasil gambar untuk budak jarak


Puan...

Sekiranya kita mustahil mewujudkan hal yang semulanya nihil, adakalanya kita harus memafkan kolaborasi antara jarak dan rindu. Ketika ragu memorak-porandakan hati, hidup dalam kata-kata menggantungkan harapan, menunggu semesta menyetujui keinginan serupa yang sampai kini tiada pertanda.

Memang benar, kita adalah budak jarak yang memanipulasi benci guna beradaptasi mengindahkan bayangan untuk melarikan sendunya kenangan. Merasakan hidup bagai denting piano yang melesat tapi tersesat, tersebab irama gemuruh hati yang tak pekat. Menjadi manusia serupa buta, menerka-nerka semesta yang kerap bercanda, selepas jangkar terlepas setelah kapal berlayar.

Kita hanya punyai raut wajah kaku kala rindu menjadi anak jarak yang mengajari kita tuk bertanya dalam sajak-sajak. Ya, memang benarkan Puan, karena hanya dengan sajaklah kita bisa leluasa bercakap. Tak peduli di mana kita meletakkannya atau di mana kita sedang berada membayangkannya.

Seperti pertanyaan di dalam sajakmu:

“Apakah waktu takkan pernah lagi berpihak, saat alamku jadi diam, ketika mata membisu menatap remang kerinduan di ujung kemilauan senja yang menjulang?
Siapakah kita di hari esok Tuan?
Berjanjilah untuk tidak menyerah walaupun hati terlunta-lunta menyambangi peraduan rindu!”

Hambar rasanya setiap lidah berujar. Entah pada siapa harus bersua mengatakan yang ingin kucurah. Aku tidak punya pilihan selain hanya sanggup menerka sambil mengukir skema di dinding kamar tanpa pelita. Hiduppun kian terangkul gelap sampai tak ada satupun jangkrik ingin hadir mengusik senyap dalam perangai sajakmu yang mengajakku bicara dengan sendirinya.

Puan..

Kita hanya diperbudak jarak tentang dongeng perjalanan. Jarak hanyalah sebuah kebetulan dan waktu jadi sebuah alasan. Mungkin kita semakin tidak mengerti tentang pertemuan, ketika kita menikmati kelambu jingga bersama kawanan mega yang berarak pergi jauh sampai ke belahan bumi lainnya. Matahari pun saat itu terusir dan kita akhirnya bertemu malam sambil menanti seekor kupu-kupu hinggap ke dalam toples. Barangkali, kita seperti itu Puan.

Bukan rindu namanya jika langit kita tak terluka. Pernahkah kau sadar tentang tangisan langit yang datang tanpa diundang? Kadang ia menjadi badai terhebat yang sangat ditakuti. Jarum-jarumnya begitu cepat menancap bumi dengan tak beraturan. Bukankah sering kita merasakan apa yang dirasakan langit.

Biarkan saja jarak yang kita benci menjelaskan dengan rinci pengertian rindu, yang tak pernah disampaikan kalbu. Biarkan perjalanan yang berbeda menjadi setetes air, yang menyerupai kita dalam tanya. Biarkanlah kita sesekali berkreasi sambil membaca situasi jeda temu, agar rindu tidak mati sia-sia menangkap hati. Sebab, semenjak menjadi perindu kita tidaklah mahir menipu diri dengan bisikan, karena dagu yang kita miliki pasti akan gagal tumpul akibat runcingnya airmata.

Saat ini kita sedang tertahan meratapi batas yang mengiris, maka izinkanlah jemari kita melepaskan elang terbang menduduki menara tertinggi di riwayat hati. Agar ketajaman mata sanggup memandang kita meskipun dalam keadaan meringis sembari menyair dan merintih, karena kita sedang sadar dalam teriak hati yang berujar perih menggenggam luka nanah yang pedih.

Kau perlu tahu Puan, bagaimana rasanya menjadi aku merasakan jarak semakin meluasi rindu. Aku tak sanggup lagi menguras samudera untuk membuang derita yang bernaung, mengajakku dengan sengit cara seni bertarung. Kita sudah terlanjur melantunkan hati kita yang terpaut, merekat dalam kabut, rindupun membalut, karena jarak kian menuntut.

Seharusnya kita mampu hidup seikhlas matahari yang tulus mencintai bumi. Agar kita mampu mengukur jarak di pantai panjang yang dikulum pasir bergaram, saat menyiratkan sesuatu yang padam, sesuatu yang geram. Memang benar, isyarat mata kala itu seakan perdu bagaikan sekumparan kabut yang kalut, bilamana rindu memadu menjadi bau gaharu. Namun, siapakah yang sanggup diantara kita menelungkupkan tanjung ke arah laut?

Objek rindu memang selalu jitu, tersebab jarak membombardir. Kini seisi hati kita ketar-ketir. Kita dibuat candu memandu ekor mata mencari arah, betapa bertemu adalah yang selalu ditunggu pada setiap kecilnya kesempatan. Ia selalu menaruh harapan, hampir setiap harinya kita melahap dengan doa-doa yang kemudian menua dalam air mata. Kita juga bertaruh dengan Tuhan, bahwa jarak hanya ujian bukan perpisahan yang melahirkan ketiadaan.

Jarak adalah pengarak rindu dan rindu seperti perantara kita. Mereka seperti kado istimewa dari pencipta. Sebab, melalui jaraklah rindu kita kian merangkak. Walupun kepastian itu belum ada di tangan, tapi rindu bisa kita pertahankan. Bukankah rindu adalah guru yang mengajari kita untuk sabar menunggu?

Biarkan saja rindu melumat hati kita melebihi porsinya. Melampaui sesak gemuruh dada yang mendesak. Entah apalagi yang bisa kita percayai melalui jarak yang membatasi. Manalah kita tahu setiap gerak-gerik yang kita lakukan di detik yang siap berlalu. Mana pula bisa kita menahan ingin dan angan yang terus berhamburan. Kita hanya bisa mengiyakan segala kemungkinan dan menaruh harapan pada doa yang tak pernah terlupakan.

Puan...

Biarkan aku menghafal seluruh bekas langkah, yang kusebut penyebab rindu. Biarkan aku mengingatmu lekat sambil mengeja harap tanpa lambat. Biarkan aku terus berharap, karena jarak memang tidaklah menakutkan. Nyatanya, kau tidak pernah jauh dari tempurung pikiran yang menetap tanpa sekat. Sebab itulah aku jadi pintar menumpuk rindu, agar tidak berserakan lalu tertinggal di belakang.

Tidak hanya aku, kau juga pintar menumpuk rindu. Sebab, jeda temu cukup lama menciptakan resahmu, menggamit sejumlah rasa bahwa jarak seumpama tak nyata demi meyakinkan hati menggenapi nanti.

Puan...

Nikmati saja proses ini.  kita hanya dua anak manusia yang melangkah dalam waktu untuk saling mengerti, memahami dan menerima. Resiko yang kita hadapi memang akan mudah menghempaskan kita, namun kita harus kuat, karena jarak takkan mengubah perasaan.


Minggu, 13 November 2016

SULITKAH MENJADI KITA...!!!

Hasil gambar untuk sulitkah bersatu
Benarkah kau masih sendiri?

Aku pernah mendengar kabar, ada nama yang kau sebut seusai shalatmu. Aku pun sempat melihat di luar sana, banyak sekali yang berlomba meraih perhatianmu. Satu persatu dari mereka mengutarakan niatnya. Dan aku sempat mendengar tak satupun dari mereka kau terima.

Lantas siapakah yang mengisi hatimu?
Benarkah kau masih sendiri?

Aku melihatmu begitu antusias mempersiapkan diri. Di lain waktu, kau terlihat mengagumkan saat bermain dengan anak-anak di Taman. Aku melihat lagi ke arahmu dan tidak ada sesiapa di dekatmu selain anak-anak.

Lantas siapa gerangan yang sering kau sebut dalam doamu?

Aku menjadi terlalu sibuk mencari tahu. Padahal aku hanya orang asing bagimu. Hanya saling tahu nama dan diam-diam membaca baris kata. Tidak ada cara memulai padahal ingin sekali menyapa. Bahkan diantara kita jarang sekali ada pertemuan. Aku tidak begitu yakin kau mengenaliku sejauh aku mengenalimu.

Lantas siapakah sesosok yang kau sebut dalam doamu?

Suatu ketika aku menghampirimu seusai kau bermain dengan anak-anak. Aku memberanikan diri menyapamu memulai tahap dengan lugu. Kau tertawa kecil sembari tersenyum padaku. Kakuku seketika berubah kala kau mengembalikan suara tanyamu. Saat itu juga kita akrab, seakan aku bukanlah orang asing sebelumnya.

Hari demi hari semua berjalan dengan baik. Aku bukan lagi seorang pengintip ketika kau sedang bersama anak-anak di taman TPQ. Kita menjadi sepasang manusia yang leluasa bercerita, berbagi pengetahuan dan saling menguatkan. Entah skenario apa yang sudah ditulis Tuhan hingga kita begitu tenang, berbagai tahap kehidupan kita lalui dengan nyaman. Meskipun kita tidak tahu ikatan apa yang sedang diutus Tuhan. Bisa saja Tuhan ingin melihat kita merespon dengan ketentuanNya.

Lantas siapakah yang selalu kau sebut seusai shalatmu?

Pertanyaan itu tak sengaja ku ucapkan. Aku menjadi gugup dan merasa bersalah. Aku memaki diriku sendiri di dalam hati suasana pun seketika berubah menjadikanku tak berfirasat dan canggungku meninggi, seakan kembali seperti semula saat belum pernah menyapamu.

Kita mendadak jadi pendiam yang bergerak hanya digerakkan keadaan. Rasa takutku melebihi batas kewajaran tanpa bisa melakukan apapun, bahkan sekedar untuk bertanya lagi harus menunggu keadaan memberi kesempatan. Kita bergerak seperti daun-daun yang jatuh. Tidak mampu menggerakkan diri sendiri yang pasrah dihempaskan angin kemanapun perginya. Kemudian kau mulai memecah keheningan, lantas kau bertanya padaku menanyakan hal yang sama. Bagai disambar petir aku menatapmu, kau hanya tersenyum dengan katamu“tak usah menjawab bila tak punya jawaban”. Aku hanya bisa membalas senyummu dan kau pun pamit meninggalkanku sendirian.

Kini aku dirajam dengan pertanyaanku sendiri. Aku mendengar kabar yang selama ini kucari dan aku tidak menemukan jawaban justru harus mencari jawaban diri ini sendiri. Selama ini aku hanya sibuk mencari tahu tentangmu sedangkan untuk mengatahui alasan tersebut aku tidak pernah tahu.

Apakah aku telah jatuh hati padamu hingga begitu sibuknya aku mencari tahu tentang isi hatimu?

Sekarang aku mulai berpikir tentang hatiku, mulai membicarakannya sendiri dan berusaha menemukan jawaban yang tepat. Adapun suasana terang malamku menjadi gelap dengan sendirinya, mencuat hebat firasat diri yang tak kumengerti sama sekali. Sulitnya menjadi kita yang tak sengaja mempunyai tanya yang sama tak punyai jawaban.


Ke esokkan harinya kita kembali bertemu di tempat yang sama. Raut wajahmu tak berubah tetap penuh kebahagian. Seperti biasa, kita kembali bercerita tapi tidak untuk pertanyaan kemarin. Dan kali ini kau melarangku untuk bercerita. Baiklah, hari ini aku akan menjadi pendiam dan menyimak ceritamu yang katanya:

“suatu hari nanti pasti akan ada seseorang yang baik budinya membuat kita tertarik. Karena hatinya cukup luas sebagai tempat kita untuk tinggal di sana dan cara berpikirnya bijaksana untuk diajak berbicara. Namun, terkadang yang baik juga belum tentu tepat. Pastinya orang baik itu banyak sekali dan hanya ada satu yang tepat diantara mereka. Selebihnya hanya ciptaan yang sengaja Tuhan kenalkan dengan kita. Bisa saja kita tidak tahu siapa yang tepat dari yang terbaik sampai datangnya hari akad. Sekiranya nanti kita bertemu dengan orang baik yang tepat tersebut, sudahkah kita siap meninggalkan yang baik juga atau sekiranya kita sudah bertemu dengan orang tersebut yang sehari-harinya berada di tempat yang sama, dalam lingkaran pertemanan yang serupa, berjalan dalam satu rasa, apakah kita bisa menyadarinya? Adakalanya kita mejalani hidup sebagaimana biasanya kita tidak menduga bahwa akan tinggal bersama, hidup di bawah genting yang sama. Kita tidak pernah menyadari hari esok, bisa saja aku memanggilmu suami atau ada orang lain yang akan kau panggil istri. Kita hanya perlu melepaskan beban di pundak bersama bukan kadar cinta yang menjadi pertanyaan serupa. Apalah arti cinta, bila kelak kau tak pernah di rumah yang kita bangun bersama?”

Sedingin itu kau bercerita dan setelahnya kau berpamit pulang tanpa menawarku pulang bersama. 

Kini tinggallah aku sendirian di taman ini dalam pikir yang mencari hasil proses ceritamu tadi dan lagi-lagi aku kesulitan tuk menemukan apa yang harus aku temukan. Pada akhirnya akupun memlih pulang dan mendekam menyambut malam. Tubuhku bergetar, entah apa yang harus aku lakukan. Aku masih terpikirkan dengan ceritamu, cerita yang tidak kupahami maksudnya. Dan di malam yang semakin larut aku memilih hanya mengirimimu pesan singkat “sulitkah menjadi kita!!!”. Tidak ada jawaban darimu, aku pun memilih memejamkan mata menunggu pagi kembali.

sulitkah menjadi kita

Sabtu, 12 November 2016

PEMUJA RAHASIA

Jangan lupa bahagia J

Sudah berapa kali kamu terjatuh? Mungkin sudah lelah kamu menghitungnya, menduga sudah sampai tujuan tapi ternyata belum. Seperti telah menemukan rumah, rupanya milik orang lain. Jangan takut, ada seseorang yang mungkin tak pernah ada dalam pikiranmu tapi terus mendoakanmu dan memperhatikanmu. Seseorang itu benar ada, percayalah. Hanya saja Tuhan sengaja merahasiakannya. Bisa saja aku atau ada juga yang lain (dengan cara yang sama).

Seseorang tersebut selalu menanti tulisanmu, karena dari situlah ia bisa tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Ia tidak pernah bercakap-cakap tentang sesuatu yang berlebihan akan perasaannya, atau selalu mencari sensasi dalam sapa. Ia sangat gemar sekali membaca setiap halaman tulisanmu dan selalu meyakini pasti akan terus bertambah lembarannya. Ia menyukai cara jatuh cinta seperti itu. Bahkan ia tak pernah bisa menyebut namamu di hadapan temanmu. Sebab itulah ia sengaja membiarkan ruang hatinya kosong. Karena ia sudah merencanakan sesuatu dalam sulaman doanya, setiap kali membaca tulisanmu. Hingga tak perlu repot-repot lagi ia bertanya kesana kemari tentangmu di setiap hari.

Ia sedang berjuang melangkah mencari jalan. Ia sedang mempersiakan sebuah hadiah untukmu. Ia masih sedang belajar ini dan itu, agar ketika ia datang dalam keadaan yang benar-benar siap untuk membahagiakanmu. Begitu sederhanakan, seseorang yang tidak mengaplikasikan namamu pada publik atas mencintai dengan hati yang siap dipatahkan takdir.

Teruslah menulis, karena suatu hari nanti salah satu tulisanmu akan ia upayakan untuk mewujudkannya.


Bersedialah untuk bersabar JJ  Pemuja Rahasia

Kamis, 10 November 2016

DIAM

Apa kabar diammu?

Seminggu yang lalu, aku menyempatkan diri membaca tulisanmu di instagram. Terus terang saja, aku terharu dan sangat menyukai diksinya. Ketika aku membacanya ada kehidupan di dalamnya. Aku mengagumi yang menikmati semesta tanpa menyampingkan rasa syukur dan berdamai pada kisahnya. Begitu romantis caramu membelai semesta hingga aku begitu iri memahaminya.

Aku mencemburuimu, maukah kau mengajakku belajar berdamai dengan semesta?

Aku ingin merasakan bagaimana menjadi langit, samudera, senja dan angin. Aku ingin sesekali kau mengajakku bersama, melukis jejak di tempat biasanya kau menikmati semesta. Aku ingin merasakan bagaimana indahnya menyambut kenangan datang dan membiarkannya pamit pulang. Aku ingin mengenal jingga lebih dekat lagi, supaya, aku tak rapuh mencium aroma takdir. Aku ingin langit mengenaliku bukan hanya sebagai mendung, tapi juga pelangi. Dan aku ingin menikmati senandung ombak yang mengindahkan suasana apapun.

Maaf, jika aku mencemburuimu lebih dari sederhana dengan cara yang bisa saja kau anggap salah. Selama ini aku hanya mengenal hujan dan kemarau, tidak lebih dari itu. Kadang untuk mengenal krikil-krikil pun aku gelisah karena ada kebencian yang tidak ingin aku rasakan. Namun, Semenjak sajakmu menuansakan irama kebesaran Tuhan seketika aku membaca dengan kadar paham yang kuupayakan benar dan sekarang aku berada di tahap pembenahan.


Pada akhirnya aku sadar, semesta itu luas tidak hanya hujan dan kemarau atau krikil-krikil itu. Kau menulisnya dengan sederhana aku membacanya penuh makna. Jika aku boleh menuang opini sederhana, maka aku hanya berujar “begitu menarik sekali rencana Tuhan melengkapi semesta dengan isi bertajuk beda, indahnya tanpa batas kata keindahan hanya saja kekeliruan sering melanda pemahaman”. Terima kasih diammu.diamdiam

MENJADI HUJAN

September silam, menarik sekali rencana Tuhan, membiarkan kita berpapasan membaca tulisan mata penuh canda tawa. Kita menghabiskan semusim dalam sekejap. 

Apakah kau merasakan sesuatu yang tertinggal atau semua hanya menjadi hujan?

Kiranya aku, mungkin akan kau sebut hujan. Sebab, Pesan singkatmu semalam seakan basah tak pernah mengering tanpa menyesali kehadirannya turun ke bumi. Mungkin kau pernah menghitung rintik-rintiknya atau memang masih menghitungnya.

Maafkan aku!

Andai memang benar, menjadi hujan. Hujan yang tanpa sengaja menghujani hatimu, hujan yang membuatmu nyaman, hujan yang membuatmu tak ingin merasakan kemarau dan hujan yang terus kau harapkan membasahi hatimu. Jika itu alasanmu, maka aku akan tetap menjadi hujan. Hujan yang banyak orang tidak menginginkannya serta hujan yang banyak orang membencinya. Dengan demikian, aku hanya untukmu yang menyukai hujan karena yang menginginkanku hanya dirimu, hatimu.

NUANSA ASMARA

Duhai senandung ombak,
Terpautkah kisah privasi rasa menjelma jingga
Lembayung senja melengkung indah mendamai suara
Lirik mata mengeja sukma, mencuri jiwa berbunga asmara

Perangai kata membisik segera, puncakkan tahta berumah makna
Tiada lena menata aksara menuai rasa sekuntum asmara
Sekelabat debar menggebu asa menyapanya, bunga terindah
Pelengkap bahagia sepanjang masa asmara bernyawa...   

Rabu, 09 November 2016

MANUSIA SEJUTA EGO

Kau lempar kesalahan pada mereka
Kau gubris kebenaran karena secerca

Pedulimu bukan jaminan semata
Tak luput ego, kau binasakan kebenaran
Tak perlu berteriak kau paling benar
Kau bukan Tuhan pemegang peranan

Mereka diam bukan ketakutan
Melankan tidaksudian mengerang kebencian
Peranmu tidaklah begitu hebat
Bila hanya kau lontarkan cacian
Benarkah kau hebat?
Tidurmu saja memuakkan,

Hey................. manusia sejuta ego
Dengarkan, gunakanlah cerminmu!!!
Jika tidak, kau hanya jadi bahan tawaan. 

Senin, 07 November 2016

CATATAN TERPINGGIRKAN

Dengarkan baik-baik!!!

Aku telah dirajam pertanyaan kejam, kala mentari pagi berkembang sampai senja menjurang malam. Kehidupanku tak sesempurna yang kau bayangkan, aku bukanlah pangeran yang sedang membangun kayangan. Sejak kau ajari aku menyapa kehilangan, hidupku berantakan dan aku betah merasakan. Aku tak pernah segan mengatakan bahwasanya aku adalah penikmat sepi yang meringkuk di balik jeruji, mengemis waktu tuk mengembalikan yang telah tercuri atau menanti mati. Jangan kau mengkhawatirkan keberadaanku yang berantakan melintasi waktu. Biarlah aku bertahan di balik celah kesepian ini, memeluk kenangan dan mimpi yang telah dipatahkan takdir.

Akulah pemuda bernasib malang, merayakan kehilangan dengan hidup berantakan. Setiap hari harus menelan kerelaan dan berupaya cerdas menggenapi waktu agar tetap hidup menciptakan jejak. Seperti yang kau tahu, mataku adalah kamera yang kini sudah tak memiliki hari baik lagi. Lensanya pudar karena tak lagi kurawat seperti dulu saat bersamamu. Tak perlu kau datang memberi tisu kepadaku yang tak berguna sama sekali. Sebab, kerusakannya tak berbentuk. Hanya menjadikanku pelamun yang nyaman termakamkan kenangan.

Aku tak ingin merapikan hidup. Tersebab bosan mengkadar pinta tanpa penanda. Aku memilih kusam tak beraturan tanpa arah, karena itu jauh lebih menyenangkan. Jangan takut, aku takkan memberontak takdir yang tak tercatat. Percayalah, biarpun harus kuarungi hidup dengan berantakan, itu adalah pilihanku. Kau tak perlu menjadi penjahit demi menyelamatkanku. Sebab, kita hanya dipertemukan untuk menjadi sebuah kenangan. Kau dan aku adalah hasil dari kreativitas Tuhan yang merancangnya dengan berbagai balutan. Seperti butir hujan, cahaya mentari, rumput ilalang dan debu. Jangan kau kasihani aku dengan perhatianmu, aku tak membutuhkannya.

Bagiku, semuanya gelap dan hancur. Jariku saja takkan mampu berhitung, berapa lamakah aku harus menanggung?

Minggu, 06 November 2016

KETENANGAN BERPURA

Kita tetap yang dulu, takdir kenangan mencatat
Semalam dalam gurauan berkesan, kita sepakat
Tersebab rasa berpura benar kata
Kita mengikat pura dalam nyata karena rasa
Mendusta mereka yang terterka ingatan dan perasaan, ada

Tentang kita sama,
Menggantungkan rasa adalah ketenangan berpura
Percakapan diam-diam menghidupkan kebahagian meletakan nyaman
Tak ingin mematikan meski sekeping hati mendekam ke lain
Saksiskan saja setangkai bunga menguntai keheranan
Mengingatkanku caramu, mengingatkanmu caraku
Bukan tuk menimang harap, hanya betah berpeluk rasa kita yang sama 

AMINKANLAH!!!

Sejak pertama kali kita diperbudak jarak, aku mulai menghibur diri dengan sajak “pernah dan masih”. Hidupku hanya puisi yang membicarakan tentang kemarau dan hujan. Aku telah dikutuk menggigil dalam menyembunyikan luka atas rindu yang hilang alamat. Aku berusaha menyinggahi alam mimpi guna melipat jarak yang masih bernyawa. Bagaikan pintu yang kehilangan ketuk dan ruang tamu yang lupa arti kedatangan serta menjadikan dua sisi asing yang saling menikmati kesakitan.

Semenjak jarak mematahkan harap, aku dan puisi sering kali salah paham. Ketika kemilau senja hadir menemani sepi yang menjulang tanya batinku, tak pernah kupahami sepenuhnya bahwa kita memang ditakdirkan sebagai kenangan. Kita adalah lonceng sekolah yang tak lagi berbunyi saat libur dimulai dan sebuah tunggu pun kini menjadi puisi mati.

Kini aku hanya mampu mengucap dengan mata sayu sembari menggenggam payung tuk berlindung. Tak ingin berupaya menculik matahari karena yang terjadi sama, terisak. Menyelundupkan rindu pun tiada gunanya, tak membawa hati bahagia. Terlalu banyak aku mencatat kenangan hingga besar kepalaku mengakar tanpa enggan mengaku terengah-engah mencari temu.

Akankah cinta kita tetap terlihat indah kala senja menyapa sambil menangis di bawah hujan?

Puisiku telah kehabisan kata untuk mewakli rasa. Barangkali kita sama, ingin mengecap indahnya tanpa harus sembunyi. Sulit dipahami, skenario yang ada bagaikan gelas yang membentur lantai. Ini serupa firasat takdir yang berdenting sendiri, tentang sunyi-sunyi yang berujar dan tentang ranting-ranting yang bernyanyi.

Sehelai harap yang kukirimkan dari sisa patahan tersebab jarak tak pernah beralamat lengkap. Padahal, aku ingin menyelipkan rindu yang menyemut dalam milyaran tanya terajam. Seperti seutas tali yang tak pernah tersimpul rapi, demikianlah rinduku yang terulur tanpa ujung bernama temu.

Akulah penulis puisi yang tak lagi punyai pembaca, berulang-ulang sajak kutulis harus kuledakkan sendiri dengan begitu cemas. Berlarik-larik sajak kulebur bersama udara yang kuhirup. Beradu sudah ungkapan takjub mengkerut sebagai ruang kenang bertandang pilu. Aku tak kuasa memisahkan kepayahan yang berkelakar ketika meminjamkan sebilah belati pada sepi yang menggambarkan pesakitan kesendirian ini.


Dimana kehilangan itu berada? Aminkanlah!!!

Kamis, 03 November 2016

TERLAMBAT SADAR

Bila hendak mengunjungi lebih dari sedih
Mematikanmu dalam angan terdahulu, percuma
Begitu sesal yang kau terima meniadakan cara
Perekam jejakku nyeri tak sudah-sudah

Kau telah berusaha pintar mengelabui rasa
Kau biarkan daku mengeja kita menjelma luka
Lama sudah tak ku sapa...
Rupanya kau terjamah rasa, berpura-pura

Kini melodi paling indahku pun menjadi pelangi di langit malam
Andai waktu bisa diputar kembali..
Maukah kau tak berpura-pura lagi?
Lupakanlah dirimu yang mati suri, hiduplah kembali!!

Kemarilah!
Akan ku jawab keherananmu ketika rasa bukan menjadi alasan
Jangan larang aku menghitung gerimis kita yang sama
Karena aku ingin mendengar suara selain kemarin

Jika saat ini aku bertanya
Masihkah ada kenginginan dalam hidupmu untuk mati-matian melupakanku?
Meniadakan kita?
Apakah jawabmu sama sepertiku?

Jangan mengutus hujan tanpa mendung, jawablah!!
Sebelum gemuruh angin selesai berkemas
Menggugurkan bulu mataku membaca kita
Hati yang patah........

BAHASA RINDU

Siapa bilang, melupakan itu gampang?

Andai semudah menghapus tulisan dan mematikan lampu, mungkin saat ini aku sedang tertawa. Sebab, tak perlu lagi menguras tenaga dan pikiran untuk berkerja keras melarikan ingatan. Bahkan saat hujan berceritapun aku tak perlu berpura-pura untuk tidak  membicarakanmu lagi. Namun, sampai detik ini juga aku masih larut dalam kabutnya kisah kita yang terbuang oleh waktu. Aku masih membayangkan mimpi yang dulunya kita jadikan topik percakapan setiap hari. Dan aku masih membicarakannya kepada alam, baik itu siang maupun malam.

Hidup ini sudah kunikmati, walau sekedar berimajinasikan kenangan yang tersusun rapi di perpustakaan hati. Meskipun sekarang ini berharap untuk melupakan tak ubahnya merasakan kesedihan. Aku berupaya menyadarkan penat yang membosankan. Tanpa basa-basi proses melupakan tergenang pasrah memeluk kenangan, menjadikan banjir menjenguk hati yang terkikis kemungkinan. Dan aku mencoba untuk merayu langit agar tidak  menyalahkan hujan, karena aku menikmati setiap derasnya untuk mengetuk pintu takdir sebagai cara menuliskan harapan canggung melupakanmu dalam kerinduan.

Siapa bilang, melupakan itu gampang?

Ketika rindu memanggil, hatiku sama sekali tak bisu. Bercakap dalam hening meskipun tiada lawan kata. Semua aturan memagariku dengan kebiasaan baru, mengenangmu. Kemudian, ribuan puisi kutulis di jantung ku sendiri bahkan matahari dan bulanpun harus bergantian menyaksikan diriku menanggung rindu yang seiringan memutar waktu menunggu bintang jatuh. Begitulah cara Tuhan menghukumku, bagaimana bisa aku melupakanmu sedangkan menuntaskan rindu saja aku tak mampu.

Demi Tuhan, aku merindukan dialog. Sebab, hujan yang kunikmati selama ini tak meninggalkan obrolan. Ia hanya mampu menceritakan butir-butir kenangan dan melukis bayangan wajahmu yang menjelma nyata. Mungkin hanya sekedar menguji hati saja agar tak luntur disiksa rindu ketika debar jantungku mengalah dengan mata tertutup.

Siapa bilang, melupakan itu gampang?

Adapun aku menertawakan diriku sendiri dengan gerak bibir tanpa suara. Menikmati adegan hidup yang salah. Sejak daun jatuh menghadirkan senyuman fatamorgana, sesekali hujan yang deras mendadak menjadi gerimis. Gerimis yang kuanggap sedang memahami kesepianku melebihi puisi. Rasanya, ingin sekali aku dilempar oleh masa lalu agar tak lagi menulis namamu. Sebab, membicarakanmu dengan alam merupakan hukuman terberatku. Sering kali aku tersenyum pada bayangan yang terpantul di genangan air untuk sekedar menarik kembali kata-kataku yang sempat ingin melempar ingatan saat membaca suratmu. Namun mesin waktu menentang arus hidup, hidup tak lagi sama. Kini yang tertinggal hanya serupa foto tua terbingkai rapi dengan cinta yang tak bersisa.

Lalu, aku mulai lirih mengeja namamu tiap pagi dan senja tenggelam. Hanya bisa kuperhatikan bayangan di jendela dengan perasaan yang teramat ngilu. Aku berusaha untuk berhenti membayangkan kenangan walaupun aku bukan matahari yang mampu terbit di tengah hujan. Begitu aku semakin mencoba, semakin tiada pembatas kenangan pula.

Siapa bilang, melupakan itu gampang?

Ah, andai semudah yang kau katakan, aku tak pernah ingin merawat rindu dari matahari terbit sampai menemani laut yang sedang patah hati. Kau tahu dosis paling tinggi membaca pikiran guna menerawang hatimu yang berpaling adalah jadi mentari pagi. Saat hatiku kedinginan bicara tentangmu kepada guling, bantal, bahkan selimut yang teracak-acak. Setiap langkah ini mondar-mandir, tiada lain yang menari di alam pikiranku selain dirimu. Mencarimu bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami, tetap ku cari meskipun melukai ujung-ujung jemariku.

Mungkin semua ini adalah hadiah dari Tuhan untuk diri ini yang memiliki kegemaran merinduimu. Antara ada dan tiada saat menciummu dalam hujan, saat mendekapmu di malam-malam panjang, dan yang selalu menitipkan sedih pada langit.

Cintaku sederhana, meskipun sering kali menukar rindu dengan menelpon bayangmu untuk sekedar menafsirkan sekerat masa lalu kita yang karat di matamu. Begitulah caraku meneguk sepi, menjadikan kenangan serupa embun yang meresap abadi di sehelai daun.

Rasanya, sudah tak karuan lagi bolak-balik mengingatmu yang kadaluarsa mencintaiku. Andai saja semua rasa itu bisa ku kramasi dengan sebuah perapian, mungkin aku tak sedingin ini memikirkanmu. Namun, rasa itu sama sekali tak mampu kubinasakan dengan apapun. Bahkan aku telah mencoba dengan berbagai cara. Pernah ku larung ke laut lalu tenggelam. Namun, ia timbul lagi. Pernah ku terbangkan mendarat di bulan. Tapi, ia kembali lagi. Pernah juga aku menguburnya di halaman depan. Akan tetapi; dia hidup lagi.

Maafkan aku yang hanya punya ingatan, karena aku adalah puisi yang ditinggalkan pembaca yang kerap mencatat kenangan cerita kupu-kupu. Izinkan aku mengenangmu dalam rindu yang tak kasat mata, tak terbaca, tak terjemahkan kata dan tak kau pahami maknanya. Rinduku adalah suatu dosa yang kau biarkan sengsara dan bencana yang kau biarkan melanda. Kabarmu telah sunyi dan tak dapat lagi kurajut kalimat dengan sinonim yang tepat untuk bertanya. Padahal, hanya sekedar mengundang kenangan bersamamu bukannya untuk berpesta. Astaga, rupanya permintaanku terlalu besar sehingga kau pun bosan menerka keadaannya.

Kini tak berjarak pandanganku mengarungi jalan melalui jendela kamar. Kuutus puisi rinduku diantara dua bait mencarimu jauh yang jauh. Namun, hanya ada percuma. Ternyata aku hanya sedang berkunjung ke masa silam yang pernah kita menulisnya sepasang nama dengan sebatang ranting di permukaan tanah. Dan hujan yang sedang turun sebegitu deras, serupa takdir embun di pelupuk mata.

Ku peringatkan sekali lagi, siapa bilang melupakan itu gampang?

Aku terlalu mengenalinya, rindu yang tak kenal waktu senantiasa gaduh melukai hati. Bukan cuma halusinasi saja yang mudah membuatku berpuisi, yang mampu diucap mata juga di dalam sajaknya. Bagaimana mungkin airmata rindu meminjamkan kebahagian agar mampu melelang duka yang terlalu pagi berkunjung dalam hidup.


Pada akhirnya, aku hanya menjadi manusia yang dilumat rindu ketika hujan tak kunjung reda dan mengingatmu dalam hal-hal yang sederhana. Merasakan bahagia seperti ditiup angin tanpa sempat menginap sedetikpun. Begitulah aku yang melarut namamu meski harus merasakan perih bermusim-musim lamanya.