Malam ini aku
mengarunginya dengan sebuah perjalanan kosong tanpa tahu jarak tempuh dan arah
tujuan karena yang aku lakukan hanya sekedar ingin menikmati malam. Satu jam
sudah lamanya aku berjalan, kini aku sedang berada di pinggir hutan yang
lumayan rimba dan aku menghampiri sebuah angin di bawah rindang, angin sedang
menangis. Lantas aku pun bertanya “mengapa
engkau menangis sahabatku, desirmu begitu menyayat kudengar?” Angin pun menjawab dengan lirih “Aku kesepian. Aku melewati setiap hamparan
lembah hanya keheningan yang kudapat. Ketika aku memilih melewati gurun nan
luas hanya keheningan yang menemaniku. Aku kesepian, Tuan” aku pun terperangah tanpa sepatah kata dan
membiarkan angin pergi begitu saja.
Kemudian aku
melanjutkan kembali perjalananku. Telah jauh aku menempuh jalan. Namun tak ku
jumpai keramaian di malam, hanya ada hening yang mencekam. Perjalananku semakin
jauh tanpa peduli penat kakiku yang mulai nyeri. Lalu, Aku terhenti di sebuah
persimpangan kilometer 14. Di sana aku menemukan seekor belibis putih yang
sedang menangis. Aku pun bertanya padanya “mengapa
engkau menangis di keheningan malam ini?” dan sang belibis pun mengepakkan
sayapnya seraya mendekatiku dengan lunglai sembari menjawab “aku menangis karena mengenang kekasihku
Tuan. Aku tidak tahu di mana dia berada sekarang. Sudah hampir tujuh purnama aku
menantinya di sini, menanti kepulangannya sebagaimana janji pertemuan yang
sempat kami utarakan sebelum perpisahan. Aku takut akan kehilangan Tuan” aku kembali bertanya pada sang
belibis “apakah engkau masih meyakini
bahwa kekasihmu pasti pulang? sang belibis pun menjawab sembari terisak “aku tidak tahu Tuan, kadang aku meyakini
karena kekasihku pernah berjanji. Namun, kadang kala aku merasa putus asa dan
hilang rasa percayaku. Sebab, untuk sekedar tahu dia baik-baik saja tidak
pernah kudapati beritanya. Aku lelah Tuan, mungkin ini memang sudah nasibku
hanya bersandar pada pengharapan tanpa kepastian” sang belibis pun langsung
bergegas meninggalkanku. Aku hanya terdiam pun tak sanggup menerka kejadian
yang serupa dengan angin setengah jam lalu.
Kini aku hanya
memerhatikan alam dan menunda perjalananku di sebuah persimpangan, tempat di
mana aku bertemu pada seekor belibis putih yang menangis. Aku pangling bahkan
untuk mengingat yang terjadi pun aku tak tahu apa yang sedang aku rasakan,
hanya ada ketiadaan di balik wujud diri ini. Mungkin semesta sedang berkelakar
menyaksikan aku yang sedari tadi terheran. Namun, kenapa harus hujan yang
turun? Aku pun bingung dengan keadaan alam dan semakin bingung dengan maksud
hujan membasahiku.
Pada akhirnya aku
memilih meneruskan perjalananku di bawah hujan melawan arah. Aku memilih
menikmati saja daripada harus menggerutu tanpa sebab. Rupanya hujan begitu menyenangkan
dan begitu baik sekali karena telah mengantarku pulang untuk melepaskan segala
penatku yang tersesat oleh perjalanan tak bertujuan. Dan kini aku disaksikan
oleh dinding kamar saat aku mulai mengeja makna demi makna yang disampaikan
malam padaku. Lalu, mengurai arti demi arti yang diucapkan air.
Ternyata benar pesan
malam, bahwa aku terlambat sadar akan maya demi maya yang selama ini mencuat
isyarat. Aku pun lirih membenarkan firasat diri dalam pikirku yang kini mulai bersenandung
bahwa “ada sesosok serupa indah kejora
dalam airmata maya telah luruh mencariku. Menatih dan tertatih dalam mengayuh
bidak rapuh, dikarenakan aku dalam pengembaraan sunyi. Dia diam seribu bahasa,
dalam sekian masa hanya keluhnya yang hadir menemani bukan pengharapannya akan
kepulanganku. Oh Puan, maafkan aku yang selama ini tak mengenal arti mayamu.
Sesungguhnya yang terjadi adalah aku tidak sedang membunuh kita. Keluh itu
adalah pertempuran yang tidak dapat kau menangkan, begitu pun aku merasakan
dalam pencarian jalan pulangku”
Kini rasa bersalahku
hadir melintasi dalam bayang-bayang dan segenap haru menghukumku menghadirkan
sadar bahwa aku memang manusia yang jatuh pada butuh. Jangan anggap aku
melupakanmu, tidak sama sekali itu terjadi padaku, Puan. Andai saja kau tahu
bahwa kau adalah rajut sempurna pelangi tasbihku mungkin kau akan damai dalam
penantianmu. Sesungguhnya begitu besar kasihku padamu, namun tak melebihi kasihku
pada Tuhanku. Bersabarlah Puan, Sebab apa yang kita harapkan bila memang ada
campur tangan dari Tuhan tanpa maya pun kita akan mengutus kebahagiaan baik itu
di dunia maupun akhirat.