Ranting pilu menulis
kembali puisiku di dahan haru. Seperti rindu, sebagai rindu, pada jejak sebutanku
di punggung senja kemarin kala itu tangkai kenangan berangsur-angsur menggeming
mendesak rindu nan temu. Diamku menjadi lena yang membius aroma puitis jejak
romantis pada bait-bait puisi yang tertulis, ibarat sampan kecil yang menjelajahi
lautan gerimis dan ayat-ayat rinduku seperti tersihir pada sesuatu yang hadir,
bayangmu.
Seiring dengan
lamunanku, terbiar pula musim yang mengikuti perangkap sunyi yang kemayu.
Tibalah waktu mendadak menjadikanku kasmaran karena dimanja rindu. Keresahan belum
usai, pun tak terbatas waktu dan kali ini rindu ingin berjihad hebat melawan
waktu dan jarak. Demi sebuah sapa atau sekedar menunaikan janji temu, karena rasa
sesak detak rindu itu terletak sejajar di sebelah dada tempat pengabdian rasa
bermuara.
Apatah benar
kemungkinan temu itu menjejaki kita di tepian pasir bergaram? Ahk... aku hanya
sekedar berharap tanpa titik lugas. Nyatanya prihal temu kosong, hanyalah
sebatas bayang yang mengobrak-abrik tataan rindu yang mandiri.
Perlahan-lahan aku
mulai mencoba menjadi manusia setabah tanah, meski harus melenyapkan prosa
tanpa suara. Hanya sesumbar rindu saja, aku berpura-pura tegar mengkhatamkan
puisi sendu. Lagi-lagi rindu sedang bersenandung, padahal atmosfer
syaraf-syaraf kepalaku tak stabil seperti dulu. Dan pada akhirnya si pejemput
puisi itupun paham, tentang si penyair penjelajah laut gerimis, suram dan
tenggelam. Jasadnya dibawa malaikat inspirasi dan ruhnya tersangkut di punggung
sepi.
Seandainya rindu ini
adalah dongeng, mungkin aku tidak sekarat sedemikian bentuk bagaikan terkutuk,
menunggu dipungut Tuhan dengan segera. Rasanya tak cukup puas memandangi
wajahmu melalui album facebook atau di instagram milikmu, hanya menjadikan inti
hati ini tak kelar disetubuhi duri.
Kau tahu? Rindu ini tak
terbatasi, selalu hadir di hati larut di dalamnya. Kepunyaanku hanya waktu yang
mati serupa jarum yang berdetik pada jam dinding batu. Aku pernah bermimpi, kau
berbisik padaku tentang dongeng negri bunga, warna dan cahaya. Di sana ada
taman di bawah kerlip gemintang. Di sana kau memintaku memungut sepercik cahaya
berwarna biru yang mempunyai cerita tentang keindahan puisi. Akupun terbangun
linglung, sebab makna telah terserap habis yang kau hadirkan dalam mimpi semu.
Lagi-lagi rindu
menjadikanku penyair gerimis yang kritis tanpa mengenal rapi setiap baris yang
tertulis.