Kamis, 24 November 2016

GERIMIS YANG KRITIS

Hasil gambar untuk lelaki gerimis
Ranting pilu menulis kembali puisiku di dahan haru. Seperti rindu, sebagai rindu, pada jejak sebutanku di punggung senja kemarin kala itu tangkai kenangan berangsur-angsur menggeming mendesak rindu nan temu. Diamku menjadi lena yang membius aroma puitis jejak romantis pada bait-bait puisi yang tertulis, ibarat sampan kecil yang menjelajahi lautan gerimis dan ayat-ayat rinduku seperti tersihir pada sesuatu yang hadir, bayangmu.

Seiring dengan lamunanku, terbiar pula musim yang mengikuti perangkap sunyi yang kemayu. Tibalah waktu mendadak menjadikanku kasmaran karena dimanja rindu. Keresahan belum usai, pun tak terbatas waktu dan kali ini rindu ingin berjihad hebat melawan waktu dan jarak. Demi sebuah sapa atau sekedar menunaikan janji temu, karena rasa sesak detak rindu itu terletak sejajar di sebelah dada tempat pengabdian rasa bermuara.

Apatah benar kemungkinan temu itu menjejaki kita di tepian pasir bergaram? Ahk... aku hanya sekedar berharap tanpa titik lugas. Nyatanya prihal temu kosong, hanyalah sebatas bayang yang mengobrak-abrik tataan rindu yang mandiri.

Perlahan-lahan aku mulai mencoba menjadi manusia setabah tanah, meski harus melenyapkan prosa tanpa suara. Hanya sesumbar rindu saja, aku berpura-pura tegar mengkhatamkan puisi sendu. Lagi-lagi rindu sedang bersenandung, padahal atmosfer syaraf-syaraf kepalaku tak stabil seperti dulu. Dan pada akhirnya si pejemput puisi itupun paham, tentang si penyair penjelajah laut gerimis, suram dan tenggelam. Jasadnya dibawa malaikat inspirasi dan ruhnya tersangkut di punggung sepi.

Seandainya rindu ini adalah dongeng, mungkin aku tidak sekarat sedemikian bentuk bagaikan terkutuk, menunggu dipungut Tuhan dengan segera. Rasanya tak cukup puas memandangi wajahmu melalui album facebook atau di instagram milikmu, hanya menjadikan inti hati ini tak kelar disetubuhi duri.

Kau tahu? Rindu ini tak terbatasi, selalu hadir di hati larut di dalamnya. Kepunyaanku hanya waktu yang mati serupa jarum yang berdetik pada jam dinding batu. Aku pernah bermimpi, kau berbisik padaku tentang dongeng negri bunga, warna dan cahaya. Di sana ada taman di bawah kerlip gemintang. Di sana kau memintaku memungut sepercik cahaya berwarna biru yang mempunyai cerita tentang keindahan puisi. Akupun terbangun linglung, sebab makna telah terserap habis yang kau hadirkan dalam mimpi semu.

Lagi-lagi rindu menjadikanku penyair gerimis yang kritis tanpa mengenal rapi setiap baris yang tertulis.