Siapa bilang, melupakan
itu gampang?
Andai semudah menghapus
tulisan dan mematikan lampu, mungkin saat ini aku sedang tertawa. Sebab, tak
perlu lagi menguras tenaga dan pikiran untuk berkerja keras melarikan ingatan.
Bahkan saat hujan berceritapun aku tak perlu berpura-pura untuk tidak membicarakanmu lagi. Namun, sampai detik ini
juga aku masih larut dalam kabutnya kisah kita yang terbuang oleh waktu. Aku
masih membayangkan mimpi yang dulunya kita jadikan topik percakapan setiap hari.
Dan aku masih membicarakannya kepada alam, baik itu siang maupun malam.
Hidup ini sudah
kunikmati, walau sekedar berimajinasikan kenangan yang tersusun rapi di
perpustakaan hati. Meskipun sekarang ini berharap untuk melupakan tak ubahnya
merasakan kesedihan. Aku berupaya menyadarkan penat yang membosankan. Tanpa
basa-basi proses melupakan tergenang pasrah memeluk kenangan, menjadikan banjir
menjenguk hati yang terkikis kemungkinan. Dan aku mencoba untuk merayu langit
agar tidak menyalahkan hujan, karena aku
menikmati setiap derasnya untuk mengetuk pintu takdir sebagai cara menuliskan
harapan canggung melupakanmu dalam kerinduan.
Siapa bilang, melupakan
itu gampang?
Ketika rindu memanggil,
hatiku sama sekali tak bisu. Bercakap dalam hening meskipun tiada lawan kata.
Semua aturan memagariku dengan kebiasaan baru, mengenangmu. Kemudian, ribuan
puisi kutulis di jantung ku sendiri bahkan matahari dan bulanpun harus
bergantian menyaksikan diriku menanggung rindu yang seiringan memutar waktu
menunggu bintang jatuh. Begitulah cara Tuhan menghukumku, bagaimana bisa aku
melupakanmu sedangkan menuntaskan rindu saja aku tak mampu.
Demi Tuhan, aku
merindukan dialog. Sebab, hujan yang kunikmati selama ini tak meninggalkan
obrolan. Ia hanya mampu menceritakan butir-butir kenangan dan melukis bayangan
wajahmu yang menjelma nyata. Mungkin hanya sekedar menguji hati saja agar tak
luntur disiksa rindu ketika debar jantungku mengalah dengan mata tertutup.
Siapa bilang, melupakan itu gampang?
Adapun aku menertawakan diriku sendiri dengan gerak bibir tanpa suara. Menikmati adegan hidup yang salah. Sejak daun jatuh menghadirkan senyuman fatamorgana, sesekali hujan yang deras mendadak menjadi gerimis. Gerimis yang kuanggap sedang memahami kesepianku melebihi puisi. Rasanya, ingin sekali aku dilempar oleh masa lalu agar tak lagi menulis namamu. Sebab, membicarakanmu dengan alam merupakan hukuman terberatku. Sering kali aku tersenyum pada bayangan yang terpantul di genangan air untuk sekedar menarik kembali kata-kataku yang sempat ingin melempar ingatan saat membaca suratmu. Namun mesin waktu menentang arus hidup, hidup tak lagi sama. Kini yang tertinggal hanya serupa foto tua terbingkai rapi dengan cinta yang tak bersisa.
Lalu, aku mulai lirih
mengeja namamu tiap pagi dan senja tenggelam. Hanya bisa kuperhatikan bayangan
di jendela dengan perasaan yang teramat ngilu. Aku berusaha untuk berhenti
membayangkan kenangan walaupun aku bukan matahari yang mampu terbit di tengah
hujan. Begitu aku semakin mencoba, semakin tiada pembatas kenangan pula.
Siapa bilang, melupakan
itu gampang?
Ah, andai semudah yang
kau katakan, aku tak pernah ingin merawat rindu dari matahari terbit sampai
menemani laut yang sedang patah hati. Kau tahu dosis paling tinggi membaca
pikiran guna menerawang hatimu yang berpaling adalah jadi mentari pagi. Saat
hatiku kedinginan bicara tentangmu kepada guling, bantal, bahkan selimut yang
teracak-acak. Setiap langkah ini mondar-mandir, tiada lain yang menari di alam
pikiranku selain dirimu. Mencarimu bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami, tetap
ku cari meskipun melukai ujung-ujung jemariku.
Mungkin semua ini
adalah hadiah dari Tuhan untuk diri ini yang memiliki kegemaran merinduimu. Antara
ada dan tiada saat menciummu dalam hujan, saat mendekapmu di malam-malam
panjang, dan yang selalu menitipkan sedih pada langit.
Cintaku sederhana,
meskipun sering kali menukar rindu dengan menelpon bayangmu untuk sekedar
menafsirkan sekerat masa lalu kita yang karat di matamu. Begitulah caraku
meneguk sepi, menjadikan kenangan serupa embun yang meresap abadi di sehelai
daun.
Rasanya, sudah tak
karuan lagi bolak-balik mengingatmu yang kadaluarsa mencintaiku. Andai saja
semua rasa itu bisa ku kramasi dengan sebuah perapian, mungkin aku tak sedingin
ini memikirkanmu. Namun, rasa itu sama sekali tak mampu kubinasakan dengan
apapun. Bahkan aku telah mencoba dengan berbagai cara. Pernah ku larung ke laut
lalu tenggelam. Namun, ia timbul lagi. Pernah ku terbangkan mendarat di bulan.
Tapi, ia kembali lagi. Pernah juga aku menguburnya di halaman depan. Akan
tetapi; dia hidup lagi.
Maafkan aku yang hanya
punya ingatan, karena aku adalah puisi yang ditinggalkan pembaca yang kerap
mencatat kenangan cerita kupu-kupu. Izinkan aku mengenangmu dalam rindu yang
tak kasat mata, tak terbaca, tak terjemahkan kata dan tak kau pahami maknanya.
Rinduku adalah suatu dosa yang kau biarkan sengsara dan bencana yang kau
biarkan melanda. Kabarmu telah sunyi dan tak dapat lagi kurajut kalimat dengan
sinonim yang tepat untuk bertanya. Padahal, hanya sekedar mengundang
kenangan bersamamu bukannya untuk berpesta. Astaga, rupanya permintaanku terlalu
besar sehingga kau pun bosan menerka keadaannya.
Kini tak berjarak
pandanganku mengarungi jalan melalui jendela kamar. Kuutus puisi rinduku
diantara dua bait mencarimu jauh yang jauh. Namun, hanya ada percuma. Ternyata aku
hanya sedang berkunjung ke masa silam yang pernah kita menulisnya sepasang nama
dengan sebatang ranting di permukaan tanah. Dan hujan yang sedang turun
sebegitu deras, serupa takdir embun di pelupuk mata.
Ku peringatkan sekali
lagi, siapa bilang melupakan itu gampang?
Aku terlalu
mengenalinya, rindu yang tak kenal waktu senantiasa gaduh melukai hati. Bukan cuma
halusinasi saja yang mudah membuatku berpuisi, yang mampu diucap mata juga di
dalam sajaknya. Bagaimana mungkin airmata rindu meminjamkan kebahagian agar
mampu melelang duka yang terlalu pagi berkunjung dalam hidup.
Pada akhirnya, aku
hanya menjadi manusia yang dilumat rindu ketika hujan tak kunjung reda dan
mengingatmu dalam hal-hal yang sederhana. Merasakan bahagia seperti ditiup
angin tanpa sempat menginap sedetikpun. Begitulah aku yang melarut namamu meski
harus merasakan perih bermusim-musim lamanya.