Kamis, 03 November 2016

BAHASA RINDU

Siapa bilang, melupakan itu gampang?

Andai semudah menghapus tulisan dan mematikan lampu, mungkin saat ini aku sedang tertawa. Sebab, tak perlu lagi menguras tenaga dan pikiran untuk berkerja keras melarikan ingatan. Bahkan saat hujan berceritapun aku tak perlu berpura-pura untuk tidak  membicarakanmu lagi. Namun, sampai detik ini juga aku masih larut dalam kabutnya kisah kita yang terbuang oleh waktu. Aku masih membayangkan mimpi yang dulunya kita jadikan topik percakapan setiap hari. Dan aku masih membicarakannya kepada alam, baik itu siang maupun malam.

Hidup ini sudah kunikmati, walau sekedar berimajinasikan kenangan yang tersusun rapi di perpustakaan hati. Meskipun sekarang ini berharap untuk melupakan tak ubahnya merasakan kesedihan. Aku berupaya menyadarkan penat yang membosankan. Tanpa basa-basi proses melupakan tergenang pasrah memeluk kenangan, menjadikan banjir menjenguk hati yang terkikis kemungkinan. Dan aku mencoba untuk merayu langit agar tidak  menyalahkan hujan, karena aku menikmati setiap derasnya untuk mengetuk pintu takdir sebagai cara menuliskan harapan canggung melupakanmu dalam kerinduan.

Siapa bilang, melupakan itu gampang?

Ketika rindu memanggil, hatiku sama sekali tak bisu. Bercakap dalam hening meskipun tiada lawan kata. Semua aturan memagariku dengan kebiasaan baru, mengenangmu. Kemudian, ribuan puisi kutulis di jantung ku sendiri bahkan matahari dan bulanpun harus bergantian menyaksikan diriku menanggung rindu yang seiringan memutar waktu menunggu bintang jatuh. Begitulah cara Tuhan menghukumku, bagaimana bisa aku melupakanmu sedangkan menuntaskan rindu saja aku tak mampu.

Demi Tuhan, aku merindukan dialog. Sebab, hujan yang kunikmati selama ini tak meninggalkan obrolan. Ia hanya mampu menceritakan butir-butir kenangan dan melukis bayangan wajahmu yang menjelma nyata. Mungkin hanya sekedar menguji hati saja agar tak luntur disiksa rindu ketika debar jantungku mengalah dengan mata tertutup.

Siapa bilang, melupakan itu gampang?

Adapun aku menertawakan diriku sendiri dengan gerak bibir tanpa suara. Menikmati adegan hidup yang salah. Sejak daun jatuh menghadirkan senyuman fatamorgana, sesekali hujan yang deras mendadak menjadi gerimis. Gerimis yang kuanggap sedang memahami kesepianku melebihi puisi. Rasanya, ingin sekali aku dilempar oleh masa lalu agar tak lagi menulis namamu. Sebab, membicarakanmu dengan alam merupakan hukuman terberatku. Sering kali aku tersenyum pada bayangan yang terpantul di genangan air untuk sekedar menarik kembali kata-kataku yang sempat ingin melempar ingatan saat membaca suratmu. Namun mesin waktu menentang arus hidup, hidup tak lagi sama. Kini yang tertinggal hanya serupa foto tua terbingkai rapi dengan cinta yang tak bersisa.

Lalu, aku mulai lirih mengeja namamu tiap pagi dan senja tenggelam. Hanya bisa kuperhatikan bayangan di jendela dengan perasaan yang teramat ngilu. Aku berusaha untuk berhenti membayangkan kenangan walaupun aku bukan matahari yang mampu terbit di tengah hujan. Begitu aku semakin mencoba, semakin tiada pembatas kenangan pula.

Siapa bilang, melupakan itu gampang?

Ah, andai semudah yang kau katakan, aku tak pernah ingin merawat rindu dari matahari terbit sampai menemani laut yang sedang patah hati. Kau tahu dosis paling tinggi membaca pikiran guna menerawang hatimu yang berpaling adalah jadi mentari pagi. Saat hatiku kedinginan bicara tentangmu kepada guling, bantal, bahkan selimut yang teracak-acak. Setiap langkah ini mondar-mandir, tiada lain yang menari di alam pikiranku selain dirimu. Mencarimu bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami, tetap ku cari meskipun melukai ujung-ujung jemariku.

Mungkin semua ini adalah hadiah dari Tuhan untuk diri ini yang memiliki kegemaran merinduimu. Antara ada dan tiada saat menciummu dalam hujan, saat mendekapmu di malam-malam panjang, dan yang selalu menitipkan sedih pada langit.

Cintaku sederhana, meskipun sering kali menukar rindu dengan menelpon bayangmu untuk sekedar menafsirkan sekerat masa lalu kita yang karat di matamu. Begitulah caraku meneguk sepi, menjadikan kenangan serupa embun yang meresap abadi di sehelai daun.

Rasanya, sudah tak karuan lagi bolak-balik mengingatmu yang kadaluarsa mencintaiku. Andai saja semua rasa itu bisa ku kramasi dengan sebuah perapian, mungkin aku tak sedingin ini memikirkanmu. Namun, rasa itu sama sekali tak mampu kubinasakan dengan apapun. Bahkan aku telah mencoba dengan berbagai cara. Pernah ku larung ke laut lalu tenggelam. Namun, ia timbul lagi. Pernah ku terbangkan mendarat di bulan. Tapi, ia kembali lagi. Pernah juga aku menguburnya di halaman depan. Akan tetapi; dia hidup lagi.

Maafkan aku yang hanya punya ingatan, karena aku adalah puisi yang ditinggalkan pembaca yang kerap mencatat kenangan cerita kupu-kupu. Izinkan aku mengenangmu dalam rindu yang tak kasat mata, tak terbaca, tak terjemahkan kata dan tak kau pahami maknanya. Rinduku adalah suatu dosa yang kau biarkan sengsara dan bencana yang kau biarkan melanda. Kabarmu telah sunyi dan tak dapat lagi kurajut kalimat dengan sinonim yang tepat untuk bertanya. Padahal, hanya sekedar mengundang kenangan bersamamu bukannya untuk berpesta. Astaga, rupanya permintaanku terlalu besar sehingga kau pun bosan menerka keadaannya.

Kini tak berjarak pandanganku mengarungi jalan melalui jendela kamar. Kuutus puisi rinduku diantara dua bait mencarimu jauh yang jauh. Namun, hanya ada percuma. Ternyata aku hanya sedang berkunjung ke masa silam yang pernah kita menulisnya sepasang nama dengan sebatang ranting di permukaan tanah. Dan hujan yang sedang turun sebegitu deras, serupa takdir embun di pelupuk mata.

Ku peringatkan sekali lagi, siapa bilang melupakan itu gampang?

Aku terlalu mengenalinya, rindu yang tak kenal waktu senantiasa gaduh melukai hati. Bukan cuma halusinasi saja yang mudah membuatku berpuisi, yang mampu diucap mata juga di dalam sajaknya. Bagaimana mungkin airmata rindu meminjamkan kebahagian agar mampu melelang duka yang terlalu pagi berkunjung dalam hidup.


Pada akhirnya, aku hanya menjadi manusia yang dilumat rindu ketika hujan tak kunjung reda dan mengingatmu dalam hal-hal yang sederhana. Merasakan bahagia seperti ditiup angin tanpa sempat menginap sedetikpun. Begitulah aku yang melarut namamu meski harus merasakan perih bermusim-musim lamanya.