Sabtu, 19 November 2016

BUDAK JARAK

Hasil gambar untuk budak jarak


Puan...

Sekiranya kita mustahil mewujudkan hal yang semulanya nihil, adakalanya kita harus memafkan kolaborasi antara jarak dan rindu. Ketika ragu memorak-porandakan hati, hidup dalam kata-kata menggantungkan harapan, menunggu semesta menyetujui keinginan serupa yang sampai kini tiada pertanda.

Memang benar, kita adalah budak jarak yang memanipulasi benci guna beradaptasi mengindahkan bayangan untuk melarikan sendunya kenangan. Merasakan hidup bagai denting piano yang melesat tapi tersesat, tersebab irama gemuruh hati yang tak pekat. Menjadi manusia serupa buta, menerka-nerka semesta yang kerap bercanda, selepas jangkar terlepas setelah kapal berlayar.

Kita hanya punyai raut wajah kaku kala rindu menjadi anak jarak yang mengajari kita tuk bertanya dalam sajak-sajak. Ya, memang benarkan Puan, karena hanya dengan sajaklah kita bisa leluasa bercakap. Tak peduli di mana kita meletakkannya atau di mana kita sedang berada membayangkannya.

Seperti pertanyaan di dalam sajakmu:

“Apakah waktu takkan pernah lagi berpihak, saat alamku jadi diam, ketika mata membisu menatap remang kerinduan di ujung kemilauan senja yang menjulang?
Siapakah kita di hari esok Tuan?
Berjanjilah untuk tidak menyerah walaupun hati terlunta-lunta menyambangi peraduan rindu!”

Hambar rasanya setiap lidah berujar. Entah pada siapa harus bersua mengatakan yang ingin kucurah. Aku tidak punya pilihan selain hanya sanggup menerka sambil mengukir skema di dinding kamar tanpa pelita. Hiduppun kian terangkul gelap sampai tak ada satupun jangkrik ingin hadir mengusik senyap dalam perangai sajakmu yang mengajakku bicara dengan sendirinya.

Puan..

Kita hanya diperbudak jarak tentang dongeng perjalanan. Jarak hanyalah sebuah kebetulan dan waktu jadi sebuah alasan. Mungkin kita semakin tidak mengerti tentang pertemuan, ketika kita menikmati kelambu jingga bersama kawanan mega yang berarak pergi jauh sampai ke belahan bumi lainnya. Matahari pun saat itu terusir dan kita akhirnya bertemu malam sambil menanti seekor kupu-kupu hinggap ke dalam toples. Barangkali, kita seperti itu Puan.

Bukan rindu namanya jika langit kita tak terluka. Pernahkah kau sadar tentang tangisan langit yang datang tanpa diundang? Kadang ia menjadi badai terhebat yang sangat ditakuti. Jarum-jarumnya begitu cepat menancap bumi dengan tak beraturan. Bukankah sering kita merasakan apa yang dirasakan langit.

Biarkan saja jarak yang kita benci menjelaskan dengan rinci pengertian rindu, yang tak pernah disampaikan kalbu. Biarkan perjalanan yang berbeda menjadi setetes air, yang menyerupai kita dalam tanya. Biarkanlah kita sesekali berkreasi sambil membaca situasi jeda temu, agar rindu tidak mati sia-sia menangkap hati. Sebab, semenjak menjadi perindu kita tidaklah mahir menipu diri dengan bisikan, karena dagu yang kita miliki pasti akan gagal tumpul akibat runcingnya airmata.

Saat ini kita sedang tertahan meratapi batas yang mengiris, maka izinkanlah jemari kita melepaskan elang terbang menduduki menara tertinggi di riwayat hati. Agar ketajaman mata sanggup memandang kita meskipun dalam keadaan meringis sembari menyair dan merintih, karena kita sedang sadar dalam teriak hati yang berujar perih menggenggam luka nanah yang pedih.

Kau perlu tahu Puan, bagaimana rasanya menjadi aku merasakan jarak semakin meluasi rindu. Aku tak sanggup lagi menguras samudera untuk membuang derita yang bernaung, mengajakku dengan sengit cara seni bertarung. Kita sudah terlanjur melantunkan hati kita yang terpaut, merekat dalam kabut, rindupun membalut, karena jarak kian menuntut.

Seharusnya kita mampu hidup seikhlas matahari yang tulus mencintai bumi. Agar kita mampu mengukur jarak di pantai panjang yang dikulum pasir bergaram, saat menyiratkan sesuatu yang padam, sesuatu yang geram. Memang benar, isyarat mata kala itu seakan perdu bagaikan sekumparan kabut yang kalut, bilamana rindu memadu menjadi bau gaharu. Namun, siapakah yang sanggup diantara kita menelungkupkan tanjung ke arah laut?

Objek rindu memang selalu jitu, tersebab jarak membombardir. Kini seisi hati kita ketar-ketir. Kita dibuat candu memandu ekor mata mencari arah, betapa bertemu adalah yang selalu ditunggu pada setiap kecilnya kesempatan. Ia selalu menaruh harapan, hampir setiap harinya kita melahap dengan doa-doa yang kemudian menua dalam air mata. Kita juga bertaruh dengan Tuhan, bahwa jarak hanya ujian bukan perpisahan yang melahirkan ketiadaan.

Jarak adalah pengarak rindu dan rindu seperti perantara kita. Mereka seperti kado istimewa dari pencipta. Sebab, melalui jaraklah rindu kita kian merangkak. Walupun kepastian itu belum ada di tangan, tapi rindu bisa kita pertahankan. Bukankah rindu adalah guru yang mengajari kita untuk sabar menunggu?

Biarkan saja rindu melumat hati kita melebihi porsinya. Melampaui sesak gemuruh dada yang mendesak. Entah apalagi yang bisa kita percayai melalui jarak yang membatasi. Manalah kita tahu setiap gerak-gerik yang kita lakukan di detik yang siap berlalu. Mana pula bisa kita menahan ingin dan angan yang terus berhamburan. Kita hanya bisa mengiyakan segala kemungkinan dan menaruh harapan pada doa yang tak pernah terlupakan.

Puan...

Biarkan aku menghafal seluruh bekas langkah, yang kusebut penyebab rindu. Biarkan aku mengingatmu lekat sambil mengeja harap tanpa lambat. Biarkan aku terus berharap, karena jarak memang tidaklah menakutkan. Nyatanya, kau tidak pernah jauh dari tempurung pikiran yang menetap tanpa sekat. Sebab itulah aku jadi pintar menumpuk rindu, agar tidak berserakan lalu tertinggal di belakang.

Tidak hanya aku, kau juga pintar menumpuk rindu. Sebab, jeda temu cukup lama menciptakan resahmu, menggamit sejumlah rasa bahwa jarak seumpama tak nyata demi meyakinkan hati menggenapi nanti.

Puan...

Nikmati saja proses ini.  kita hanya dua anak manusia yang melangkah dalam waktu untuk saling mengerti, memahami dan menerima. Resiko yang kita hadapi memang akan mudah menghempaskan kita, namun kita harus kuat, karena jarak takkan mengubah perasaan.