Puan...
Sekiranya kita mustahil
mewujudkan hal yang semulanya nihil, adakalanya kita harus memafkan kolaborasi
antara jarak dan rindu. Ketika ragu memorak-porandakan hati, hidup dalam
kata-kata menggantungkan harapan, menunggu semesta menyetujui keinginan serupa
yang sampai kini tiada pertanda.
Memang benar, kita
adalah budak jarak yang memanipulasi benci guna beradaptasi mengindahkan
bayangan untuk melarikan sendunya kenangan. Merasakan hidup bagai denting piano
yang melesat tapi tersesat, tersebab irama gemuruh hati yang tak pekat. Menjadi
manusia serupa buta, menerka-nerka semesta yang kerap bercanda, selepas jangkar
terlepas setelah kapal berlayar.
Kita hanya punyai raut
wajah kaku kala rindu menjadi anak jarak yang mengajari kita tuk bertanya dalam
sajak-sajak. Ya, memang benarkan Puan, karena hanya dengan sajaklah kita bisa
leluasa bercakap. Tak peduli di mana kita meletakkannya atau di mana kita
sedang berada membayangkannya.
Seperti pertanyaan di dalam
sajakmu:
“Apakah
waktu takkan pernah lagi berpihak, saat alamku jadi diam, ketika mata membisu
menatap remang kerinduan di ujung kemilauan senja yang menjulang?
Siapakah
kita di hari esok Tuan?
Berjanjilah
untuk tidak menyerah walaupun hati terlunta-lunta menyambangi peraduan rindu!”
Hambar rasanya setiap
lidah berujar. Entah pada siapa harus bersua mengatakan yang ingin kucurah. Aku
tidak punya pilihan selain hanya sanggup menerka sambil mengukir skema di
dinding kamar tanpa pelita. Hiduppun kian terangkul gelap sampai tak ada
satupun jangkrik ingin hadir mengusik senyap dalam perangai sajakmu yang
mengajakku bicara dengan sendirinya.
Puan..
Kita hanya diperbudak
jarak tentang dongeng perjalanan. Jarak hanyalah sebuah kebetulan dan waktu jadi
sebuah alasan. Mungkin kita semakin tidak mengerti tentang pertemuan, ketika
kita menikmati kelambu jingga bersama kawanan mega yang berarak pergi jauh
sampai ke belahan bumi lainnya. Matahari pun saat itu terusir dan kita akhirnya
bertemu malam sambil menanti seekor kupu-kupu hinggap ke dalam toples.
Barangkali, kita seperti itu Puan.
Bukan rindu namanya
jika langit kita tak terluka. Pernahkah kau sadar tentang tangisan langit yang
datang tanpa diundang? Kadang ia menjadi badai terhebat yang sangat ditakuti.
Jarum-jarumnya begitu cepat menancap bumi dengan tak beraturan. Bukankah sering
kita merasakan apa yang dirasakan langit.
Biarkan saja jarak yang
kita benci menjelaskan dengan rinci pengertian rindu, yang tak pernah
disampaikan kalbu. Biarkan perjalanan yang berbeda menjadi setetes air, yang
menyerupai kita dalam tanya. Biarkanlah kita sesekali berkreasi sambil membaca
situasi jeda temu, agar rindu tidak mati sia-sia menangkap hati. Sebab, semenjak
menjadi perindu kita tidaklah mahir menipu diri dengan bisikan, karena dagu
yang kita miliki pasti akan gagal tumpul akibat runcingnya airmata.
Saat ini kita sedang
tertahan meratapi batas yang mengiris, maka izinkanlah jemari kita melepaskan
elang terbang menduduki menara tertinggi di riwayat hati. Agar ketajaman mata
sanggup memandang kita meskipun dalam keadaan meringis sembari menyair dan
merintih, karena kita sedang sadar dalam teriak hati yang berujar perih menggenggam
luka nanah yang pedih.
Kau perlu tahu Puan, bagaimana
rasanya menjadi aku merasakan jarak semakin meluasi rindu. Aku tak sanggup lagi
menguras samudera untuk membuang derita yang bernaung, mengajakku dengan sengit
cara seni bertarung. Kita sudah terlanjur melantunkan hati kita yang terpaut, merekat
dalam kabut, rindupun membalut, karena jarak kian menuntut.
Seharusnya kita mampu
hidup seikhlas matahari yang tulus mencintai bumi. Agar kita mampu mengukur
jarak di pantai panjang yang dikulum pasir bergaram, saat menyiratkan sesuatu
yang padam, sesuatu yang geram. Memang benar, isyarat mata kala itu seakan
perdu bagaikan sekumparan kabut yang kalut, bilamana rindu memadu menjadi bau
gaharu. Namun, siapakah yang sanggup diantara kita menelungkupkan tanjung ke
arah laut?
Objek rindu memang
selalu jitu, tersebab jarak membombardir. Kini seisi hati kita ketar-ketir.
Kita dibuat candu memandu ekor mata mencari arah, betapa bertemu adalah yang
selalu ditunggu pada setiap kecilnya kesempatan. Ia selalu menaruh harapan, hampir
setiap harinya kita melahap dengan doa-doa yang kemudian menua dalam air mata.
Kita juga bertaruh dengan Tuhan, bahwa jarak hanya ujian bukan perpisahan yang
melahirkan ketiadaan.
Jarak adalah pengarak
rindu dan rindu seperti perantara kita. Mereka seperti kado istimewa dari
pencipta. Sebab, melalui jaraklah rindu kita kian merangkak. Walupun kepastian
itu belum ada di tangan, tapi rindu bisa kita pertahankan. Bukankah rindu
adalah guru yang mengajari kita untuk sabar menunggu?
Biarkan saja rindu
melumat hati kita melebihi porsinya. Melampaui sesak gemuruh dada yang
mendesak. Entah apalagi yang bisa kita percayai melalui jarak yang membatasi.
Manalah kita tahu setiap gerak-gerik yang kita lakukan di detik yang siap
berlalu. Mana pula bisa kita menahan ingin dan angan yang terus berhamburan. Kita
hanya bisa mengiyakan segala kemungkinan dan menaruh harapan pada doa yang tak
pernah terlupakan.
Puan...
Biarkan aku menghafal
seluruh bekas langkah, yang kusebut penyebab rindu. Biarkan aku mengingatmu
lekat sambil mengeja harap tanpa lambat. Biarkan aku terus berharap, karena
jarak memang tidaklah menakutkan. Nyatanya, kau tidak pernah jauh dari
tempurung pikiran yang menetap tanpa sekat. Sebab itulah aku jadi pintar
menumpuk rindu, agar tidak berserakan lalu tertinggal di belakang.
Tidak hanya aku, kau
juga pintar menumpuk rindu. Sebab, jeda temu cukup lama menciptakan resahmu,
menggamit sejumlah rasa bahwa jarak seumpama tak nyata demi meyakinkan hati
menggenapi nanti.
Puan...
Nikmati saja proses
ini. kita hanya dua anak manusia yang
melangkah dalam waktu untuk saling mengerti, memahami dan menerima. Resiko yang
kita hadapi memang akan mudah menghempaskan kita, namun kita harus kuat, karena
jarak takkan mengubah perasaan.
|
Hanya Rumah Kenangan, Bahasa Rindu, Budak Jarak, Amarah, Ucap Mata, dan Aroma Takdir.