Minggu, 06 November 2016

AMINKANLAH!!!

Sejak pertama kali kita diperbudak jarak, aku mulai menghibur diri dengan sajak “pernah dan masih”. Hidupku hanya puisi yang membicarakan tentang kemarau dan hujan. Aku telah dikutuk menggigil dalam menyembunyikan luka atas rindu yang hilang alamat. Aku berusaha menyinggahi alam mimpi guna melipat jarak yang masih bernyawa. Bagaikan pintu yang kehilangan ketuk dan ruang tamu yang lupa arti kedatangan serta menjadikan dua sisi asing yang saling menikmati kesakitan.

Semenjak jarak mematahkan harap, aku dan puisi sering kali salah paham. Ketika kemilau senja hadir menemani sepi yang menjulang tanya batinku, tak pernah kupahami sepenuhnya bahwa kita memang ditakdirkan sebagai kenangan. Kita adalah lonceng sekolah yang tak lagi berbunyi saat libur dimulai dan sebuah tunggu pun kini menjadi puisi mati.

Kini aku hanya mampu mengucap dengan mata sayu sembari menggenggam payung tuk berlindung. Tak ingin berupaya menculik matahari karena yang terjadi sama, terisak. Menyelundupkan rindu pun tiada gunanya, tak membawa hati bahagia. Terlalu banyak aku mencatat kenangan hingga besar kepalaku mengakar tanpa enggan mengaku terengah-engah mencari temu.

Akankah cinta kita tetap terlihat indah kala senja menyapa sambil menangis di bawah hujan?

Puisiku telah kehabisan kata untuk mewakli rasa. Barangkali kita sama, ingin mengecap indahnya tanpa harus sembunyi. Sulit dipahami, skenario yang ada bagaikan gelas yang membentur lantai. Ini serupa firasat takdir yang berdenting sendiri, tentang sunyi-sunyi yang berujar dan tentang ranting-ranting yang bernyanyi.

Sehelai harap yang kukirimkan dari sisa patahan tersebab jarak tak pernah beralamat lengkap. Padahal, aku ingin menyelipkan rindu yang menyemut dalam milyaran tanya terajam. Seperti seutas tali yang tak pernah tersimpul rapi, demikianlah rinduku yang terulur tanpa ujung bernama temu.

Akulah penulis puisi yang tak lagi punyai pembaca, berulang-ulang sajak kutulis harus kuledakkan sendiri dengan begitu cemas. Berlarik-larik sajak kulebur bersama udara yang kuhirup. Beradu sudah ungkapan takjub mengkerut sebagai ruang kenang bertandang pilu. Aku tak kuasa memisahkan kepayahan yang berkelakar ketika meminjamkan sebilah belati pada sepi yang menggambarkan pesakitan kesendirian ini.


Dimana kehilangan itu berada? Aminkanlah!!!