Sejak pertama kali kita
diperbudak jarak, aku mulai menghibur diri dengan sajak “pernah dan masih”. Hidupku
hanya puisi yang membicarakan tentang kemarau dan hujan. Aku telah dikutuk menggigil
dalam menyembunyikan luka atas rindu yang hilang alamat. Aku berusaha
menyinggahi alam mimpi guna melipat jarak yang masih bernyawa. Bagaikan pintu
yang kehilangan ketuk dan ruang tamu yang lupa arti kedatangan serta menjadikan
dua sisi asing yang saling menikmati kesakitan.
Semenjak jarak
mematahkan harap, aku dan puisi sering kali salah paham. Ketika kemilau senja
hadir menemani sepi yang menjulang tanya batinku, tak pernah kupahami
sepenuhnya bahwa kita memang ditakdirkan sebagai kenangan. Kita adalah lonceng
sekolah yang tak lagi berbunyi saat libur dimulai dan sebuah tunggu pun kini
menjadi puisi mati.
Kini aku hanya mampu
mengucap dengan mata sayu sembari menggenggam payung tuk berlindung. Tak ingin
berupaya menculik matahari karena yang terjadi sama, terisak. Menyelundupkan
rindu pun tiada gunanya, tak membawa hati bahagia. Terlalu banyak aku mencatat
kenangan hingga besar kepalaku mengakar tanpa enggan mengaku terengah-engah
mencari temu.
Akankah cinta kita
tetap terlihat indah kala senja menyapa sambil menangis di bawah hujan?
Puisiku telah kehabisan
kata untuk mewakli rasa. Barangkali kita sama, ingin mengecap indahnya tanpa
harus sembunyi. Sulit dipahami, skenario yang ada bagaikan gelas yang membentur
lantai. Ini serupa firasat takdir yang berdenting sendiri, tentang sunyi-sunyi
yang berujar dan tentang ranting-ranting yang bernyanyi.
Sehelai harap yang
kukirimkan dari sisa patahan tersebab jarak tak pernah beralamat lengkap.
Padahal, aku ingin menyelipkan rindu yang menyemut dalam milyaran tanya
terajam. Seperti seutas tali yang tak pernah tersimpul rapi, demikianlah
rinduku yang terulur tanpa ujung bernama temu.
Akulah penulis puisi
yang tak lagi punyai pembaca, berulang-ulang sajak kutulis harus kuledakkan
sendiri dengan begitu cemas. Berlarik-larik sajak kulebur bersama udara yang
kuhirup. Beradu sudah ungkapan takjub mengkerut sebagai ruang kenang bertandang
pilu. Aku tak kuasa memisahkan kepayahan yang berkelakar ketika meminjamkan
sebilah belati pada sepi yang menggambarkan pesakitan kesendirian ini.
Dimana kehilangan itu
berada? Aminkanlah!!!