Benarkah kau masih sendiri?
Aku pernah mendengar
kabar, ada nama yang kau sebut seusai shalatmu. Aku pun sempat melihat di luar
sana, banyak sekali yang berlomba meraih perhatianmu. Satu persatu dari mereka
mengutarakan niatnya. Dan aku sempat mendengar tak satupun dari mereka kau
terima.
Lantas siapakah yang
mengisi hatimu?
Benarkah kau masih
sendiri?
Aku melihatmu begitu
antusias mempersiapkan diri. Di lain waktu, kau terlihat mengagumkan saat bermain
dengan anak-anak di Taman. Aku melihat lagi ke arahmu dan tidak ada sesiapa di
dekatmu selain anak-anak.
Lantas siapa gerangan
yang sering kau sebut dalam doamu?
Aku menjadi terlalu
sibuk mencari tahu. Padahal aku hanya orang asing bagimu. Hanya saling tahu
nama dan diam-diam membaca baris kata. Tidak ada cara memulai padahal ingin
sekali menyapa. Bahkan diantara kita jarang sekali ada pertemuan. Aku tidak
begitu yakin kau mengenaliku sejauh aku mengenalimu.
Lantas siapakah sesosok
yang kau sebut dalam doamu?
Suatu ketika aku
menghampirimu seusai kau bermain dengan anak-anak. Aku memberanikan diri
menyapamu memulai tahap dengan lugu. Kau tertawa kecil sembari tersenyum
padaku. Kakuku seketika berubah kala kau mengembalikan suara tanyamu. Saat itu
juga kita akrab, seakan aku bukanlah orang asing sebelumnya.
Hari demi hari semua
berjalan dengan baik. Aku bukan lagi seorang pengintip ketika kau sedang
bersama anak-anak di taman TPQ. Kita menjadi sepasang manusia yang leluasa
bercerita, berbagi pengetahuan dan saling menguatkan. Entah skenario apa yang sudah
ditulis Tuhan hingga kita begitu tenang, berbagai tahap kehidupan kita lalui
dengan nyaman. Meskipun kita tidak tahu ikatan apa yang sedang diutus Tuhan. Bisa
saja Tuhan ingin melihat kita merespon dengan ketentuanNya.
Lantas siapakah yang
selalu kau sebut seusai shalatmu?
Pertanyaan itu tak
sengaja ku ucapkan. Aku menjadi gugup dan merasa bersalah. Aku memaki diriku
sendiri di dalam hati suasana pun seketika berubah menjadikanku tak
berfirasat dan canggungku meninggi, seakan kembali seperti semula saat belum
pernah menyapamu.
Kita mendadak jadi pendiam yang bergerak hanya digerakkan keadaan. Rasa takutku melebihi batas kewajaran tanpa bisa melakukan apapun, bahkan sekedar untuk bertanya lagi harus menunggu keadaan memberi kesempatan. Kita bergerak seperti daun-daun yang jatuh. Tidak mampu menggerakkan diri sendiri yang pasrah dihempaskan angin kemanapun perginya. Kemudian kau mulai memecah keheningan, lantas kau bertanya padaku menanyakan hal yang sama. Bagai disambar petir aku menatapmu, kau hanya tersenyum dengan katamu“tak usah menjawab bila tak punya jawaban”. Aku hanya bisa membalas senyummu dan kau pun pamit meninggalkanku sendirian.
Kini aku dirajam
dengan pertanyaanku sendiri. Aku mendengar kabar yang selama ini kucari dan aku
tidak menemukan jawaban justru harus mencari jawaban diri ini sendiri. Selama
ini aku hanya sibuk mencari tahu tentangmu sedangkan untuk mengatahui alasan tersebut
aku tidak pernah tahu.
Apakah aku telah jatuh
hati padamu hingga begitu sibuknya aku mencari tahu tentang isi hatimu?
Sekarang aku mulai
berpikir tentang hatiku, mulai membicarakannya sendiri dan berusaha menemukan
jawaban yang tepat. Adapun suasana terang malamku menjadi gelap dengan sendirinya,
mencuat hebat firasat diri yang tak
kumengerti sama sekali. Sulitnya menjadi kita yang tak sengaja mempunyai tanya
yang sama tak punyai jawaban.
Ke esokkan harinya kita
kembali bertemu di tempat yang sama. Raut wajahmu tak berubah tetap penuh
kebahagian. Seperti biasa, kita kembali bercerita tapi tidak untuk pertanyaan
kemarin. Dan kali ini kau melarangku untuk bercerita. Baiklah, hari ini aku
akan menjadi pendiam dan menyimak ceritamu yang katanya:
“suatu hari nanti pasti akan ada seseorang yang baik budinya membuat kita tertarik. Karena hatinya cukup luas sebagai tempat kita untuk tinggal di sana dan cara berpikirnya bijaksana untuk diajak berbicara. Namun, terkadang yang baik juga belum tentu tepat. Pastinya orang baik itu banyak sekali dan hanya ada satu yang tepat diantara mereka. Selebihnya hanya ciptaan yang sengaja Tuhan kenalkan dengan kita. Bisa saja kita tidak tahu siapa yang tepat dari yang terbaik sampai datangnya hari akad. Sekiranya nanti kita bertemu dengan orang baik yang tepat tersebut, sudahkah kita siap meninggalkan yang baik juga atau sekiranya kita sudah bertemu dengan orang tersebut yang sehari-harinya berada di tempat yang sama, dalam lingkaran pertemanan yang serupa, berjalan dalam satu rasa, apakah kita bisa menyadarinya? Adakalanya kita mejalani hidup sebagaimana biasanya kita tidak menduga bahwa akan tinggal bersama, hidup di bawah genting yang sama. Kita tidak pernah menyadari hari esok, bisa saja aku memanggilmu suami atau ada orang lain yang akan kau panggil istri. Kita hanya perlu melepaskan beban di pundak bersama bukan kadar cinta yang menjadi pertanyaan serupa. Apalah arti cinta, bila kelak kau tak pernah di rumah yang kita bangun bersama?”
Sedingin itu kau bercerita dan setelahnya kau berpamit pulang tanpa menawarku pulang bersama.
Kini tinggallah aku sendirian di taman ini dalam pikir yang mencari hasil proses ceritamu tadi dan lagi-lagi aku kesulitan tuk menemukan apa yang harus aku temukan. Pada akhirnya akupun memlih pulang dan mendekam menyambut malam. Tubuhku bergetar, entah apa yang harus aku lakukan. Aku masih terpikirkan dengan ceritamu, cerita yang tidak kupahami maksudnya. Dan di malam yang semakin larut aku memilih hanya mengirimimu pesan singkat “sulitkah menjadi kita!!!”. Tidak ada jawaban darimu, aku pun memilih memejamkan mata menunggu pagi kembali.
sulitkah menjadi kita
“suatu hari nanti pasti akan ada seseorang yang baik budinya membuat kita tertarik. Karena hatinya cukup luas sebagai tempat kita untuk tinggal di sana dan cara berpikirnya bijaksana untuk diajak berbicara. Namun, terkadang yang baik juga belum tentu tepat. Pastinya orang baik itu banyak sekali dan hanya ada satu yang tepat diantara mereka. Selebihnya hanya ciptaan yang sengaja Tuhan kenalkan dengan kita. Bisa saja kita tidak tahu siapa yang tepat dari yang terbaik sampai datangnya hari akad. Sekiranya nanti kita bertemu dengan orang baik yang tepat tersebut, sudahkah kita siap meninggalkan yang baik juga atau sekiranya kita sudah bertemu dengan orang tersebut yang sehari-harinya berada di tempat yang sama, dalam lingkaran pertemanan yang serupa, berjalan dalam satu rasa, apakah kita bisa menyadarinya? Adakalanya kita mejalani hidup sebagaimana biasanya kita tidak menduga bahwa akan tinggal bersama, hidup di bawah genting yang sama. Kita tidak pernah menyadari hari esok, bisa saja aku memanggilmu suami atau ada orang lain yang akan kau panggil istri. Kita hanya perlu melepaskan beban di pundak bersama bukan kadar cinta yang menjadi pertanyaan serupa. Apalah arti cinta, bila kelak kau tak pernah di rumah yang kita bangun bersama?”
Sedingin itu kau bercerita dan setelahnya kau berpamit pulang tanpa menawarku pulang bersama.
Kini tinggallah aku sendirian di taman ini dalam pikir yang mencari hasil proses ceritamu tadi dan lagi-lagi aku kesulitan tuk menemukan apa yang harus aku temukan. Pada akhirnya akupun memlih pulang dan mendekam menyambut malam. Tubuhku bergetar, entah apa yang harus aku lakukan. Aku masih terpikirkan dengan ceritamu, cerita yang tidak kupahami maksudnya. Dan di malam yang semakin larut aku memilih hanya mengirimimu pesan singkat “sulitkah menjadi kita!!!”. Tidak ada jawaban darimu, aku pun memilih memejamkan mata menunggu pagi kembali.
sulitkah menjadi kita