Apa kabar diammu?
Seminggu yang lalu, aku
menyempatkan diri membaca tulisanmu di instagram. Terus terang saja, aku
terharu dan sangat menyukai diksinya. Ketika aku membacanya ada kehidupan di
dalamnya. Aku mengagumi yang menikmati semesta tanpa menyampingkan rasa syukur
dan berdamai pada kisahnya. Begitu romantis caramu membelai semesta hingga aku
begitu iri memahaminya.
Aku mencemburuimu,
maukah kau mengajakku belajar berdamai dengan semesta?
Aku ingin merasakan bagaimana
menjadi langit, samudera, senja dan angin. Aku ingin sesekali kau mengajakku
bersama, melukis jejak di tempat biasanya kau menikmati semesta. Aku ingin
merasakan bagaimana indahnya menyambut kenangan datang dan membiarkannya pamit
pulang. Aku ingin mengenal jingga lebih dekat lagi, supaya, aku tak rapuh mencium
aroma takdir. Aku ingin langit mengenaliku bukan hanya sebagai mendung, tapi
juga pelangi. Dan aku ingin menikmati senandung ombak yang mengindahkan suasana
apapun.
Maaf, jika aku mencemburuimu
lebih dari sederhana dengan cara yang bisa saja kau anggap salah. Selama ini
aku hanya mengenal hujan dan kemarau, tidak lebih dari itu. Kadang untuk
mengenal krikil-krikil pun aku gelisah karena ada kebencian yang tidak ingin
aku rasakan. Namun, Semenjak sajakmu menuansakan irama kebesaran Tuhan seketika
aku membaca dengan kadar paham yang kuupayakan benar dan sekarang aku berada di
tahap pembenahan.
Pada akhirnya aku
sadar, semesta itu luas tidak hanya hujan dan kemarau atau krikil-krikil itu. Kau
menulisnya dengan sederhana aku membacanya penuh makna. Jika aku boleh menuang
opini sederhana, maka aku hanya berujar “begitu
menarik sekali rencana Tuhan melengkapi semesta dengan isi bertajuk beda,
indahnya tanpa batas kata keindahan hanya saja kekeliruan sering melanda
pemahaman”. Terima kasih diammu.diamdiam