Kamis, 10 November 2016

DIAM

Apa kabar diammu?

Seminggu yang lalu, aku menyempatkan diri membaca tulisanmu di instagram. Terus terang saja, aku terharu dan sangat menyukai diksinya. Ketika aku membacanya ada kehidupan di dalamnya. Aku mengagumi yang menikmati semesta tanpa menyampingkan rasa syukur dan berdamai pada kisahnya. Begitu romantis caramu membelai semesta hingga aku begitu iri memahaminya.

Aku mencemburuimu, maukah kau mengajakku belajar berdamai dengan semesta?

Aku ingin merasakan bagaimana menjadi langit, samudera, senja dan angin. Aku ingin sesekali kau mengajakku bersama, melukis jejak di tempat biasanya kau menikmati semesta. Aku ingin merasakan bagaimana indahnya menyambut kenangan datang dan membiarkannya pamit pulang. Aku ingin mengenal jingga lebih dekat lagi, supaya, aku tak rapuh mencium aroma takdir. Aku ingin langit mengenaliku bukan hanya sebagai mendung, tapi juga pelangi. Dan aku ingin menikmati senandung ombak yang mengindahkan suasana apapun.

Maaf, jika aku mencemburuimu lebih dari sederhana dengan cara yang bisa saja kau anggap salah. Selama ini aku hanya mengenal hujan dan kemarau, tidak lebih dari itu. Kadang untuk mengenal krikil-krikil pun aku gelisah karena ada kebencian yang tidak ingin aku rasakan. Namun, Semenjak sajakmu menuansakan irama kebesaran Tuhan seketika aku membaca dengan kadar paham yang kuupayakan benar dan sekarang aku berada di tahap pembenahan.


Pada akhirnya aku sadar, semesta itu luas tidak hanya hujan dan kemarau atau krikil-krikil itu. Kau menulisnya dengan sederhana aku membacanya penuh makna. Jika aku boleh menuang opini sederhana, maka aku hanya berujar “begitu menarik sekali rencana Tuhan melengkapi semesta dengan isi bertajuk beda, indahnya tanpa batas kata keindahan hanya saja kekeliruan sering melanda pemahaman”. Terima kasih diammu.diamdiam