Sabtu, 22 April 2017

RESIDU HATI, K.I.T.A

SENASIB ANGIN #7 JILID 2

Bila hatimu butuh didengarkan oleh sungguh. Satu-satunya yang tersisa hanyalah goresan sebagai prasasti kesendirian. Aku pernah berdiri di tempat yang paling kauhindari. Pada ratapan panjangku kala itu jadi penguat akan kepasrahan yang begitu lapang untuk mengisahkan kembali kenangan. Deteriorasi yang kurasakan tak begitu menyenagkan. Mencari kehilangan untuk menemui perpisahan menuju ruang kekosongan. Namun aku tetap menghadapinya, menjalaninya meskipun bukan dalam bentuk cerita yang pernah ada.

Apakah kaumasih ingat pada senja yang menenggelamkan matahari di matamu? Kaubegitu bersemangat mengata purnama akan tiba menerangimu di malam yang pekat. Sungguh, cerita itu masih kuingat saat kaubicara lepas tentang kenanganmu. Tentang sesosok yang mengajarimu untuk belajar menafkahi kenangan. Nmaun pernahkah kauberpikir tentang kesia-siaan yang perlahan merebut hatimu dalam ketidaktahuan. Adalah aku yang jatuh padamu dalam kesenandungan yang terdengar sumbang di telingamu. Mungkin kau terheran, dan tidak mampu berpikir rasional karena kedalaman hati yang tidak tergali.

Sungguh, ini teramat memilukan. Bisakah kaubayangkan? Melarung sepi dalam keadaan yang tidak sepadan. Mengapa kenangan yang selalu jadi pilihan? Bukankah ia sudah menjelaskan semua tentang ketidakmungkinan? Mengapa masih selalu saja mencari jalan pulang? Maaf, aku tidak bermaksud memaksamu untuk menghindari kenangan atau membunuhnya. Aku hanya ingin kita menghadapinya bersama kerelaan. Bukankah kaupernah bercerita padaku tentang jawaban dari Ibumu saat kaubertanya

“Bagaimana caranya aku lari dari tajamnya kenangan, Bu?”
Ibu tersenyum, “jangan lari, hadapi”
“tapi aku takut jika kenangan ini kelak akan membunuhku…”
“jangan takut, Nak, tak ada yang bisa menyakitimu selain kau izinkan” kata Ibumu sambil mengusap kepalamu.

Semua memang bukan tentang kita. Semua memang berbeda. Sama dalam tajuk kenangan, beda dalam bentuk cerita. Sebab itu jangan jadikan kita sebagai satu ragu yang mengumpul menjadi K.I.T.A, jangan! Karena aku ingin kita belajar melukis kembali dengan warna yang tidak lagi menyertakan abu-abu.

Kauperlu tahu; aku masih dalam satu tujuan yang tak tertemukan jalan. Kaupaham dalam bentuk bicaraku yang diam. Kaumembaca setiap tulisan yang kutorehkan. Sejumlah kata yang kaumaknai besar dalam perasaan yang mengabstraksikan hati mewarnai ketiadaan. Namun kaumasih enggan bertegur harapan padaku. Aku tahu, melumpuhkan kenangan memang tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi harus melupakan yang teramat disayang. Namun, apakah aku salah menghipotesiskan perasaanmu dalam dialektika hati dan pikiranku?

Aku merasakan sesuatu yang berusaha kaucegah. Mungkin kauingin mematahkannya karena perbedaan yang ada. Sungguh, aku merasakan itu tanpa bantahan hati yang sadar bahwa sakit itu perih. Namun, bukankah ketulusan adalah tabah untuk cinta yang berada di antara lukanya? Lantas, mengapa masih enggan bertegur harap denganku? Apa kaumasih ingin menjaga diri dengan bersembunyi seperti itu? Ahkh…. Aku terlalu banyak bertanya sehingga aku lupa diri bahwa hingga detik ini juga aku sendiri belum memulainya. Entahlah, aku tidak mengerti. Aku tidak benar-benar paham dengan apa yang kita lakukan. Semua bukan tanpa alasan hanya saja kita tidak mampu menjelaskannya.

Maafkan aku yang hanya bisa seperti ini. Membiarkan namamu menjadi kata yang paling difavoritkan tinta. Menulisi semua prasasti hati yang kurasakan bersama besarnya harap yang tak terlihat. Aku hanya ingin menjaga kita agar tidak menjadi K.I.T.A. Ada juga yang perlu kautahu; aku menjaga diriku karena tidak ingin melihatmu ketika melihatku seperti melihat kaca tebal yang buram. Sebab, dalam doaku, aku melihatmu melambai-lambai dengan tersenyum, dan itu sungguh menguatkanku dalam berupaya ingin mewujudkan kebahagianmu. Mungkin itu hanya sekadar ilusi namun tidak ada salahnya jika itu suatu waktu menjadi nyata di antara kita.

Kita memang mendengarkan yang tak terucap. Biarkanlah semua itu lewat isyarat yang setabah embun menjelaskan ke kita tentang semesta yang mengatur rencana masa depan atas izin Tuhan. Sebab, setiap tatap selalu berbatas juga setiap jatuh tidak pernah sekejap begitu pun setiap harap tidak harus terucap.

Aku mencintaimu tanpa riwayat pun bukan karena pernah tersirat dari tangan yang saling jabat. Padamulah kujtuh hti meskipun telah menyadari hati yang kita miliki telah hancur berserakan karena kenangan. Sepi, dan begitu asing. Pada akhirnya segala rasa yang kita rasakan di antara benar, dan tidaknya firasat hanya menjadi residu hati yang terus berdansa di jemari dalam anafora semoga.


Bersambung.......
Tanjungpinang, 06 April 2017

Rabu, 05 April 2017

UNDANGAN MONOLOG

SENASIB ANGIN #6 JILIID 2
Maafkanlah keadaan ini, sungguh, tiada nama yang bisa kita namai untuk melengkapi hambarnya sepi yang menganaki rindu di nadi pilu. Kautahu bagaimana getirnya mengasingkan diri menjaga mimpi demi kisah melahirkan kasih. Keramaian hanya sebuah lagu tidak berirama yang bersenandung sumbang di telingaku. Aku mampu mengahadapinya tapi prihal rindu, dan perasaan ini tidak bisa kubuang dengan gampang. Aku tidak tahu pasti apakah di pikiranmu menamai rindu atas nama kita. Aku hanya terterka ketika malam panjang menemaniku menjemput pagi. Sebab itu aku meyakini meskipun mungkin bagimu tidak.  

Semuanya begitu rumit bagiku, ketika rasa ingin mengobati sepi ternyata tidak lagi bisa ditawar kesepiannya. Duniaku begitu mengerikan karena penuh liku, banyak badai, jurang dahsyat, sering hujan, dan gersang. Bagaimana mungkin aku mampu dengan mudah mempresentasikan hati dalam konsep yang kita inginkan dalam diam. Kiranya mudah kupahami tentang semua arti namun sebaliknya, seperti hujan di atas lautan. Menjadikan air beradu air membuat riak-riak yang mengerikan. Aku butuh waktu, dan belum tentu kaumau menunggu perjalananku menujumu itu pun jika aku yang menjadi penantianmu.

Mungkin kaupernah bertanya-tanya, “mengapa orang bisa bersatu tanpa bertemu terlebih dahulu atau tidak saling kenal?”. Seandainya kita paham, mata tidak selalu mengenali seseorang dengan jujur karena takut akan ada perasaan yang harus dituruti, dikatakan, ditindaklanjuti, dan mungkin bisa kita kendalikan semua rasa cemas tidak melebihi batas wajar. Lalu bagaimana dengan mata hati kita? Aku tidak tahu. Aku hanya punya perasaan yang tumbuh subur tanpa pertemuan dari jarak yang paling jauh.

Pernahkah kausadar, apa yang ditakutkan matahari terbit selain awan hitam? Pernahkah kaumengerti, apa yang ditakutkan perasaan selain keterlambatan? Semua menjadi satu dalam kemasan yang disebut kehilangan. Seperti gelisah menunggu pagi di malam petaka dengan harapan yang berujung patah. Kita tidak pernah tahu rahasia dari konsep kecil yang diberikanNya. Semua ini tentang rasa seumpama hujan yang bisa gerimis kecil, deras butir, bahkan badai petir.

Sebenarnya aku tidak pernah tahu caranya mengendalikan perasaan ini. Ada jarak yang harus kutempuh serupa bentang samudera. Aku memang berniat menyeberanginya dengan bahtera yang kuat karena akan banyak badai yang hebat. Bila memungkinkan, aku akan berusaha berenang atau membangun sebuah jembatan penyeberangan. Jika tidak mampu kulakukan, maka aku akan memilih jalur udara menggunakan pesawat tangguh dengan avtur yang cukup agar tidak jatuh di laut lepas. Aku sadar, jarak kita yang sejauh samudera membutuhkan ilmu navigasi. Sebab itulah saat ini aku masih mengamini diam, dan berusaha menata perjalananku sebaik mungkin.

Aku memang bukan orang asing bagimu. Kita sering membicarakan banyak hal dalam konsep apapun. Namun dalam sebuah konsep hati yang sedang kita rasakan sekarang sama sekali tidak pernah kita bicarakan. Kita semacam sepakat tanpa perundingan karena sama-sama tahu bahwa segala urusan hati benar-benar hanya urusanNya.

Aku memang sama sekali tidak habis pikir dengan diriku sendiri. Perasaan yang tanpa kesengajaan, dan alasan justru tumbuh begitu cepat setelah kita saling mengenal jarak perbedaan. Aku tidak tahu pasti apa yang kaurasakan, adakah kita dalam benakmu atau bahkan aku tidak sama sekali ada. Entahlah, Aku bukanlah pembaca firasatmu yang hebat, dan aku pun tidak tahu apakah kaumampu membaca firasatku dengan baik. Semua hanya dibicarakan dalam diam, dan mengamininya sendiri.

Kita ibarat menerima undangan hanya melalui semesta. Undangan yang terbuat dari udara dingin, dan langit yang kelabu. Angin yang mengabari beritanya tentang kita yang mengamini diam menulisi harapan menjadi cerita yang utuh di alam pikiran. Hampir setiap hari aku terus mendapati undangan, dan mungkin kaujuga demikian. Undangan yang sendu semilir rindu yang bertumpuk-tumpuk hingga mencair. Sayangnya, hati yang kita miliki sebesar gelas kaca sementara rindu seperti es di kutub utara.


Bersambung.......

Tanjungpinang, 01 April 2017


Minggu, 26 Maret 2017

MENGAMINI DIAM

SENASIB ANGIN #5 JILID 2

Detak-detik waktu yang menghitung jarak menganyam sejumlah pertanyaan. Dingin menyapaku hingga terjaga ingatan, lirihku bernada sendu mencari tahu rindu temu yang kaumau. Bagaikan pengharapan tanpa sepengetahuan, membuatku terpaku sendiri menahan hentak yang menyakitkan. Ada sesuatu yang terbaca dari ucap mata dan masih tampak jelas mengeja makna yang entah.

Apa kabar diammu? Masihkah berdamai menanti peluk di depan pintu kepulangan? Maafkanlah yang terlalu membiarkan kemarau rindumu menanti hujan sebegitu lamanya. Membiarkanmu cemburu ketika melihat purnama dan senja menyatu pada janji pertemuan yang mereka tunaikan. Bahkan untuk sekadar mengakui saja tak pernah melayangkan bahasa terindah. Mungkin saja kaubosan dengan cara yang melelahkan itu. Mungkin kaubutuh kepastian namun buram yang kaudapatkan. Jika waktu telah menuntutmu untuk menghukum sebuah diam itu, tentu Ia bersedia dihakimi. Mungkin itu yang terbaik ketika pena takdir kehabisan tinta untuk mencatat semuanya di atas kertas kehidupan.

Bersama diammu, aku berusaha menyembunyikan satu guratan luka dalam sepersekian kedipan mata, namun, aku terlalu mengenalmu. Ucap mataku tak beralih sedetikpun seakan paham dengan suara dalam kepalaku yang tak pernah sepi memanggilmu bahkan selalu riuh, dan senantiasa gaduh. Kegaduhan yang ada mengekalkan rahasia rindu yang beda di semesta kata-kata pena. Ketidakwarasan ini memang selalu kunikmati karena dengan cara apalagi aku bisa menghibur diri ketika diam dalam bentuk bicara yang kita pilih.

Aku tak pernah tahu pasti bagaimana kabar rindu diammu sekarang. Mungkinkah ada gerimis yang turun di matamu karena masalalu. Mungkin juga kaubertanya enyah tentang rindu yang salah kaueja milik siapa. Hanya itu yang bisa kuterka ketika kenangan jingga menyapa dengan nyala suar mega dahsyat.

Rindu itu memang benar, prihal yang tak perlu diberi nama. Biarkan saja rindu bersembunyi di balik debar sambil berandai-andai. Biarlah bisikan debarnya terus-menerus melarung tanya lima kali dalam lima waktu. Biarkan saja menjadi desau angin yang gerimis di sunyi malam berkelip bintang bersama selengkung bulan. Biarkan saja hening tanpa sapa, rindu mencuri wajah dalam bayang imaji mata. Terima kasih kautelah mengajariku tentang diam. Namun janganlah sesekali bertanya ketika diamku berumur panjang. Aku takut memberi jawaban padamu karena jawaban yang ada hanya membuatmu harus menunggu.

Tentang rindu, dan diam di antara  kita, mungkin, berbeda harapan. Namun, bukan berarti semua tak punya pinta. Meskipun diam saja semua akan terus bernyawa menjalarkan segala perasaan. Rindu akan pasrah menyambut nasib karena tiada yang lebih menyakitkan bila setabah karang. Sebab, rindu bukan sekadar arti kata yang di dalam ensiklopedia. Rindu adalah segala-galanya harapan bagi insan yang tercekal peta kehidupan. Bersama rindu yang mendekam inilah aku diam tak terkata. Hidup dalam segudang tanya yang menulis kalimatnya dalam kepala. Kaujuga demikian, kan? Menyuarakannya dalam kepala menulisi kata demi kata dengan tanya yang serupa.

Masihkah kaubetah diam karena banyak diam yang berkepanjangan? Semoga kaubetah, dan tak lupa pada sungguh yang kaubutuh dari hati yang utuh. Mungkin kautak menginginkan jiwa yang bersungguh ini karena prihal menunggumu bukan memaknai itu. Biarlah nanti palung hatimu yang menjejakinya untuk mencari tahu kenyamanan tempat di mana kaumemilih menetap. Rindukan berpadu meski butuh waktu, dan tak menentu pada siapa memilih temu.

Bersambung.......

Tanjungpinang, 20 Maret 2017 



Kamis, 09 Maret 2017

BETAH

SENASIB ANGIN #4

“Hai, adakah ingatan yang ingin kaubagi ceritanya? Aku melihatmu hampir setiap hari selalu mengisyaratkan mata menatap jauh tanpa batas” tanyaku.

Sejenak suasana menjadi hening. Keadaan tak berubah. Mungkin saja caraku menyapamu salah hingga kau tak berkenan menjawab, hanya menoleh sejenak lalu kembali berpaling. Mengapa tidak memilih pergi saja, atau mengusirku?
Hasil gambar untuk wanita dan pria senja
Sepertinya kau malu atau memang sengaja tak ingin mengadu. Tak apa, karena aku adalah orang yang tak pantas tahu. Mungkin ada baiknya kita berteman seperti ini, berteman dengan keadaan, menikmatinya dalam diam, dan mungkin juga perasaan yang sama –rindu dan menunggu.

Setiap harinya selalu begitu. Kau dengan kesibukan menatap jauh, dan aku hanya disibukkan memerhatikanmu. Jarak yang terlipat tak membuat kita saling bicara. Rasanya begitu  menarik, mengenalimu dalam situasi seperti ini, dan kau mengenaliku dengan keadaan yang begini. Nyata namun tak ada, ada namun tak nyata. Sebetah itukah kita?

Apa yang sebenarnya sedang terjadi denganmu? Aku menghirup aroma rindumu yang sedang menuggu seseorang. Mungkin saja ada seseorang yang begitu berartinya bagimu. Seseorang yang pernah bahkan masih menjanjikan sesuatu padamu. Hanya saja ada jarak yang tak terlipat atau temu yang alpa, bahkan bisa jadi kau tersia sendiri menanggung tanpa kepastiannya. Isyarat matamu bercerita seperti itu. Aku hanya berpesan “bersabarlah” meskipun kau tak peduli.

Bolehkah aku bercerita sedikit saja?

“Aku pernah mendengarkan sebuah cerita dari seorang teman perempuanku. Dia telah menyesali sebuah kata ‘sepakat’. Sepakat yang membuat dirinya betah melipur lara dengan tanya tanpa suara. Dia mengakui cintanya, tapi tak juga tiba seseorang yang sudah mengajarinya untuk sepakat, bahkan hingga bertahun-tahun lamanya. Dia memilih bertahan karena rasa cintanya yang begitu besar. Membuat dirinya tak berkutik melawan arah yang menggantungkan harapan. Padahal dia sadar bahwa jarak sudah berbicara banyak tentang kisahnya, tetapi dia tetap memilih tersenyum, dan bertahan. Dia tidak mengurung dirinya, dan larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Perempuan itu juga bercerita, dan berpesan kepadaku, jauh lebih baik memulai rindu, dan menunggu tanpa memulai cinta, daripada memulai cinta, dan sepakat tapi yang didapat hanya gelap yang pekat menganakkan rindu dalam sebuah tunggu” begitulah ceritanya.

Cerita itu sepertinya hampir sama denganmu. Mungkin kau telah sepakat untuk mengikat hingga takdir tak tercatat. Aku mungkin sedikit beruntung darimu, karena yang aku rasakan hanya prihal rindu, dan menunggu tanpa sepakat, bahkan tanpa sepengetahuan. Namun keberuntungan itu tak juga mampu meredamkan rasa yang menggebu. Tetap saja hujan di mataku sesekali deras bila malam mengingatkanku tentang sebuah nama.

Demikianlah rindu dan menunggu. Baik dengan kesepakatan atau tidak, sesekali pasti di dalam hidup ini menjadi mendung yang menghujani mata. Namun tanpa disadari kita tetap saja masih betah. Begitulah perasaan, jika tanpa alasan, maka ia tetap juga betah menetap.

Terima kasih untuk sore ini. Kau betah mendengar celotehku meskipun enggan menoleh dan berkata satu katapun. Setidaknya aku sudah berbagi supaya senja tidak bosan melihat kita yang selama ini memiilih diam. Semoga saja di lain waktu, kau berubah pikiran dan kita bisa bertukar cerita tentang kabar-kabar sunyi prihal rindu, dan menunggu.
***

Aku sudah menyiapkan banyak pertanyaan. Demi rindu yang kunantikan dalam sebuah tunggu yang masih kupertahankan. Aku masih berjuang untuk sebuah kepastian di depan pintu keberangkatan sebelum benar-benar aku menuju ke rumahmu. Kita pernah –berbagi untuk sebuah cerita yang mengundang kenangan– saling menguatkan.

Semalam, aku melihatmu masih enggan bicara meskipun aku memulai cerita tentang seorang teman perempuanku. Kautahu siapa dia, jika aku harus menjelaskannya lagi mungkin akan kuberi nama yang tak ubah sebutannya adalah namamu. Pernahkah kau ingat sebelum, dan setelah diam menjadi teman baik kita, apakah kaudapat menyiratkan tentang sebuah perasaan yang kujaga untuk siapa. Mungkin hanya aku yang berpikir demikian sehingga suara di kepalamu tak mampu menerka setiap bentuk kenangan yang diucap mata.

Aku mengerti. Bagimu melupakan adalah tindakan yang paling kejam. Kau sadar akan semua itu namun kau masih dalam naungan yang tak lantas membuatmu keluar. Demikianlah rindumu yang kesepian pada sebuah tunggu yang terabaikan olehnya. Kau berusaha menagih pertemuan yang dijanjikan namun yang sering terjadi padamu adalah ganjil yang tak tergenapi.

Aku sedang membicarakanmu tentang harapan yang selalu cemas, dan mimpi pertemuan dalam sebuah tunggu yang betah. Kita sama-sama betah untuk tujuan yang berbeda dengan prihal yang sama. Arahku padamu yang berlawanan dengan arahmu. Nyeri yang serupa memaksa kita memelihara kupu-kupu yang terus menari indah di pelupuk mata. Menghabiskan waktu untuk membayangkan kisah-kisah senasib angin. Terasa ngilu di dada saat aku mencoba membenarkan firasatmu yang meniadakan kita.

Aku ingin tinggal di hatimu tapi aku sadar melodi terindahmu bukanlah aku. Mungkin kaubutuh waktu untuk kembali mengeja firasatmu. Semoga kau tak lupa, diam dalam bentuk bicaraku adalah cara bagaimana aku menulis rasa untukmu sampai saat kaumampu membacanya.

Kau tak perlu tergesah-gesah memaknaiku karena akan ada percuma jika kau tak benar-benar paham. Aku tak sehebat dia, jadi kau butuh waktu untuk menerjemahkan rasa agar firasatmu tak salah. Sebab, aku masih betah menunggu akan kesiapanmu untuk benar-benar sembuh karena aku tak ingin menjadi penyebab luka barumu di kemudian hari. Kaupaham keinginan terbesarku adalah mewujudkanmu yang entah kapan kauberi kesempatan itu padaku. Masih memungkinkan bukan? Meskipun betahmu masih bersandar pada sepakat yang telah lalu.





Kamis, 02 Maret 2017

MERAHASIAKAN DIRI (SENDIRI)

Senasib Angin #3


Aku tak melibatkan hati menggarisbahwahi bahwa langit tak sewarna pelangi. Sebab, kopi dan sepi sudah melengkapi perasaan ini. 

Ada cinta yang sulit dieja, ada rindu yang menjelma segalanya. Lantas, aku hanya memilih diam supaya tak seorangpun mengira aku jatuh cinta, dan merasa mencintainya, karena cinta tak selalu merah jambu, kadang hitam pekat juga putih pasi.

Aku dengan sengaja mengutus rasa cintaku seperti embun, disembunyikan matahari, dilelapkan bulan, dan dibangunkan fajar tetapi ia akan terus ada. Supaya cinta ini tetap suci, tak ternodai luka, dan kecewa. Sebelum saat nama itu kuikat di hari akad.

Aku sadar, hati dan pikiranku belum rapi. Bayangkan saja, jika sudah sepakat mengikat tanpa akad lalu ada kelengahan mata saat mendekat tatapan yang lain, sebagai bentuk yang belum terkunci pasti cemburu kan. Sebab itulah, aku ingin merawat hati dan pikiranku terlebih dahulu agar tiada pertengkaran seperti kekanak-kanakan.

Kecemasan kadang menjadi alasan bahwa aku takut kehilangan seseorang itu. Apalagi dengan ketidaktahuannya akan rasa cinta ini. Rasanya hanya memiliki tujuan yang entah. Ada tangis yang tak mampu kutahan. Ketika pekat malam memaksa hati dan pikiran berkelahi hanya karena perasaan. Namun aku berhasil menghibur diri meskipun takdir belum tercatat. Bukan karena mantra untuk sebuah lupa rasa tapi segenap doa-lah yang menentramkan.

Aku tak berniat sama sekali suatu saat nanti mengusir paksa perasaan ini ketika hati dan pikiranku bertingkah membicarakan rindu dan menunggu. Sama sekali tiada niatan ingin menghapus rasa cinta ini meskipun pada akhirnya seseorang itu bukanlah takdir yang tercatat. Namun semua belum terjawab kan. Lantas, prihal rindu dan menunggu, sssttt –cukup aku dan Tuhanku yang tahu– jauh lebih baik kan.

Merahasiakan diri memang tak semudah yang dibayangkan. Apalagi merahasiakan perasaan, tapi Tuhan tidak tidur, Dia yang mengatur. Sebab itu aku tak terengah-engah mengejar cinta. Aku sudah terbiasa memeluk cinta dengan kata, menggenggam dengan kalimat, dan berujar dengan doa. Semua selalu kusemogakan meskipun demikian tak terkabulkan, akan tetapi; semua itu adalah ketentuan-Nya.

Aku sudah jauh-jauh hari bersedia meyiapkan diri. Jika harapan yang kutata tak jadi nyata, maka aku akan ikhlas lahir dan batin. Biarlah cinta yang tak lekang meskipun harus menatap kebahagian punggung yang tak dirindukan. Aku akan berkemas merapikan cinta yang berantakan demi cinta yang tak kurindukan. Demikianlah aku yang jatuh cinta, merasakan nasib senasib angin dan merahasiakan diri demi menentramkan hati, dan pikiran.

Bicara tentang senasib angin, aku tidak akan lupa denganmu. Wanita tangguh yang kutemui di senja lembayung jingga yang berlayar mengarungi samudera kebencian setelah kehilangan harapan. Jika kau membaca tulisan ini, pasti kau akan tahu bahwa ada seseorang juga yang bernasib sama, itu adalah aku.

Aku sama sepertimu, tak mampu menuang perasaan, dan hanya mampu menata kata per kata dari sepi ke sunyi. Rindu berkisah selalu bercerita. Tentang ranting-ranting yang bernyanyi, tentang rintik-rintik yang bersenandung. Ketika hari hampir selesai menemani siang, aku hanya bersiap sendiri menyambut badai malam. Sebuah hal yang serupa kau rasakan, merasakan nasib senasib angin.

Kau sedang menunggu, apa bedanya denganku, juga menunggu. Sungguh, kau tak sendiri merasakan getir hidup yang membebani hati dan pikiran. Monolog yang kauciptakan pun sama denganku, lebih sedih dari sedih, berunding tanpa ujung dan berujar tanpa pasti. Bukan janji atau sumpah mati, hanya meyakini hati dan pikiran tentang sebuah keyakinan kepada-Nya.

Kau menanggung rindu, sedangkan aku mendambakannya. Kau masih berharap dengan harapan yang telah patah. Begitu pun aku yang berharap dengan patahan harapan yang kutata. Jika dulu, bahkan mungkin sampai sekarang, aku sering hadir di senjamu. Aku tak berniat untuk mengganggu, sama sekali tidak. Hanya sekadar kebetulan mendapati undangan yang sama dari lembayung jingga. Begitulah awal saat waktu mengizinkanknku masuk ke duniamu meskipun tanpa kesepakatan darimu.

Kau tak perlu takut. Sekali lagi kuperingatkan, jangan takut. Aku memang berada di tempat yang tak begitu dekat denganmu tapi aku punya mata yang beralamatkan kau. Aku memang tak berdialog denganmu, tapi prihal tentang rindu, dan menunggu aku selalu berdialog dengan Tuhan, dan tentangmu selalu kutanyakan

“mengapa gadis itu begitu betah mengasingkan diri, padahal ada aku di sekitarnya merasakan nasib yang sama, senasib angin?” aku selalu berujar begitu, di sela-sela doa-ku yang merahasiakan diri.

Maaf, aku tak bermaksud lebih dengan melibatkanmu dalam kesibukanku setiap kali mengangkat tangan sedada. Tentu tentangmu yang kualamatkan ke Tuhan adalah sebuah kebahagian untukmu. Siapa tahu Tuhan mengabulkan doaku, meskipun doamu tidak. Sebab, kebahagian memang menjadi rahasia Tuhan.
Tanjungpinang, 26 Februari 2017

  Bersambung.....


Sabtu, 25 Februari 2017

KEAJAIBAN WAKTU

SENASIB ANGIN #2

Hasil gambar untuk Wanita sendiri di senja
Add caption
Ada perundingan antara hati dengan pikiranmu. Semua perundingan hanya bertumpu pada sekumpulan rindu dan menunggu. Sebuah Monolog singkat yang membuatmu sesak. Kemudian yang kaudapati hanyalah nasib senasib angin yang dengan mudahnya menghujani kedua bola matamu.

Kau masih menunggu. Seseorang yang pernah menjanjikanmu sebuah istana terindah di hatinya. Namun seseorang itu seolah berlibur kabur tanpa enggan mengukur dosis rindumu yang babakbelur. Segenap hati dan pikiranmu pun hancur merasakan nasib senasib angin. Namun kau tetap mencoba untuk terus mencatat namanya di setiap halaman baru bukumu, sebagai lembar alasan bahwa kau masih menunggu. Kau tak pernah peduli meskipun yang membaca buku itu hanyalah rindu.

Sebenarnya kau tahu, prihal menunggu tak ubahnya dengan rasa secangkir kopi yang menagih gula untuk diaduk kembali. Namun kau tak peduli, bahkan kau sanggup menjadi kemarau yang bersikeras terjaga hingga larut menunggu hujan tanpa kepastian. Lantas hujan yang menjadi penantianmu hanya bayangnya yang merintik di kepala dan mengalir di kelopak matamu. Tinggallah Rindu dalam dahaga temu yang menjadi menu waktu yang terus-menerus menawar getir pilu padamu.

Kau kehilangan, lantas perayaan yang menjadi kenangan tak cukup juga mengubah perasaanmu. Padahal kau tak berpura-pura sadar. Namun segenap hati yang terus bicara atas pesakitan tak mengubah alam pikiranmu untuk tetap berpegang teguh, menunggu. Bebanmu yang begitu berat, tapi kau tak pucat memahatnya meskipun tidurmu tak lagi nyenyak.

Kau selalu bersedia siap dengan berjuta harap akan segera cepat kau temui sebuah jawab. Namun yang kau dapat hanyalah menatap bayangan yang menetap membuat bibirmu gagap berucap. Kau tak menemukan cara apapun untuk menyelamatkan perasaanmu yang kehilangan alamat. Sungguh, kau bisa sesabar itu hidup dalam bujuk semu merasakan nasib senasib angin.

Ketidahtahuannya tentang dirimu yang kerap membantah prihal melupakan, tak juga sanggup membuatmu menghindar dari harapan yang sejak lama terabaikan. Pahit perpisahan tak lagi jadi pertimbangan, bahkan janjinya yang hilang tak kau beri nama penghianatan. Sungguh, kisahmu tak kau sebut malang meski kau telah hidup berjalan pincang terpatahkan harapan. Kau selalu membicarakannya padaNya, tentang harapan yang cemas dan kerinduan yang mengangankan pertemuan.

Kerinduan yang kau rasakan sama persis dengan cuaca yang membekukan peluk ketika dingin dan melelehkan airmata saat kemarau. Kerinduan dan harapanmu yang telah menyatu itu seringkali bertentangan dengan pikiranmu yang sudah bosan. Namun hatimu masih menguatkan hingga monolog perundingan pun tak berkesudahan, sebab kau tak mampu memberi keputusan untuk langkah yang terasingkan tujuan.

Kau tak peduli dengan pertengkaran hati dan pikiranmu. Rindu memang tak kenal waktu. Hanya mampu diucap oleh mata ketika yang datang hanya sebatas wajahnya yang merona lalu hilang. Pada bayangnya itu pula kau salah mengeja makna sehingga tanpa sungkan kau meminjam kesedihan berkepanjangan.

Sudah terlalu lama kau menderita. Penderitaan yang ada kau jadikan indah. Matamu yang tak pernah lelah berkaca-kaca, merasakan nasib senasib angin. Namun semua itu justru membuat rindu dan prihal menunggumu betah menginap dalam sajak doa yang kau harapkan keajaiban waktu dari-Nya.

Tanjungpinang, 24 Februari 2017

Bersambung.....




Jumat, 17 Februari 2017

SENASIB ANGIN (SENJA)



Bolehkah sejenak aku masuk ke duniamu?

Sudah lama kaujatuh cinta pada senja, pada semua pernik langit yang melukiskan keindahan di kala mentari perlahan surut di ujung cakrawala dan menawarkan kebahagian. Begitu pun kaumenyempatkan diri untuk sendiri menghadiri senja hampir setiap hari. Sepertinya kau sedang memahami tentang teori kebencian, impian, kenangan juga kerinduan. Namun semua yang terpapah membuat hatimu berdenyut seolah-olah bernanah. Lantas dalam pikiranmu melogikan fakta, tetap berdiri, dan berbicara diam dengan segelintir tanya tentang sebuah nama yang kausemat dalam doa.

Masih dalam periode senja kelabumu tanpa episode baru. Suatu hari di Februari kala senja yang terus kauhadiri hampir setiap hari, menyapamu dengan merdu, dan kembali menawarkan kebahagian. Tanpa penolakan seribu alasan, sebuah kejadian yang sudah terbiasa kaurasakan nasibnya senasib angin. Kausambut dengan harapan yang jelas sudah kautahu bakal semu. Kaumemang tak bergerak kemanapun akan tetapi; hati dan pikiranmu tetap berlayar melintasi samudera kebencian sekadar bertujuan menjemput kenangan yang menjadi impian bakal terulang.

Masih juga dalam periodemu yang sama dengan episode serupa. Antara ada dan tiada, rindu masih terus mengunjungi hati dan pikiranmu yang sudah tak tertanggungkan lagi rasanya. Senja pun mengingatkanmu untuk tetap tidak lupa memberi kesempatan pada hati dan pikiranmu untuk berlayar kembali di sore hari. Kaupun pasrah dan berserah, membiarkan senja mengatur skenario drama kosongmu yang setiap harinya disaksikan lembayung jingga hingga langit menua renta tak sanggup kaucegah. Kautersenyum, juga sesekali menitikan airmata, dan yang kaurasakan hanya nasib senasib angin.

Masih dalam periode yang sama tanpa episode yang berbeda. Teorimu mulai rapuh dan dalam sekejap hatimu runtuh, mulai merangkai aksara menjadi bicara tentang tanya besar antara hati dan pikiranmu yang janggal. Pertanyaan yang ada tak satupun mampu kaujawab dengan sederhana. Kauhanyut dalam mega rindu akan kenangan yang bergelombang, memintamu berlayar kembali melintasi samudera kebencian. Kau tak bisa menolaknya, hingga jiwamu menyebrang jauh dalam angan pertemuan yang kau rindukan. Pertemuan yang selalu kau harapkan itu adalah pertemuan yang kau sendiri tak tahu pada siapa kau akan bertemu, entah seseorang di masa lalu atau akan ada orang baru.

Alangkah hebatnya senja mengajak hati dan pikiranmu berlayar tak bernahkoda. Kiranya kau akan tersesat di setiap harinya, namun kau selalu kembali dengan selamat menyambut pekat malam yang dahsyat. Semoga kau terus bahagia sebagai pelakon senja drama kosong lembayung jingga, hingga periode kelabumu usai dan kau tata episode baru sampai menuju surge.
Aku pamit untuk kembali keluar dari duniamu, terima kasih telah mengizinkanku masuk sejenak untuk merasakan hal yang sama, merasakan nasib senasib angin.

Tanjung Batu, 16 Februari 2017
Bersambung.......



*Tulisan ini ditulis untuk orang-orang yang menyukai senja dan menikmati setiap pernak-pernik langit jingga. Ada sebagian dari mereka yang menceritakan kepada bahwa betapa berartinya senja di dalam hidupnya yang mampu membuat hidup menjadi damai, tenang, dan membahagiakan meskipun terkadang hanya sebatas kerinduan dan khayalan. Bagi mereka senja adalah tempat menuangakan rasa yang tak berujar kata belaka. Senja tak pernah mengingkari janji bahwa Ia selalu kembali. Sungguh, senja tetap hadir meskipun terkadang badai berusaha menghalanginya, Ia tetap datang tepat waktu dan pergi tanpa ragu. Begitulah senja, indah tanpa perhiasan, mengagumkan, mendamaikan segala rasa serta melapangkan pikiran dan mengajari kita untuk tetap bersyukur padaNya.



Minggu, 29 Januari 2017

MENGENAL KARENA TAKDIR, MENCINTAI KARENA JODOH



Hasil gambar untuk ilusi pelaminan
Semua ini tentang cinta yang akan menjadi bagian setiap tulisan-tulisanku.Tentang cinta yang meminta kita untuk tetap diam. Tentang cinta yang meminta kita untuk tetap mencintaiNya. Kita punya waktu untuk menjadi akrab dan berdampingan, tapi tidak untuk menceritakan tentang cinta yang sedang kita rasakan. Ada sikap yang terkadang membuat kita nyaman, saling bertatap muka, dan membagi cerita untuk saling menguatkan satu sama lain. Kita percaya bahwa sesungguhnya cinta bukan dari mana kita bertemu dan bagaimana kita bersama, tapi dari cara kita mendekat kepadaNya si pemilik cinta. Seandainya jodoh pasti akan kita temukan sebuah jalan untuk menuju rumah yang kita impikan bersama dalam doa karena kita adalah kata yang belum ada rupanya. Pernikahan pun hanya sebuah wacana yang selalu kita bicarakan ketika menghadapNya untuk sebuah rencana masa depan. Dan semoga kita membicarakan hal yang sama.

Cinta yang aku rasakan memang tanpa kepastian namun itu bukanlah sesuatu yang menghalangiku untuk tetap merasakan cinta. Lihat saja dari tatapan kita ketika berpapasan, ada sesuatu yang tak bisa kita hindari, sesuatu yang belum kita mengerti, namun menjadi sesuatu yang begitu berarti. Ah…sudahlah, mungkin itu hanya firasatku tapi ada benarnya juga -bisa sajakan kita saling mencintai tapi gengsi- karena perbedaan angka dalam jumlah yang tidak sama atau mungkin hanya aku saja yang merasakan cinta tersebut. Entahlah, aku tidak punya jawaban yang tepat untuk semua itu jika ada orang lain yang bertanya tentang kita.

Aku tidak ingin banyak berkomentar tentang cinta yang sedang aku rasakan. Saat ini yang aku lakukan hanya berusaha dengan segala kemampuanku menyelesaikan semua yang sudah dimulai. Biarkanlah kita bergerak untuk saling mendekat dengan bekal doa dan berharap Allah menjaganya, meskipun belum tentu aku yang kausebut di dalam doamu. Namun aku tidak takut, aku tetap berusaha memantaskan diri sampai tiba hari yang memersatukan kita. Aku akan terus berusaha sebisaku, semoga Allah meyakinkan hatimu untuk menerjemahkan cinta dalam bentuk pernikahan meskipun dengan segala perbedaan yang ada. Bagiku bukanlah suatu masalah besar untuk memersiapkan diri sebagai dua anak manusia yang saling mengenal karena takdir dan mencintai karena jodoh.


Saat ini kita memang tidak beruntung, jika benar kita adalah sesuatu yang diinginkanNya maka kauharus menunggu lama. Maafkan aku yang membuatmu sekiranya ragu karena aku tidak pernah mengatakan cinta. Kauperlu tahu alasannya, aku tidak ingin mengotori hati kita hanya karena cemburu yang tidak pantas digugat. Aku ingin kita menjadi hati yang siap tanpa gugatan, bukankah itu adalah pengalaman disaat kita saling berbagi cerita tentang cinta di masa lalu. Cinta yang sempat membuat kita hilang arah dan berpikir patah hati adalah hukuman. Oleh karena itu, aku tidak ingin cinta yang sedang aku rasakan ini membuat kita merasakan hal yang sama seperti di masa lalu.

Apalah artinya cinta jika terlalu tergesah-gesah mengatakannya, justru di antara kita ada yang kecewa?

Cinta bukanlah sekadar kata-kata romantis yang tersusun dengan sistematis pun tidak mengenal usia. Cinta, cukup kau dan aku yang menjadi bukti jika diberi kesempatan untuk menjadi kita. Begitulah cinta yang masih kurahasiakan padamu. Cinta yang sama sekali belum pernah kukatakan bahwa aku mencintaimu karena aku ingin membuktikan kesetian cintaku kepada Allah terlebih dahulu sebelum aku menghalalkanmu dalam sumpah kita atas cinta dan kesetian dihadapan penghulu. Oleh karena itu aku menitip rasa ini kepada Allah agar nanti aku pun siap, andai kita berjodoh pasti akan bertemu dan duduk bersama di kursi bak Raja dan Ratu sejagad atau pun di antara kita hanya sebagai tamu yang datang memberi doa restu.