Kamis, 02 Maret 2017

MERAHASIAKAN DIRI (SENDIRI)

Senasib Angin #3


Aku tak melibatkan hati menggarisbahwahi bahwa langit tak sewarna pelangi. Sebab, kopi dan sepi sudah melengkapi perasaan ini. 

Ada cinta yang sulit dieja, ada rindu yang menjelma segalanya. Lantas, aku hanya memilih diam supaya tak seorangpun mengira aku jatuh cinta, dan merasa mencintainya, karena cinta tak selalu merah jambu, kadang hitam pekat juga putih pasi.

Aku dengan sengaja mengutus rasa cintaku seperti embun, disembunyikan matahari, dilelapkan bulan, dan dibangunkan fajar tetapi ia akan terus ada. Supaya cinta ini tetap suci, tak ternodai luka, dan kecewa. Sebelum saat nama itu kuikat di hari akad.

Aku sadar, hati dan pikiranku belum rapi. Bayangkan saja, jika sudah sepakat mengikat tanpa akad lalu ada kelengahan mata saat mendekat tatapan yang lain, sebagai bentuk yang belum terkunci pasti cemburu kan. Sebab itulah, aku ingin merawat hati dan pikiranku terlebih dahulu agar tiada pertengkaran seperti kekanak-kanakan.

Kecemasan kadang menjadi alasan bahwa aku takut kehilangan seseorang itu. Apalagi dengan ketidaktahuannya akan rasa cinta ini. Rasanya hanya memiliki tujuan yang entah. Ada tangis yang tak mampu kutahan. Ketika pekat malam memaksa hati dan pikiran berkelahi hanya karena perasaan. Namun aku berhasil menghibur diri meskipun takdir belum tercatat. Bukan karena mantra untuk sebuah lupa rasa tapi segenap doa-lah yang menentramkan.

Aku tak berniat sama sekali suatu saat nanti mengusir paksa perasaan ini ketika hati dan pikiranku bertingkah membicarakan rindu dan menunggu. Sama sekali tiada niatan ingin menghapus rasa cinta ini meskipun pada akhirnya seseorang itu bukanlah takdir yang tercatat. Namun semua belum terjawab kan. Lantas, prihal rindu dan menunggu, sssttt –cukup aku dan Tuhanku yang tahu– jauh lebih baik kan.

Merahasiakan diri memang tak semudah yang dibayangkan. Apalagi merahasiakan perasaan, tapi Tuhan tidak tidur, Dia yang mengatur. Sebab itu aku tak terengah-engah mengejar cinta. Aku sudah terbiasa memeluk cinta dengan kata, menggenggam dengan kalimat, dan berujar dengan doa. Semua selalu kusemogakan meskipun demikian tak terkabulkan, akan tetapi; semua itu adalah ketentuan-Nya.

Aku sudah jauh-jauh hari bersedia meyiapkan diri. Jika harapan yang kutata tak jadi nyata, maka aku akan ikhlas lahir dan batin. Biarlah cinta yang tak lekang meskipun harus menatap kebahagian punggung yang tak dirindukan. Aku akan berkemas merapikan cinta yang berantakan demi cinta yang tak kurindukan. Demikianlah aku yang jatuh cinta, merasakan nasib senasib angin dan merahasiakan diri demi menentramkan hati, dan pikiran.

Bicara tentang senasib angin, aku tidak akan lupa denganmu. Wanita tangguh yang kutemui di senja lembayung jingga yang berlayar mengarungi samudera kebencian setelah kehilangan harapan. Jika kau membaca tulisan ini, pasti kau akan tahu bahwa ada seseorang juga yang bernasib sama, itu adalah aku.

Aku sama sepertimu, tak mampu menuang perasaan, dan hanya mampu menata kata per kata dari sepi ke sunyi. Rindu berkisah selalu bercerita. Tentang ranting-ranting yang bernyanyi, tentang rintik-rintik yang bersenandung. Ketika hari hampir selesai menemani siang, aku hanya bersiap sendiri menyambut badai malam. Sebuah hal yang serupa kau rasakan, merasakan nasib senasib angin.

Kau sedang menunggu, apa bedanya denganku, juga menunggu. Sungguh, kau tak sendiri merasakan getir hidup yang membebani hati dan pikiran. Monolog yang kauciptakan pun sama denganku, lebih sedih dari sedih, berunding tanpa ujung dan berujar tanpa pasti. Bukan janji atau sumpah mati, hanya meyakini hati dan pikiran tentang sebuah keyakinan kepada-Nya.

Kau menanggung rindu, sedangkan aku mendambakannya. Kau masih berharap dengan harapan yang telah patah. Begitu pun aku yang berharap dengan patahan harapan yang kutata. Jika dulu, bahkan mungkin sampai sekarang, aku sering hadir di senjamu. Aku tak berniat untuk mengganggu, sama sekali tidak. Hanya sekadar kebetulan mendapati undangan yang sama dari lembayung jingga. Begitulah awal saat waktu mengizinkanknku masuk ke duniamu meskipun tanpa kesepakatan darimu.

Kau tak perlu takut. Sekali lagi kuperingatkan, jangan takut. Aku memang berada di tempat yang tak begitu dekat denganmu tapi aku punya mata yang beralamatkan kau. Aku memang tak berdialog denganmu, tapi prihal tentang rindu, dan menunggu aku selalu berdialog dengan Tuhan, dan tentangmu selalu kutanyakan

“mengapa gadis itu begitu betah mengasingkan diri, padahal ada aku di sekitarnya merasakan nasib yang sama, senasib angin?” aku selalu berujar begitu, di sela-sela doa-ku yang merahasiakan diri.

Maaf, aku tak bermaksud lebih dengan melibatkanmu dalam kesibukanku setiap kali mengangkat tangan sedada. Tentu tentangmu yang kualamatkan ke Tuhan adalah sebuah kebahagian untukmu. Siapa tahu Tuhan mengabulkan doaku, meskipun doamu tidak. Sebab, kebahagian memang menjadi rahasia Tuhan.
Tanjungpinang, 26 Februari 2017

  Bersambung.....