Senasib Angin #3
Aku
tak melibatkan hati menggarisbahwahi bahwa langit tak sewarna pelangi. Sebab,
kopi dan sepi sudah melengkapi perasaan ini.
Ada cinta yang sulit dieja, ada
rindu yang menjelma segalanya. Lantas, aku hanya memilih diam supaya tak
seorangpun mengira aku jatuh cinta, dan merasa mencintainya, karena cinta tak
selalu merah jambu, kadang hitam pekat juga putih pasi.
Aku
dengan sengaja mengutus rasa cintaku seperti embun, disembunyikan
matahari, dilelapkan bulan, dan dibangunkan fajar tetapi ia akan terus ada.
Supaya cinta ini tetap suci, tak ternodai luka, dan kecewa. Sebelum saat nama
itu kuikat di hari akad.
Aku
sadar, hati dan pikiranku belum rapi. Bayangkan saja, jika sudah sepakat
mengikat tanpa akad lalu ada kelengahan mata saat mendekat tatapan yang lain,
sebagai bentuk yang belum terkunci pasti cemburu kan. Sebab itulah, aku ingin
merawat hati dan pikiranku terlebih dahulu agar tiada pertengkaran seperti
kekanak-kanakan.
Kecemasan
kadang menjadi alasan bahwa aku takut kehilangan seseorang itu. Apalagi dengan
ketidaktahuannya akan rasa cinta ini. Rasanya hanya memiliki tujuan yang entah.
Ada tangis yang tak mampu kutahan. Ketika pekat malam memaksa hati dan pikiran
berkelahi hanya karena perasaan. Namun aku berhasil menghibur diri meskipun
takdir belum tercatat. Bukan karena mantra untuk sebuah lupa rasa tapi segenap
doa-lah yang menentramkan.
Aku
tak berniat sama sekali suatu saat nanti mengusir paksa perasaan ini ketika
hati dan pikiranku bertingkah membicarakan rindu dan menunggu. Sama sekali
tiada niatan ingin menghapus rasa cinta ini meskipun pada akhirnya seseorang
itu bukanlah takdir yang tercatat. Namun semua belum terjawab kan. Lantas,
prihal rindu dan menunggu, sssttt –cukup aku dan Tuhanku yang tahu– jauh lebih
baik kan.
Merahasiakan
diri memang tak semudah yang dibayangkan. Apalagi merahasiakan perasaan, tapi
Tuhan tidak tidur, Dia yang mengatur. Sebab itu aku tak terengah-engah mengejar
cinta. Aku sudah terbiasa memeluk cinta dengan kata, menggenggam dengan kalimat, dan berujar dengan doa. Semua selalu kusemogakan meskipun demikian tak
terkabulkan, akan tetapi; semua itu adalah ketentuan-Nya.
Aku
sudah jauh-jauh hari bersedia meyiapkan diri. Jika harapan yang kutata tak jadi
nyata, maka aku akan ikhlas lahir dan batin. Biarlah cinta yang tak lekang
meskipun harus menatap kebahagian punggung yang tak dirindukan. Aku akan
berkemas merapikan cinta yang berantakan demi cinta yang tak kurindukan.
Demikianlah aku yang jatuh cinta, merasakan nasib senasib angin dan
merahasiakan diri demi menentramkan hati, dan pikiran.
Bicara
tentang senasib angin, aku tidak akan lupa denganmu. Wanita tangguh yang
kutemui di senja lembayung jingga yang berlayar mengarungi samudera kebencian
setelah kehilangan harapan. Jika kau membaca tulisan ini, pasti kau akan tahu
bahwa ada seseorang juga yang bernasib sama, itu adalah aku.
Aku
sama sepertimu, tak mampu menuang perasaan, dan hanya mampu menata kata per kata dari
sepi ke sunyi. Rindu berkisah selalu bercerita. Tentang ranting-ranting yang
bernyanyi, tentang rintik-rintik yang bersenandung. Ketika hari hampir selesai
menemani siang, aku hanya bersiap sendiri menyambut badai malam. Sebuah hal
yang serupa kau rasakan, merasakan nasib senasib angin.
Kau
sedang menunggu, apa bedanya denganku, juga menunggu. Sungguh, kau tak sendiri
merasakan getir hidup yang membebani hati dan pikiran. Monolog yang kauciptakan
pun sama denganku, lebih sedih dari sedih, berunding tanpa ujung dan berujar
tanpa pasti. Bukan janji atau sumpah mati, hanya meyakini hati dan pikiran tentang
sebuah keyakinan kepada-Nya.
Kau
menanggung rindu, sedangkan aku mendambakannya. Kau masih berharap dengan
harapan yang telah patah. Begitu pun aku yang berharap dengan patahan harapan
yang kutata. Jika dulu, bahkan mungkin sampai sekarang, aku sering hadir di
senjamu. Aku tak berniat untuk mengganggu, sama sekali tidak. Hanya sekadar
kebetulan mendapati undangan yang sama dari lembayung jingga. Begitulah awal
saat waktu mengizinkanknku masuk ke duniamu meskipun tanpa kesepakatan darimu.
Kau
tak perlu takut. Sekali lagi kuperingatkan, jangan takut. Aku memang berada di
tempat yang tak begitu dekat denganmu tapi aku punya mata yang beralamatkan
kau. Aku memang tak berdialog denganmu, tapi prihal tentang rindu, dan menunggu
aku selalu berdialog dengan Tuhan, dan tentangmu selalu kutanyakan
“mengapa
gadis itu begitu betah mengasingkan diri, padahal ada aku di sekitarnya
merasakan nasib yang sama, senasib angin?” aku selalu berujar begitu, di
sela-sela doa-ku yang merahasiakan diri.
Maaf,
aku tak bermaksud lebih dengan melibatkanmu dalam kesibukanku setiap kali
mengangkat tangan sedada. Tentu tentangmu yang kualamatkan ke Tuhan adalah sebuah
kebahagian untukmu. Siapa tahu Tuhan mengabulkan doaku, meskipun doamu tidak.
Sebab, kebahagian memang menjadi rahasia Tuhan.
Tanjungpinang, 26 Februari 2017
Bersambung.....