SENASIB ANGIN #6 JILIID 2
Maafkanlah
keadaan ini, sungguh, tiada nama yang bisa kita namai untuk melengkapi
hambarnya sepi yang menganaki rindu di nadi pilu. Kautahu bagaimana getirnya
mengasingkan diri menjaga mimpi demi kisah melahirkan kasih. Keramaian hanya
sebuah lagu tidak berirama yang bersenandung sumbang di telingaku. Aku mampu
mengahadapinya tapi prihal rindu, dan perasaan ini tidak bisa kubuang dengan
gampang. Aku tidak tahu pasti apakah di pikiranmu menamai rindu atas nama kita.
Aku hanya terterka ketika malam panjang menemaniku menjemput pagi. Sebab itu
aku meyakini meskipun mungkin bagimu tidak.
Semuanya
begitu rumit bagiku, ketika rasa ingin mengobati sepi ternyata tidak lagi bisa
ditawar kesepiannya. Duniaku begitu mengerikan karena penuh liku, banyak badai,
jurang dahsyat, sering hujan, dan gersang. Bagaimana mungkin aku mampu dengan
mudah mempresentasikan hati dalam konsep yang kita inginkan dalam diam. Kiranya
mudah kupahami tentang semua arti namun sebaliknya, seperti hujan di atas
lautan. Menjadikan air beradu air membuat riak-riak yang mengerikan. Aku butuh
waktu, dan belum tentu kaumau menunggu perjalananku menujumu itu pun jika aku
yang menjadi penantianmu.
Mungkin
kaupernah bertanya-tanya, “mengapa orang bisa bersatu tanpa bertemu terlebih
dahulu atau tidak saling kenal?”. Seandainya kita paham, mata tidak selalu
mengenali seseorang dengan jujur karena takut akan ada perasaan yang harus dituruti,
dikatakan, ditindaklanjuti, dan mungkin bisa kita kendalikan semua rasa cemas
tidak melebihi batas wajar. Lalu bagaimana dengan mata hati kita? Aku tidak
tahu. Aku hanya punya perasaan yang tumbuh subur tanpa pertemuan dari jarak
yang paling jauh.
Pernahkah
kausadar, apa yang ditakutkan matahari terbit selain awan hitam? Pernahkah
kaumengerti, apa yang ditakutkan perasaan selain keterlambatan? Semua menjadi
satu dalam kemasan yang disebut kehilangan. Seperti gelisah menunggu pagi di
malam petaka dengan harapan yang berujung patah. Kita tidak pernah tahu rahasia
dari konsep kecil yang diberikanNya. Semua ini tentang rasa seumpama hujan yang
bisa gerimis kecil, deras butir, bahkan badai petir.
Sebenarnya
aku tidak pernah tahu caranya mengendalikan perasaan ini. Ada jarak yang harus
kutempuh serupa bentang samudera. Aku memang berniat menyeberanginya dengan
bahtera yang kuat karena akan banyak badai yang hebat. Bila memungkinkan, aku
akan berusaha berenang atau membangun sebuah jembatan penyeberangan. Jika tidak
mampu kulakukan, maka aku akan memilih jalur udara menggunakan pesawat tangguh
dengan avtur yang cukup agar tidak jatuh di laut lepas. Aku sadar, jarak kita
yang sejauh samudera membutuhkan ilmu navigasi. Sebab itulah saat ini aku masih
mengamini diam, dan berusaha menata perjalananku sebaik mungkin.
Aku
memang bukan orang asing bagimu. Kita sering membicarakan banyak hal dalam
konsep apapun. Namun dalam sebuah konsep hati yang sedang kita rasakan sekarang
sama sekali tidak pernah kita bicarakan. Kita semacam sepakat tanpa perundingan
karena sama-sama tahu bahwa segala urusan hati benar-benar hanya urusanNya.
Aku
memang sama sekali tidak habis pikir dengan diriku sendiri. Perasaan yang tanpa
kesengajaan, dan alasan justru tumbuh begitu cepat setelah kita saling mengenal
jarak perbedaan. Aku tidak tahu pasti apa yang kaurasakan, adakah kita dalam
benakmu atau bahkan aku tidak sama sekali ada. Entahlah, Aku bukanlah pembaca
firasatmu yang hebat, dan aku pun tidak tahu apakah kaumampu membaca firasatku
dengan baik. Semua hanya dibicarakan dalam diam, dan mengamininya sendiri.
Kita
ibarat menerima undangan hanya melalui semesta. Undangan yang terbuat dari
udara dingin, dan langit yang kelabu. Angin yang mengabari beritanya tentang
kita yang mengamini diam menulisi harapan menjadi cerita yang utuh di alam
pikiran. Hampir setiap hari aku terus mendapati undangan, dan mungkin kaujuga
demikian. Undangan yang sendu semilir rindu yang bertumpuk-tumpuk hingga mencair.
Sayangnya, hati yang kita miliki sebesar gelas kaca sementara rindu seperti es
di kutub utara.
Bersambung.......
Tanjungpinang,
01 April 2017