Rabu, 05 April 2017

UNDANGAN MONOLOG

SENASIB ANGIN #6 JILIID 2
Maafkanlah keadaan ini, sungguh, tiada nama yang bisa kita namai untuk melengkapi hambarnya sepi yang menganaki rindu di nadi pilu. Kautahu bagaimana getirnya mengasingkan diri menjaga mimpi demi kisah melahirkan kasih. Keramaian hanya sebuah lagu tidak berirama yang bersenandung sumbang di telingaku. Aku mampu mengahadapinya tapi prihal rindu, dan perasaan ini tidak bisa kubuang dengan gampang. Aku tidak tahu pasti apakah di pikiranmu menamai rindu atas nama kita. Aku hanya terterka ketika malam panjang menemaniku menjemput pagi. Sebab itu aku meyakini meskipun mungkin bagimu tidak.  

Semuanya begitu rumit bagiku, ketika rasa ingin mengobati sepi ternyata tidak lagi bisa ditawar kesepiannya. Duniaku begitu mengerikan karena penuh liku, banyak badai, jurang dahsyat, sering hujan, dan gersang. Bagaimana mungkin aku mampu dengan mudah mempresentasikan hati dalam konsep yang kita inginkan dalam diam. Kiranya mudah kupahami tentang semua arti namun sebaliknya, seperti hujan di atas lautan. Menjadikan air beradu air membuat riak-riak yang mengerikan. Aku butuh waktu, dan belum tentu kaumau menunggu perjalananku menujumu itu pun jika aku yang menjadi penantianmu.

Mungkin kaupernah bertanya-tanya, “mengapa orang bisa bersatu tanpa bertemu terlebih dahulu atau tidak saling kenal?”. Seandainya kita paham, mata tidak selalu mengenali seseorang dengan jujur karena takut akan ada perasaan yang harus dituruti, dikatakan, ditindaklanjuti, dan mungkin bisa kita kendalikan semua rasa cemas tidak melebihi batas wajar. Lalu bagaimana dengan mata hati kita? Aku tidak tahu. Aku hanya punya perasaan yang tumbuh subur tanpa pertemuan dari jarak yang paling jauh.

Pernahkah kausadar, apa yang ditakutkan matahari terbit selain awan hitam? Pernahkah kaumengerti, apa yang ditakutkan perasaan selain keterlambatan? Semua menjadi satu dalam kemasan yang disebut kehilangan. Seperti gelisah menunggu pagi di malam petaka dengan harapan yang berujung patah. Kita tidak pernah tahu rahasia dari konsep kecil yang diberikanNya. Semua ini tentang rasa seumpama hujan yang bisa gerimis kecil, deras butir, bahkan badai petir.

Sebenarnya aku tidak pernah tahu caranya mengendalikan perasaan ini. Ada jarak yang harus kutempuh serupa bentang samudera. Aku memang berniat menyeberanginya dengan bahtera yang kuat karena akan banyak badai yang hebat. Bila memungkinkan, aku akan berusaha berenang atau membangun sebuah jembatan penyeberangan. Jika tidak mampu kulakukan, maka aku akan memilih jalur udara menggunakan pesawat tangguh dengan avtur yang cukup agar tidak jatuh di laut lepas. Aku sadar, jarak kita yang sejauh samudera membutuhkan ilmu navigasi. Sebab itulah saat ini aku masih mengamini diam, dan berusaha menata perjalananku sebaik mungkin.

Aku memang bukan orang asing bagimu. Kita sering membicarakan banyak hal dalam konsep apapun. Namun dalam sebuah konsep hati yang sedang kita rasakan sekarang sama sekali tidak pernah kita bicarakan. Kita semacam sepakat tanpa perundingan karena sama-sama tahu bahwa segala urusan hati benar-benar hanya urusanNya.

Aku memang sama sekali tidak habis pikir dengan diriku sendiri. Perasaan yang tanpa kesengajaan, dan alasan justru tumbuh begitu cepat setelah kita saling mengenal jarak perbedaan. Aku tidak tahu pasti apa yang kaurasakan, adakah kita dalam benakmu atau bahkan aku tidak sama sekali ada. Entahlah, Aku bukanlah pembaca firasatmu yang hebat, dan aku pun tidak tahu apakah kaumampu membaca firasatku dengan baik. Semua hanya dibicarakan dalam diam, dan mengamininya sendiri.

Kita ibarat menerima undangan hanya melalui semesta. Undangan yang terbuat dari udara dingin, dan langit yang kelabu. Angin yang mengabari beritanya tentang kita yang mengamini diam menulisi harapan menjadi cerita yang utuh di alam pikiran. Hampir setiap hari aku terus mendapati undangan, dan mungkin kaujuga demikian. Undangan yang sendu semilir rindu yang bertumpuk-tumpuk hingga mencair. Sayangnya, hati yang kita miliki sebesar gelas kaca sementara rindu seperti es di kutub utara.


Bersambung.......

Tanjungpinang, 01 April 2017