SENASIB ANGIN #2
Ada
perundingan antara hati dengan pikiranmu. Semua perundingan hanya bertumpu pada
sekumpulan rindu dan menunggu. Sebuah Monolog singkat yang membuatmu sesak.
Kemudian yang kaudapati hanyalah nasib senasib angin yang dengan mudahnya
menghujani kedua bola matamu.
Add caption |
Kau
masih menunggu. Seseorang yang pernah menjanjikanmu sebuah istana terindah di
hatinya. Namun seseorang itu seolah berlibur kabur tanpa enggan mengukur dosis
rindumu yang babakbelur. Segenap hati dan pikiranmu pun hancur merasakan nasib
senasib angin. Namun kau tetap mencoba untuk terus mencatat namanya di setiap
halaman baru bukumu, sebagai lembar alasan bahwa kau masih menunggu. Kau tak
pernah peduli meskipun yang membaca buku itu hanyalah rindu.
Sebenarnya
kau tahu, prihal menunggu tak ubahnya dengan rasa secangkir kopi yang menagih
gula untuk diaduk kembali. Namun kau tak peduli, bahkan kau sanggup menjadi
kemarau yang bersikeras terjaga hingga larut menunggu hujan tanpa kepastian.
Lantas hujan yang menjadi penantianmu hanya bayangnya yang merintik di kepala
dan mengalir di kelopak matamu. Tinggallah Rindu dalam dahaga temu yang menjadi
menu waktu yang terus-menerus menawar getir pilu padamu.
Kau
kehilangan, lantas perayaan yang menjadi kenangan tak cukup juga mengubah
perasaanmu. Padahal kau tak berpura-pura sadar. Namun segenap hati yang terus
bicara atas pesakitan tak mengubah alam pikiranmu untuk tetap berpegang teguh,
menunggu. Bebanmu yang begitu berat, tapi kau tak pucat memahatnya meskipun
tidurmu tak lagi nyenyak.
Kau
selalu bersedia siap dengan berjuta harap akan segera cepat kau temui sebuah
jawab. Namun yang kau dapat hanyalah menatap bayangan yang menetap membuat
bibirmu gagap berucap. Kau tak menemukan cara apapun untuk menyelamatkan
perasaanmu yang kehilangan alamat. Sungguh, kau bisa sesabar itu hidup dalam
bujuk semu merasakan nasib senasib angin.
Ketidahtahuannya
tentang dirimu yang kerap membantah prihal melupakan, tak juga sanggup
membuatmu menghindar dari harapan yang sejak lama terabaikan. Pahit perpisahan
tak lagi jadi pertimbangan, bahkan janjinya yang hilang tak kau beri nama
penghianatan. Sungguh, kisahmu tak kau sebut malang meski kau telah hidup
berjalan pincang terpatahkan harapan. Kau selalu membicarakannya padaNya,
tentang harapan yang cemas dan kerinduan yang mengangankan pertemuan.
Kerinduan
yang kau rasakan sama persis dengan cuaca yang membekukan peluk ketika dingin
dan melelehkan airmata saat kemarau. Kerinduan dan harapanmu yang telah menyatu
itu seringkali bertentangan dengan pikiranmu yang sudah bosan. Namun hatimu
masih menguatkan hingga monolog perundingan pun tak berkesudahan, sebab kau tak
mampu memberi keputusan untuk langkah yang terasingkan tujuan.
Kau
tak peduli dengan pertengkaran hati dan pikiranmu. Rindu memang tak kenal
waktu. Hanya mampu diucap oleh mata ketika yang datang hanya sebatas wajahnya
yang merona lalu hilang. Pada bayangnya itu pula kau salah mengeja makna sehingga
tanpa sungkan kau meminjam kesedihan berkepanjangan.
Sudah
terlalu lama kau menderita. Penderitaan yang ada kau jadikan indah. Matamu yang
tak pernah lelah berkaca-kaca, merasakan nasib senasib angin. Namun semua itu
justru membuat rindu dan prihal menunggumu betah menginap dalam sajak doa yang
kau harapkan keajaiban waktu dari-Nya.
Tanjungpinang, 24 Februari 2017
Bersambung.....