Minggu, 26 Maret 2017

MENGAMINI DIAM

SENASIB ANGIN #5 JILID 2

Detak-detik waktu yang menghitung jarak menganyam sejumlah pertanyaan. Dingin menyapaku hingga terjaga ingatan, lirihku bernada sendu mencari tahu rindu temu yang kaumau. Bagaikan pengharapan tanpa sepengetahuan, membuatku terpaku sendiri menahan hentak yang menyakitkan. Ada sesuatu yang terbaca dari ucap mata dan masih tampak jelas mengeja makna yang entah.

Apa kabar diammu? Masihkah berdamai menanti peluk di depan pintu kepulangan? Maafkanlah yang terlalu membiarkan kemarau rindumu menanti hujan sebegitu lamanya. Membiarkanmu cemburu ketika melihat purnama dan senja menyatu pada janji pertemuan yang mereka tunaikan. Bahkan untuk sekadar mengakui saja tak pernah melayangkan bahasa terindah. Mungkin saja kaubosan dengan cara yang melelahkan itu. Mungkin kaubutuh kepastian namun buram yang kaudapatkan. Jika waktu telah menuntutmu untuk menghukum sebuah diam itu, tentu Ia bersedia dihakimi. Mungkin itu yang terbaik ketika pena takdir kehabisan tinta untuk mencatat semuanya di atas kertas kehidupan.

Bersama diammu, aku berusaha menyembunyikan satu guratan luka dalam sepersekian kedipan mata, namun, aku terlalu mengenalmu. Ucap mataku tak beralih sedetikpun seakan paham dengan suara dalam kepalaku yang tak pernah sepi memanggilmu bahkan selalu riuh, dan senantiasa gaduh. Kegaduhan yang ada mengekalkan rahasia rindu yang beda di semesta kata-kata pena. Ketidakwarasan ini memang selalu kunikmati karena dengan cara apalagi aku bisa menghibur diri ketika diam dalam bentuk bicara yang kita pilih.

Aku tak pernah tahu pasti bagaimana kabar rindu diammu sekarang. Mungkinkah ada gerimis yang turun di matamu karena masalalu. Mungkin juga kaubertanya enyah tentang rindu yang salah kaueja milik siapa. Hanya itu yang bisa kuterka ketika kenangan jingga menyapa dengan nyala suar mega dahsyat.

Rindu itu memang benar, prihal yang tak perlu diberi nama. Biarkan saja rindu bersembunyi di balik debar sambil berandai-andai. Biarlah bisikan debarnya terus-menerus melarung tanya lima kali dalam lima waktu. Biarkan saja menjadi desau angin yang gerimis di sunyi malam berkelip bintang bersama selengkung bulan. Biarkan saja hening tanpa sapa, rindu mencuri wajah dalam bayang imaji mata. Terima kasih kautelah mengajariku tentang diam. Namun janganlah sesekali bertanya ketika diamku berumur panjang. Aku takut memberi jawaban padamu karena jawaban yang ada hanya membuatmu harus menunggu.

Tentang rindu, dan diam di antara  kita, mungkin, berbeda harapan. Namun, bukan berarti semua tak punya pinta. Meskipun diam saja semua akan terus bernyawa menjalarkan segala perasaan. Rindu akan pasrah menyambut nasib karena tiada yang lebih menyakitkan bila setabah karang. Sebab, rindu bukan sekadar arti kata yang di dalam ensiklopedia. Rindu adalah segala-galanya harapan bagi insan yang tercekal peta kehidupan. Bersama rindu yang mendekam inilah aku diam tak terkata. Hidup dalam segudang tanya yang menulis kalimatnya dalam kepala. Kaujuga demikian, kan? Menyuarakannya dalam kepala menulisi kata demi kata dengan tanya yang serupa.

Masihkah kaubetah diam karena banyak diam yang berkepanjangan? Semoga kaubetah, dan tak lupa pada sungguh yang kaubutuh dari hati yang utuh. Mungkin kautak menginginkan jiwa yang bersungguh ini karena prihal menunggumu bukan memaknai itu. Biarlah nanti palung hatimu yang menjejakinya untuk mencari tahu kenyamanan tempat di mana kaumemilih menetap. Rindukan berpadu meski butuh waktu, dan tak menentu pada siapa memilih temu.

Bersambung.......

Tanjungpinang, 20 Maret 2017