SENASIB ANGIN #5 JILID 2
Detak-detik
waktu yang menghitung jarak menganyam sejumlah pertanyaan. Dingin
menyapaku hingga terjaga ingatan, lirihku bernada sendu mencari tahu rindu temu
yang kaumau. Bagaikan pengharapan tanpa sepengetahuan, membuatku terpaku
sendiri menahan hentak yang menyakitkan. Ada sesuatu yang terbaca dari ucap mata
dan masih tampak jelas mengeja makna yang entah.
Apa kabar diammu? Masihkah
berdamai menanti peluk di depan pintu kepulangan? Maafkanlah yang terlalu
membiarkan kemarau rindumu menanti hujan sebegitu lamanya. Membiarkanmu cemburu
ketika melihat purnama dan senja menyatu pada janji pertemuan yang mereka
tunaikan. Bahkan untuk sekadar mengakui saja tak pernah melayangkan bahasa terindah.
Mungkin saja kaubosan dengan cara yang melelahkan itu. Mungkin kaubutuh
kepastian namun buram yang kaudapatkan. Jika waktu telah menuntutmu untuk
menghukum sebuah diam itu, tentu Ia bersedia dihakimi. Mungkin itu yang terbaik
ketika pena takdir kehabisan tinta untuk mencatat semuanya di atas kertas
kehidupan.
Bersama diammu, aku berusaha menyembunyikan
satu guratan luka dalam sepersekian kedipan mata, namun, aku terlalu mengenalmu. Ucap
mataku tak beralih sedetikpun seakan paham dengan suara dalam kepalaku yang tak
pernah sepi memanggilmu bahkan selalu riuh, dan
senantiasa gaduh. Kegaduhan yang ada mengekalkan rahasia
rindu yang beda di semesta kata-kata pena. Ketidakwarasan ini memang selalu
kunikmati karena dengan cara apalagi aku bisa menghibur diri ketika diam dalam
bentuk bicara yang kita pilih.
Aku
tak pernah tahu pasti bagaimana kabar rindu diammu sekarang. Mungkinkah ada
gerimis yang turun di matamu karena masalalu. Mungkin juga kaubertanya enyah
tentang rindu yang salah kaueja milik siapa. Hanya itu yang bisa kuterka ketika
kenangan jingga menyapa dengan nyala
suar mega dahsyat.
Rindu itu memang benar, prihal yang tak perlu
diberi nama. Biarkan saja rindu bersembunyi di balik debar sambil
berandai-andai. Biarlah bisikan debarnya terus-menerus melarung tanya lima kali
dalam lima waktu. Biarkan saja menjadi desau angin yang gerimis di
sunyi malam berkelip bintang bersama selengkung bulan. Biarkan saja hening
tanpa sapa, rindu mencuri wajah dalam bayang imaji mata. Terima kasih kautelah mengajariku
tentang diam. Namun janganlah sesekali bertanya ketika diamku berumur panjang.
Aku takut memberi jawaban padamu karena jawaban yang ada hanya membuatmu harus
menunggu.
Tentang rindu, dan
diam di antara kita, mungkin, berbeda harapan. Namun, bukan
berarti semua tak punya pinta. Meskipun diam saja semua akan terus bernyawa
menjalarkan segala perasaan. Rindu akan pasrah menyambut nasib karena tiada
yang lebih menyakitkan bila setabah karang. Sebab, rindu bukan sekadar arti kata yang di dalam
ensiklopedia. Rindu adalah segala-galanya harapan bagi insan yang tercekal peta
kehidupan. Bersama rindu yang mendekam inilah aku diam tak terkata. Hidup dalam
segudang tanya yang menulis kalimatnya dalam kepala. Kaujuga demikian, kan? Menyuarakannya
dalam kepala menulisi kata demi kata dengan tanya yang serupa.
Masihkah kaubetah diam
karena banyak diam yang berkepanjangan? Semoga kaubetah, dan tak lupa pada
sungguh yang kaubutuh dari hati yang utuh. Mungkin kautak menginginkan jiwa
yang bersungguh ini karena prihal menunggumu bukan memaknai itu. Biarlah nanti
palung hatimu yang menjejakinya untuk mencari tahu kenyamanan tempat di mana
kaumemilih menetap. Rindukan berpadu
meski butuh waktu, dan tak menentu pada siapa memilih temu.
Bersambung.......
Tanjungpinang,
20 Maret 2017