Jumat, 17 Februari 2017

SENASIB ANGIN (SENJA)



Bolehkah sejenak aku masuk ke duniamu?

Sudah lama kaujatuh cinta pada senja, pada semua pernik langit yang melukiskan keindahan di kala mentari perlahan surut di ujung cakrawala dan menawarkan kebahagian. Begitu pun kaumenyempatkan diri untuk sendiri menghadiri senja hampir setiap hari. Sepertinya kau sedang memahami tentang teori kebencian, impian, kenangan juga kerinduan. Namun semua yang terpapah membuat hatimu berdenyut seolah-olah bernanah. Lantas dalam pikiranmu melogikan fakta, tetap berdiri, dan berbicara diam dengan segelintir tanya tentang sebuah nama yang kausemat dalam doa.

Masih dalam periode senja kelabumu tanpa episode baru. Suatu hari di Februari kala senja yang terus kauhadiri hampir setiap hari, menyapamu dengan merdu, dan kembali menawarkan kebahagian. Tanpa penolakan seribu alasan, sebuah kejadian yang sudah terbiasa kaurasakan nasibnya senasib angin. Kausambut dengan harapan yang jelas sudah kautahu bakal semu. Kaumemang tak bergerak kemanapun akan tetapi; hati dan pikiranmu tetap berlayar melintasi samudera kebencian sekadar bertujuan menjemput kenangan yang menjadi impian bakal terulang.

Masih juga dalam periodemu yang sama dengan episode serupa. Antara ada dan tiada, rindu masih terus mengunjungi hati dan pikiranmu yang sudah tak tertanggungkan lagi rasanya. Senja pun mengingatkanmu untuk tetap tidak lupa memberi kesempatan pada hati dan pikiranmu untuk berlayar kembali di sore hari. Kaupun pasrah dan berserah, membiarkan senja mengatur skenario drama kosongmu yang setiap harinya disaksikan lembayung jingga hingga langit menua renta tak sanggup kaucegah. Kautersenyum, juga sesekali menitikan airmata, dan yang kaurasakan hanya nasib senasib angin.

Masih dalam periode yang sama tanpa episode yang berbeda. Teorimu mulai rapuh dan dalam sekejap hatimu runtuh, mulai merangkai aksara menjadi bicara tentang tanya besar antara hati dan pikiranmu yang janggal. Pertanyaan yang ada tak satupun mampu kaujawab dengan sederhana. Kauhanyut dalam mega rindu akan kenangan yang bergelombang, memintamu berlayar kembali melintasi samudera kebencian. Kau tak bisa menolaknya, hingga jiwamu menyebrang jauh dalam angan pertemuan yang kau rindukan. Pertemuan yang selalu kau harapkan itu adalah pertemuan yang kau sendiri tak tahu pada siapa kau akan bertemu, entah seseorang di masa lalu atau akan ada orang baru.

Alangkah hebatnya senja mengajak hati dan pikiranmu berlayar tak bernahkoda. Kiranya kau akan tersesat di setiap harinya, namun kau selalu kembali dengan selamat menyambut pekat malam yang dahsyat. Semoga kau terus bahagia sebagai pelakon senja drama kosong lembayung jingga, hingga periode kelabumu usai dan kau tata episode baru sampai menuju surge.
Aku pamit untuk kembali keluar dari duniamu, terima kasih telah mengizinkanku masuk sejenak untuk merasakan hal yang sama, merasakan nasib senasib angin.

Tanjung Batu, 16 Februari 2017
Bersambung.......



*Tulisan ini ditulis untuk orang-orang yang menyukai senja dan menikmati setiap pernak-pernik langit jingga. Ada sebagian dari mereka yang menceritakan kepada bahwa betapa berartinya senja di dalam hidupnya yang mampu membuat hidup menjadi damai, tenang, dan membahagiakan meskipun terkadang hanya sebatas kerinduan dan khayalan. Bagi mereka senja adalah tempat menuangakan rasa yang tak berujar kata belaka. Senja tak pernah mengingkari janji bahwa Ia selalu kembali. Sungguh, senja tetap hadir meskipun terkadang badai berusaha menghalanginya, Ia tetap datang tepat waktu dan pergi tanpa ragu. Begitulah senja, indah tanpa perhiasan, mengagumkan, mendamaikan segala rasa serta melapangkan pikiran dan mengajari kita untuk tetap bersyukur padaNya.