Kamis, 09 Maret 2017

BETAH

SENASIB ANGIN #4

“Hai, adakah ingatan yang ingin kaubagi ceritanya? Aku melihatmu hampir setiap hari selalu mengisyaratkan mata menatap jauh tanpa batas” tanyaku.

Sejenak suasana menjadi hening. Keadaan tak berubah. Mungkin saja caraku menyapamu salah hingga kau tak berkenan menjawab, hanya menoleh sejenak lalu kembali berpaling. Mengapa tidak memilih pergi saja, atau mengusirku?
Hasil gambar untuk wanita dan pria senja
Sepertinya kau malu atau memang sengaja tak ingin mengadu. Tak apa, karena aku adalah orang yang tak pantas tahu. Mungkin ada baiknya kita berteman seperti ini, berteman dengan keadaan, menikmatinya dalam diam, dan mungkin juga perasaan yang sama –rindu dan menunggu.

Setiap harinya selalu begitu. Kau dengan kesibukan menatap jauh, dan aku hanya disibukkan memerhatikanmu. Jarak yang terlipat tak membuat kita saling bicara. Rasanya begitu  menarik, mengenalimu dalam situasi seperti ini, dan kau mengenaliku dengan keadaan yang begini. Nyata namun tak ada, ada namun tak nyata. Sebetah itukah kita?

Apa yang sebenarnya sedang terjadi denganmu? Aku menghirup aroma rindumu yang sedang menuggu seseorang. Mungkin saja ada seseorang yang begitu berartinya bagimu. Seseorang yang pernah bahkan masih menjanjikan sesuatu padamu. Hanya saja ada jarak yang tak terlipat atau temu yang alpa, bahkan bisa jadi kau tersia sendiri menanggung tanpa kepastiannya. Isyarat matamu bercerita seperti itu. Aku hanya berpesan “bersabarlah” meskipun kau tak peduli.

Bolehkah aku bercerita sedikit saja?

“Aku pernah mendengarkan sebuah cerita dari seorang teman perempuanku. Dia telah menyesali sebuah kata ‘sepakat’. Sepakat yang membuat dirinya betah melipur lara dengan tanya tanpa suara. Dia mengakui cintanya, tapi tak juga tiba seseorang yang sudah mengajarinya untuk sepakat, bahkan hingga bertahun-tahun lamanya. Dia memilih bertahan karena rasa cintanya yang begitu besar. Membuat dirinya tak berkutik melawan arah yang menggantungkan harapan. Padahal dia sadar bahwa jarak sudah berbicara banyak tentang kisahnya, tetapi dia tetap memilih tersenyum, dan bertahan. Dia tidak mengurung dirinya, dan larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Perempuan itu juga bercerita, dan berpesan kepadaku, jauh lebih baik memulai rindu, dan menunggu tanpa memulai cinta, daripada memulai cinta, dan sepakat tapi yang didapat hanya gelap yang pekat menganakkan rindu dalam sebuah tunggu” begitulah ceritanya.

Cerita itu sepertinya hampir sama denganmu. Mungkin kau telah sepakat untuk mengikat hingga takdir tak tercatat. Aku mungkin sedikit beruntung darimu, karena yang aku rasakan hanya prihal rindu, dan menunggu tanpa sepakat, bahkan tanpa sepengetahuan. Namun keberuntungan itu tak juga mampu meredamkan rasa yang menggebu. Tetap saja hujan di mataku sesekali deras bila malam mengingatkanku tentang sebuah nama.

Demikianlah rindu dan menunggu. Baik dengan kesepakatan atau tidak, sesekali pasti di dalam hidup ini menjadi mendung yang menghujani mata. Namun tanpa disadari kita tetap saja masih betah. Begitulah perasaan, jika tanpa alasan, maka ia tetap juga betah menetap.

Terima kasih untuk sore ini. Kau betah mendengar celotehku meskipun enggan menoleh dan berkata satu katapun. Setidaknya aku sudah berbagi supaya senja tidak bosan melihat kita yang selama ini memiilih diam. Semoga saja di lain waktu, kau berubah pikiran dan kita bisa bertukar cerita tentang kabar-kabar sunyi prihal rindu, dan menunggu.
***

Aku sudah menyiapkan banyak pertanyaan. Demi rindu yang kunantikan dalam sebuah tunggu yang masih kupertahankan. Aku masih berjuang untuk sebuah kepastian di depan pintu keberangkatan sebelum benar-benar aku menuju ke rumahmu. Kita pernah –berbagi untuk sebuah cerita yang mengundang kenangan– saling menguatkan.

Semalam, aku melihatmu masih enggan bicara meskipun aku memulai cerita tentang seorang teman perempuanku. Kautahu siapa dia, jika aku harus menjelaskannya lagi mungkin akan kuberi nama yang tak ubah sebutannya adalah namamu. Pernahkah kau ingat sebelum, dan setelah diam menjadi teman baik kita, apakah kaudapat menyiratkan tentang sebuah perasaan yang kujaga untuk siapa. Mungkin hanya aku yang berpikir demikian sehingga suara di kepalamu tak mampu menerka setiap bentuk kenangan yang diucap mata.

Aku mengerti. Bagimu melupakan adalah tindakan yang paling kejam. Kau sadar akan semua itu namun kau masih dalam naungan yang tak lantas membuatmu keluar. Demikianlah rindumu yang kesepian pada sebuah tunggu yang terabaikan olehnya. Kau berusaha menagih pertemuan yang dijanjikan namun yang sering terjadi padamu adalah ganjil yang tak tergenapi.

Aku sedang membicarakanmu tentang harapan yang selalu cemas, dan mimpi pertemuan dalam sebuah tunggu yang betah. Kita sama-sama betah untuk tujuan yang berbeda dengan prihal yang sama. Arahku padamu yang berlawanan dengan arahmu. Nyeri yang serupa memaksa kita memelihara kupu-kupu yang terus menari indah di pelupuk mata. Menghabiskan waktu untuk membayangkan kisah-kisah senasib angin. Terasa ngilu di dada saat aku mencoba membenarkan firasatmu yang meniadakan kita.

Aku ingin tinggal di hatimu tapi aku sadar melodi terindahmu bukanlah aku. Mungkin kaubutuh waktu untuk kembali mengeja firasatmu. Semoga kau tak lupa, diam dalam bentuk bicaraku adalah cara bagaimana aku menulis rasa untukmu sampai saat kaumampu membacanya.

Kau tak perlu tergesah-gesah memaknaiku karena akan ada percuma jika kau tak benar-benar paham. Aku tak sehebat dia, jadi kau butuh waktu untuk menerjemahkan rasa agar firasatmu tak salah. Sebab, aku masih betah menunggu akan kesiapanmu untuk benar-benar sembuh karena aku tak ingin menjadi penyebab luka barumu di kemudian hari. Kaupaham keinginan terbesarku adalah mewujudkanmu yang entah kapan kauberi kesempatan itu padaku. Masih memungkinkan bukan? Meskipun betahmu masih bersandar pada sepakat yang telah lalu.