SENASIB ANGIN #4
“Hai,
adakah ingatan yang ingin kaubagi ceritanya? Aku melihatmu hampir setiap hari
selalu mengisyaratkan mata menatap jauh tanpa batas” tanyaku.
Sejenak
suasana menjadi hening. Keadaan tak berubah. Mungkin saja caraku menyapamu
salah hingga kau tak berkenan menjawab, hanya menoleh sejenak lalu kembali
berpaling. Mengapa tidak memilih pergi saja, atau mengusirku?
Sepertinya
kau malu atau memang sengaja tak ingin mengadu. Tak apa, karena aku adalah
orang yang tak pantas tahu. Mungkin ada baiknya kita berteman seperti ini, berteman
dengan keadaan, menikmatinya dalam diam, dan mungkin juga perasaan yang sama
–rindu dan menunggu.
Setiap
harinya selalu begitu. Kau dengan kesibukan menatap jauh, dan aku hanya disibukkan
memerhatikanmu. Jarak yang terlipat tak membuat kita saling bicara.
Rasanya begitu menarik, mengenalimu
dalam situasi seperti ini, dan kau mengenaliku dengan keadaan yang begini.
Nyata namun tak ada, ada namun tak nyata. Sebetah itukah kita?
Apa
yang sebenarnya sedang terjadi denganmu? Aku menghirup aroma rindumu yang
sedang menuggu seseorang. Mungkin saja ada seseorang yang begitu berartinya
bagimu. Seseorang yang pernah bahkan masih menjanjikan sesuatu padamu. Hanya
saja ada jarak yang tak terlipat atau temu yang alpa, bahkan bisa jadi kau
tersia sendiri menanggung tanpa kepastiannya. Isyarat matamu bercerita seperti
itu. Aku hanya berpesan “bersabarlah” meskipun kau tak peduli.
Bolehkah
aku bercerita sedikit saja?
“Aku
pernah mendengarkan sebuah cerita dari seorang teman perempuanku. Dia telah
menyesali sebuah kata ‘sepakat’. Sepakat yang membuat dirinya betah melipur
lara dengan tanya tanpa suara. Dia mengakui cintanya, tapi tak juga tiba
seseorang yang sudah mengajarinya untuk sepakat, bahkan hingga bertahun-tahun
lamanya. Dia memilih bertahan karena rasa cintanya yang begitu besar. Membuat
dirinya tak berkutik melawan arah yang menggantungkan harapan. Padahal dia
sadar bahwa jarak sudah berbicara banyak tentang kisahnya, tetapi dia tetap
memilih tersenyum, dan bertahan. Dia tidak mengurung dirinya, dan larut dalam
kesedihan yang berkepanjangan. Perempuan itu juga bercerita, dan berpesan
kepadaku, jauh lebih baik memulai rindu, dan menunggu tanpa memulai cinta, daripada
memulai cinta, dan sepakat tapi yang didapat hanya gelap yang pekat menganakkan
rindu dalam sebuah tunggu” begitulah ceritanya.
Cerita
itu sepertinya hampir sama denganmu. Mungkin kau telah sepakat untuk mengikat
hingga takdir tak tercatat. Aku mungkin sedikit beruntung darimu, karena yang
aku rasakan hanya prihal rindu, dan menunggu tanpa sepakat, bahkan tanpa
sepengetahuan. Namun keberuntungan itu tak juga mampu meredamkan rasa yang
menggebu. Tetap saja hujan di mataku sesekali deras bila malam mengingatkanku
tentang sebuah nama.
Demikianlah
rindu dan menunggu. Baik dengan kesepakatan atau tidak, sesekali pasti di dalam
hidup ini menjadi mendung yang menghujani mata. Namun tanpa disadari kita tetap
saja masih betah. Begitulah perasaan, jika tanpa alasan, maka ia tetap juga
betah menetap.
Terima
kasih untuk sore ini. Kau betah mendengar celotehku meskipun enggan menoleh dan
berkata satu katapun. Setidaknya aku sudah berbagi supaya senja tidak bosan
melihat kita yang selama ini memiilih diam. Semoga saja di lain waktu,
kau berubah pikiran dan kita bisa bertukar cerita tentang kabar-kabar
sunyi prihal rindu, dan menunggu.
***
Aku
sudah menyiapkan banyak pertanyaan. Demi rindu yang kunantikan dalam sebuah
tunggu yang masih kupertahankan. Aku masih berjuang untuk sebuah kepastian di
depan pintu keberangkatan sebelum benar-benar aku menuju ke rumahmu. Kita
pernah –berbagi untuk sebuah cerita yang mengundang kenangan– saling
menguatkan.
Semalam,
aku melihatmu masih enggan bicara meskipun aku memulai cerita tentang seorang
teman perempuanku. Kautahu siapa dia, jika aku harus menjelaskannya lagi
mungkin akan kuberi nama yang tak ubah sebutannya adalah namamu. Pernahkah kau
ingat sebelum, dan setelah diam menjadi teman baik kita, apakah kaudapat
menyiratkan tentang sebuah perasaan yang kujaga untuk siapa. Mungkin hanya aku
yang berpikir demikian sehingga suara di kepalamu tak mampu menerka setiap
bentuk kenangan yang diucap mata.
Aku
mengerti. Bagimu melupakan adalah tindakan yang paling kejam. Kau sadar akan
semua itu namun kau masih dalam naungan yang tak lantas membuatmu keluar.
Demikianlah rindumu yang kesepian pada sebuah tunggu yang terabaikan olehnya.
Kau berusaha menagih pertemuan yang dijanjikan namun yang sering terjadi padamu
adalah ganjil yang tak tergenapi.
Aku
sedang membicarakanmu tentang harapan yang selalu cemas, dan mimpi pertemuan
dalam sebuah tunggu yang betah. Kita sama-sama betah untuk tujuan yang
berbeda dengan prihal yang sama. Arahku padamu yang berlawanan dengan arahmu.
Nyeri yang serupa memaksa kita memelihara kupu-kupu yang terus menari
indah di pelupuk mata. Menghabiskan waktu untuk membayangkan kisah-kisah
senasib angin. Terasa ngilu di dada saat aku mencoba membenarkan firasatmu yang
meniadakan kita.
Aku
ingin tinggal di hatimu tapi aku sadar melodi terindahmu bukanlah aku. Mungkin
kaubutuh waktu untuk kembali mengeja firasatmu. Semoga kau tak lupa, diam dalam
bentuk bicaraku adalah cara bagaimana aku menulis rasa untukmu sampai saat
kaumampu membacanya.
Kau
tak perlu tergesah-gesah memaknaiku karena akan ada percuma jika kau tak
benar-benar paham. Aku tak sehebat dia, jadi kau butuh waktu untuk
menerjemahkan rasa agar firasatmu tak salah. Sebab, aku masih betah menunggu
akan kesiapanmu untuk benar-benar sembuh karena aku tak ingin menjadi penyebab
luka barumu di kemudian hari. Kaupaham keinginan terbesarku adalah mewujudkanmu
yang entah kapan kauberi kesempatan itu padaku. Masih memungkinkan bukan?
Meskipun betahmu masih bersandar pada sepakat yang telah lalu.