SENASIB ANGIN #7 JILID 2
Bila hatimu butuh
didengarkan oleh sungguh. Satu-satunya yang tersisa hanyalah goresan sebagai
prasasti kesendirian. Aku pernah berdiri di tempat yang paling kauhindari. Pada
ratapan panjangku kala itu jadi penguat akan kepasrahan yang begitu lapang
untuk mengisahkan kembali kenangan. Deteriorasi yang kurasakan tak begitu
menyenagkan. Mencari kehilangan untuk menemui perpisahan menuju ruang
kekosongan. Namun aku tetap menghadapinya, menjalaninya meskipun bukan dalam
bentuk cerita yang pernah ada.
Apakah kaumasih ingat pada senja yang
menenggelamkan matahari di matamu? Kaubegitu bersemangat mengata purnama akan
tiba menerangimu di malam yang pekat. Sungguh, cerita itu masih kuingat saat
kaubicara lepas tentang kenanganmu. Tentang sesosok yang mengajarimu untuk
belajar menafkahi kenangan. Nmaun pernahkah kauberpikir tentang kesia-siaan
yang perlahan merebut hatimu dalam ketidaktahuan. Adalah aku yang jatuh padamu
dalam kesenandungan yang terdengar sumbang di telingamu. Mungkin kau terheran,
dan tidak mampu berpikir rasional karena kedalaman hati yang tidak tergali.
Sungguh, ini teramat memilukan.
Bisakah kaubayangkan? Melarung sepi dalam keadaan yang tidak sepadan. Mengapa
kenangan yang selalu jadi pilihan? Bukankah ia sudah menjelaskan semua tentang
ketidakmungkinan? Mengapa masih selalu saja mencari jalan pulang? Maaf, aku
tidak bermaksud memaksamu untuk menghindari kenangan atau membunuhnya. Aku
hanya ingin kita menghadapinya bersama kerelaan. Bukankah kaupernah bercerita
padaku tentang jawaban dari Ibumu saat kaubertanya
“Bagaimana caranya aku lari dari tajamnya kenangan, Bu?”
Ibu tersenyum, “jangan lari, hadapi”
Ibu tersenyum, “jangan lari, hadapi”
“tapi aku takut jika
kenangan ini kelak akan membunuhku…”
“jangan takut, Nak, tak ada yang bisa menyakitimu selain kau izinkan” kata
Ibumu sambil mengusap kepalamu.
Semua memang bukan tentang kita. Semua
memang berbeda. Sama dalam tajuk kenangan, beda dalam bentuk cerita. Sebab itu
jangan jadikan kita sebagai satu ragu yang mengumpul menjadi K.I.T.A, jangan! Karena
aku ingin kita belajar melukis kembali dengan warna yang tidak lagi menyertakan
abu-abu.
Kauperlu tahu; aku masih dalam satu
tujuan yang tak tertemukan jalan. Kaupaham dalam bentuk bicaraku yang diam.
Kaumembaca setiap tulisan yang kutorehkan. Sejumlah kata yang kaumaknai besar
dalam perasaan yang mengabstraksikan hati mewarnai ketiadaan. Namun kaumasih enggan
bertegur harapan padaku. Aku tahu, melumpuhkan kenangan memang tidak semudah
yang dibayangkan. Apalagi harus melupakan yang teramat disayang. Namun, apakah
aku salah menghipotesiskan perasaanmu dalam dialektika hati dan pikiranku?
Aku merasakan sesuatu yang berusaha
kaucegah. Mungkin kauingin mematahkannya karena perbedaan yang ada. Sungguh,
aku merasakan itu tanpa bantahan hati yang sadar bahwa sakit itu perih. Namun,
bukankah ketulusan adalah tabah untuk cinta yang berada di antara lukanya?
Lantas, mengapa masih enggan bertegur harap denganku? Apa kaumasih ingin
menjaga diri dengan bersembunyi seperti itu? Ahkh…. Aku terlalu banyak bertanya
sehingga aku lupa diri bahwa hingga detik ini juga aku sendiri belum
memulainya. Entahlah, aku tidak mengerti. Aku tidak benar-benar paham dengan apa
yang kita lakukan. Semua bukan tanpa alasan hanya saja kita tidak mampu menjelaskannya.
Maafkan aku yang hanya bisa seperti
ini. Membiarkan namamu menjadi kata yang paling difavoritkan tinta. Menulisi semua
prasasti hati yang kurasakan bersama besarnya harap yang tak terlihat. Aku
hanya ingin menjaga kita agar tidak menjadi K.I.T.A. Ada juga yang perlu
kautahu; aku menjaga diriku karena tidak ingin melihatmu ketika melihatku
seperti melihat kaca tebal yang buram. Sebab, dalam doaku, aku melihatmu
melambai-lambai dengan tersenyum, dan itu sungguh menguatkanku dalam berupaya
ingin mewujudkan kebahagianmu. Mungkin itu hanya sekadar ilusi namun tidak ada salahnya
jika itu suatu waktu menjadi nyata di antara kita.
Kita memang mendengarkan yang tak
terucap. Biarkanlah semua itu lewat isyarat yang setabah embun menjelaskan ke
kita tentang semesta yang mengatur rencana masa depan atas izin Tuhan. Sebab,
setiap tatap selalu berbatas juga setiap jatuh tidak pernah sekejap begitu pun
setiap harap tidak harus terucap.
Aku mencintaimu tanpa riwayat pun
bukan karena pernah tersirat dari tangan yang saling jabat. Padamulah kujtuh
hti meskipun telah menyadari hati yang kita miliki telah hancur berserakan
karena kenangan. Sepi, dan begitu asing. Pada akhirnya segala rasa yang kita
rasakan di antara benar, dan tidaknya firasat hanya menjadi residu hati yang
terus berdansa di jemari dalam anafora semoga.
Bersambung.......
Tanjungpinang, 06 April 2017