Sabtu, 22 April 2017

RESIDU HATI, K.I.T.A

SENASIB ANGIN #7 JILID 2

Bila hatimu butuh didengarkan oleh sungguh. Satu-satunya yang tersisa hanyalah goresan sebagai prasasti kesendirian. Aku pernah berdiri di tempat yang paling kauhindari. Pada ratapan panjangku kala itu jadi penguat akan kepasrahan yang begitu lapang untuk mengisahkan kembali kenangan. Deteriorasi yang kurasakan tak begitu menyenagkan. Mencari kehilangan untuk menemui perpisahan menuju ruang kekosongan. Namun aku tetap menghadapinya, menjalaninya meskipun bukan dalam bentuk cerita yang pernah ada.

Apakah kaumasih ingat pada senja yang menenggelamkan matahari di matamu? Kaubegitu bersemangat mengata purnama akan tiba menerangimu di malam yang pekat. Sungguh, cerita itu masih kuingat saat kaubicara lepas tentang kenanganmu. Tentang sesosok yang mengajarimu untuk belajar menafkahi kenangan. Nmaun pernahkah kauberpikir tentang kesia-siaan yang perlahan merebut hatimu dalam ketidaktahuan. Adalah aku yang jatuh padamu dalam kesenandungan yang terdengar sumbang di telingamu. Mungkin kau terheran, dan tidak mampu berpikir rasional karena kedalaman hati yang tidak tergali.

Sungguh, ini teramat memilukan. Bisakah kaubayangkan? Melarung sepi dalam keadaan yang tidak sepadan. Mengapa kenangan yang selalu jadi pilihan? Bukankah ia sudah menjelaskan semua tentang ketidakmungkinan? Mengapa masih selalu saja mencari jalan pulang? Maaf, aku tidak bermaksud memaksamu untuk menghindari kenangan atau membunuhnya. Aku hanya ingin kita menghadapinya bersama kerelaan. Bukankah kaupernah bercerita padaku tentang jawaban dari Ibumu saat kaubertanya

“Bagaimana caranya aku lari dari tajamnya kenangan, Bu?”
Ibu tersenyum, “jangan lari, hadapi”
“tapi aku takut jika kenangan ini kelak akan membunuhku…”
“jangan takut, Nak, tak ada yang bisa menyakitimu selain kau izinkan” kata Ibumu sambil mengusap kepalamu.

Semua memang bukan tentang kita. Semua memang berbeda. Sama dalam tajuk kenangan, beda dalam bentuk cerita. Sebab itu jangan jadikan kita sebagai satu ragu yang mengumpul menjadi K.I.T.A, jangan! Karena aku ingin kita belajar melukis kembali dengan warna yang tidak lagi menyertakan abu-abu.

Kauperlu tahu; aku masih dalam satu tujuan yang tak tertemukan jalan. Kaupaham dalam bentuk bicaraku yang diam. Kaumembaca setiap tulisan yang kutorehkan. Sejumlah kata yang kaumaknai besar dalam perasaan yang mengabstraksikan hati mewarnai ketiadaan. Namun kaumasih enggan bertegur harapan padaku. Aku tahu, melumpuhkan kenangan memang tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi harus melupakan yang teramat disayang. Namun, apakah aku salah menghipotesiskan perasaanmu dalam dialektika hati dan pikiranku?

Aku merasakan sesuatu yang berusaha kaucegah. Mungkin kauingin mematahkannya karena perbedaan yang ada. Sungguh, aku merasakan itu tanpa bantahan hati yang sadar bahwa sakit itu perih. Namun, bukankah ketulusan adalah tabah untuk cinta yang berada di antara lukanya? Lantas, mengapa masih enggan bertegur harap denganku? Apa kaumasih ingin menjaga diri dengan bersembunyi seperti itu? Ahkh…. Aku terlalu banyak bertanya sehingga aku lupa diri bahwa hingga detik ini juga aku sendiri belum memulainya. Entahlah, aku tidak mengerti. Aku tidak benar-benar paham dengan apa yang kita lakukan. Semua bukan tanpa alasan hanya saja kita tidak mampu menjelaskannya.

Maafkan aku yang hanya bisa seperti ini. Membiarkan namamu menjadi kata yang paling difavoritkan tinta. Menulisi semua prasasti hati yang kurasakan bersama besarnya harap yang tak terlihat. Aku hanya ingin menjaga kita agar tidak menjadi K.I.T.A. Ada juga yang perlu kautahu; aku menjaga diriku karena tidak ingin melihatmu ketika melihatku seperti melihat kaca tebal yang buram. Sebab, dalam doaku, aku melihatmu melambai-lambai dengan tersenyum, dan itu sungguh menguatkanku dalam berupaya ingin mewujudkan kebahagianmu. Mungkin itu hanya sekadar ilusi namun tidak ada salahnya jika itu suatu waktu menjadi nyata di antara kita.

Kita memang mendengarkan yang tak terucap. Biarkanlah semua itu lewat isyarat yang setabah embun menjelaskan ke kita tentang semesta yang mengatur rencana masa depan atas izin Tuhan. Sebab, setiap tatap selalu berbatas juga setiap jatuh tidak pernah sekejap begitu pun setiap harap tidak harus terucap.

Aku mencintaimu tanpa riwayat pun bukan karena pernah tersirat dari tangan yang saling jabat. Padamulah kujtuh hti meskipun telah menyadari hati yang kita miliki telah hancur berserakan karena kenangan. Sepi, dan begitu asing. Pada akhirnya segala rasa yang kita rasakan di antara benar, dan tidaknya firasat hanya menjadi residu hati yang terus berdansa di jemari dalam anafora semoga.


Bersambung.......
Tanjungpinang, 06 April 2017