Sabtu, 25 Februari 2017

KEAJAIBAN WAKTU

SENASIB ANGIN #2

Hasil gambar untuk Wanita sendiri di senja
Add caption
Ada perundingan antara hati dengan pikiranmu. Semua perundingan hanya bertumpu pada sekumpulan rindu dan menunggu. Sebuah Monolog singkat yang membuatmu sesak. Kemudian yang kaudapati hanyalah nasib senasib angin yang dengan mudahnya menghujani kedua bola matamu.

Kau masih menunggu. Seseorang yang pernah menjanjikanmu sebuah istana terindah di hatinya. Namun seseorang itu seolah berlibur kabur tanpa enggan mengukur dosis rindumu yang babakbelur. Segenap hati dan pikiranmu pun hancur merasakan nasib senasib angin. Namun kau tetap mencoba untuk terus mencatat namanya di setiap halaman baru bukumu, sebagai lembar alasan bahwa kau masih menunggu. Kau tak pernah peduli meskipun yang membaca buku itu hanyalah rindu.

Sebenarnya kau tahu, prihal menunggu tak ubahnya dengan rasa secangkir kopi yang menagih gula untuk diaduk kembali. Namun kau tak peduli, bahkan kau sanggup menjadi kemarau yang bersikeras terjaga hingga larut menunggu hujan tanpa kepastian. Lantas hujan yang menjadi penantianmu hanya bayangnya yang merintik di kepala dan mengalir di kelopak matamu. Tinggallah Rindu dalam dahaga temu yang menjadi menu waktu yang terus-menerus menawar getir pilu padamu.

Kau kehilangan, lantas perayaan yang menjadi kenangan tak cukup juga mengubah perasaanmu. Padahal kau tak berpura-pura sadar. Namun segenap hati yang terus bicara atas pesakitan tak mengubah alam pikiranmu untuk tetap berpegang teguh, menunggu. Bebanmu yang begitu berat, tapi kau tak pucat memahatnya meskipun tidurmu tak lagi nyenyak.

Kau selalu bersedia siap dengan berjuta harap akan segera cepat kau temui sebuah jawab. Namun yang kau dapat hanyalah menatap bayangan yang menetap membuat bibirmu gagap berucap. Kau tak menemukan cara apapun untuk menyelamatkan perasaanmu yang kehilangan alamat. Sungguh, kau bisa sesabar itu hidup dalam bujuk semu merasakan nasib senasib angin.

Ketidahtahuannya tentang dirimu yang kerap membantah prihal melupakan, tak juga sanggup membuatmu menghindar dari harapan yang sejak lama terabaikan. Pahit perpisahan tak lagi jadi pertimbangan, bahkan janjinya yang hilang tak kau beri nama penghianatan. Sungguh, kisahmu tak kau sebut malang meski kau telah hidup berjalan pincang terpatahkan harapan. Kau selalu membicarakannya padaNya, tentang harapan yang cemas dan kerinduan yang mengangankan pertemuan.

Kerinduan yang kau rasakan sama persis dengan cuaca yang membekukan peluk ketika dingin dan melelehkan airmata saat kemarau. Kerinduan dan harapanmu yang telah menyatu itu seringkali bertentangan dengan pikiranmu yang sudah bosan. Namun hatimu masih menguatkan hingga monolog perundingan pun tak berkesudahan, sebab kau tak mampu memberi keputusan untuk langkah yang terasingkan tujuan.

Kau tak peduli dengan pertengkaran hati dan pikiranmu. Rindu memang tak kenal waktu. Hanya mampu diucap oleh mata ketika yang datang hanya sebatas wajahnya yang merona lalu hilang. Pada bayangnya itu pula kau salah mengeja makna sehingga tanpa sungkan kau meminjam kesedihan berkepanjangan.

Sudah terlalu lama kau menderita. Penderitaan yang ada kau jadikan indah. Matamu yang tak pernah lelah berkaca-kaca, merasakan nasib senasib angin. Namun semua itu justru membuat rindu dan prihal menunggumu betah menginap dalam sajak doa yang kau harapkan keajaiban waktu dari-Nya.

Tanjungpinang, 24 Februari 2017

Bersambung.....




Jumat, 17 Februari 2017

SENASIB ANGIN (SENJA)



Bolehkah sejenak aku masuk ke duniamu?

Sudah lama kaujatuh cinta pada senja, pada semua pernik langit yang melukiskan keindahan di kala mentari perlahan surut di ujung cakrawala dan menawarkan kebahagian. Begitu pun kaumenyempatkan diri untuk sendiri menghadiri senja hampir setiap hari. Sepertinya kau sedang memahami tentang teori kebencian, impian, kenangan juga kerinduan. Namun semua yang terpapah membuat hatimu berdenyut seolah-olah bernanah. Lantas dalam pikiranmu melogikan fakta, tetap berdiri, dan berbicara diam dengan segelintir tanya tentang sebuah nama yang kausemat dalam doa.

Masih dalam periode senja kelabumu tanpa episode baru. Suatu hari di Februari kala senja yang terus kauhadiri hampir setiap hari, menyapamu dengan merdu, dan kembali menawarkan kebahagian. Tanpa penolakan seribu alasan, sebuah kejadian yang sudah terbiasa kaurasakan nasibnya senasib angin. Kausambut dengan harapan yang jelas sudah kautahu bakal semu. Kaumemang tak bergerak kemanapun akan tetapi; hati dan pikiranmu tetap berlayar melintasi samudera kebencian sekadar bertujuan menjemput kenangan yang menjadi impian bakal terulang.

Masih juga dalam periodemu yang sama dengan episode serupa. Antara ada dan tiada, rindu masih terus mengunjungi hati dan pikiranmu yang sudah tak tertanggungkan lagi rasanya. Senja pun mengingatkanmu untuk tetap tidak lupa memberi kesempatan pada hati dan pikiranmu untuk berlayar kembali di sore hari. Kaupun pasrah dan berserah, membiarkan senja mengatur skenario drama kosongmu yang setiap harinya disaksikan lembayung jingga hingga langit menua renta tak sanggup kaucegah. Kautersenyum, juga sesekali menitikan airmata, dan yang kaurasakan hanya nasib senasib angin.

Masih dalam periode yang sama tanpa episode yang berbeda. Teorimu mulai rapuh dan dalam sekejap hatimu runtuh, mulai merangkai aksara menjadi bicara tentang tanya besar antara hati dan pikiranmu yang janggal. Pertanyaan yang ada tak satupun mampu kaujawab dengan sederhana. Kauhanyut dalam mega rindu akan kenangan yang bergelombang, memintamu berlayar kembali melintasi samudera kebencian. Kau tak bisa menolaknya, hingga jiwamu menyebrang jauh dalam angan pertemuan yang kau rindukan. Pertemuan yang selalu kau harapkan itu adalah pertemuan yang kau sendiri tak tahu pada siapa kau akan bertemu, entah seseorang di masa lalu atau akan ada orang baru.

Alangkah hebatnya senja mengajak hati dan pikiranmu berlayar tak bernahkoda. Kiranya kau akan tersesat di setiap harinya, namun kau selalu kembali dengan selamat menyambut pekat malam yang dahsyat. Semoga kau terus bahagia sebagai pelakon senja drama kosong lembayung jingga, hingga periode kelabumu usai dan kau tata episode baru sampai menuju surge.
Aku pamit untuk kembali keluar dari duniamu, terima kasih telah mengizinkanku masuk sejenak untuk merasakan hal yang sama, merasakan nasib senasib angin.

Tanjung Batu, 16 Februari 2017
Bersambung.......



*Tulisan ini ditulis untuk orang-orang yang menyukai senja dan menikmati setiap pernak-pernik langit jingga. Ada sebagian dari mereka yang menceritakan kepada bahwa betapa berartinya senja di dalam hidupnya yang mampu membuat hidup menjadi damai, tenang, dan membahagiakan meskipun terkadang hanya sebatas kerinduan dan khayalan. Bagi mereka senja adalah tempat menuangakan rasa yang tak berujar kata belaka. Senja tak pernah mengingkari janji bahwa Ia selalu kembali. Sungguh, senja tetap hadir meskipun terkadang badai berusaha menghalanginya, Ia tetap datang tepat waktu dan pergi tanpa ragu. Begitulah senja, indah tanpa perhiasan, mengagumkan, mendamaikan segala rasa serta melapangkan pikiran dan mengajari kita untuk tetap bersyukur padaNya.