Kamu mulai ragu melupakannya.Hening
yang sekejap di ruang bercahaya remang, kamu mencoba untuk tidak membiarkan
airmatamu tumpah lebih banyak lagi. Kamu yang sudah terbiasa merasakan hal
serupa di setiap malamnya, kali ini seakan tersiksa oleh bayang-bayang sesal
yang mulai menghujani seluruh tubuhmu. Dilema itu mulai menghakimi dalam
keinginan yang sejak lama ingin lekas kamu tuntaskan, melupakannya. Namun,
sebungkus cerita yang menjadi kisahmu dalam sepuluh tahun berpetualang
bersamanya dengan situasi yang beragam-ragam, menjadikanmu lumpuh untuk
beranjak jauh dari beranda kenangan. Kamu kembali berpikir tentang melupakan
yang pada dasarnya hanya ada dalam cerita dongeng. Pada akhirnya kamupun
menunda keinginan yang sejatinya memang takkan pernah terjadi sama sekali.
Di malam itu, kamu
mulai berbicara sendiri kepada dinding kamar yang kerap menemani kesedihanmu.
Bagimu tidak perlu lagi menjelaskan kepadanya tentang bagaimana sakitnya
melawan ketiadaan yang menampar keinginan. Mungkin terlalu banyak barang
kenangan yang membentuk lingkaran di kepalamu. Bayang-bayang yang senantiasa
tanpa ragu mewarisi kisah yang tertulis di buku biru yang sudah kalian letakkan
jauh-jauh dari kehidupan masing-masing.
Haruskah melupakan,
sedangkan kisahnya sudah melekat tanpa sekat. Mungkin saja waktu itu kalian terlalu
cepat mengikat sehingga kalian tidak sependapat lagi dalam melunaskan ambisi yang
sempat jadi alasan sebuah pengharapan. Mungkin juga sampai detik ini kalian masih
terheran, entah apa penyebabnya sehingga perbedaan menjadi penguasa perdebatan
dan mungkin saja kalian gagal paham dengan apa yang sudah kalian rancang. Akhirnya,
hanya bisa terdiam dan menanggung perasaan dalam bahasa yang hanya menjadi
tulisan. Begitulah cara kalian dalam menerka takdir, menulis dengan sederhana
berharap sama-sama membacanya.
Kamu yang kiranya mulai
patah hati. Kini semakin akrab dengan alam dalam keadaan apapun. Kamu menjelma
menjadi sesosok pendiam yang malu menceritakan kisahnya pada teman dan
orang-orang terdekatmu. Semua dimulai semenjak takdir mengutus perubahan yang
sama sekali kamu tidak menduganya dan ketika takdir berubah, kamu hanya
menghadiri senja untuk menghibur hati yang sudah mulai berantakan ruangnya. Senja
yang hanya mampu menceritakan kembali kisah kalian yang telah usang dan membuatmu
nyaman hidup dalam lamunan sambil mengangkat tangan untuk sebuah pengharapan
yang hilang. Tentu saja, nafasmu masih menjadi saksi dan detak jantungmu masih
menjadi bukti meskipun di senja itu yang tersisa hanya segumpal kisah yang
tertinggal dalam keadaan setengah mati. Namun, rindu yang sudah mendekam di
hatimu menjadi kekuatan hati yang sejatinya telah patah.
Di sisi lainnya juga
kamu betah menjadi orang asing yang menikmati angin, hujan, pagi, siang dan
malam. Mungkin saja kamu ingin mengkolaborasikan perasaan yang tersia takdir
dalam kurun waktu yang kamu sendiri tidak tahu sampai kapan. Takdir yang bisa
saja membunuhmu dengan airmata yang menjadi darah, ketika oksigen yang ada
hanya memburu kenangan demi kenangan.
Kamu menikmati angin,
karena angin telah membawamu kembali ke pondok kecil beratap rusak, tempat di
mana kamu bersamanya menikmati senja yang menghubungkan cerita kalian dalam
tawa sebuah pengharapan masa silam. Angin yang kamu jadikan alasan untuk tetap
tersenyum serta bersyukur karena ingatanmu belum sepenuhnya rusak.
Begitu juga logika
hujan yang seringkali membuatmu menangis. Sebab, pasir bergaram yang sempat
meninggalkan jejak kalian perlahan-lahan terhapuskan oleh rintiknya tanpa ampun.
Kamu memang tidak sedang membenci hujan tapi airmatamu tidak dapat berbohong bahwa
kenapa harus hujan, mengapa tidak gerimis. Begitulah hujan yang ingin melihatmu
menangis kerena tidak ada jejak yang abadi biarpun kenangan telah bersemayam
kekal di kehidupan.
Kamu juga menikmati
pagi, karena pagi telah membuatmu hidup kembali meskipun pagi yang kini kamu
lalui setiap hari sudah tidak lagi bersama hadirnya. Namun, bagaimana
tentangnya, tentang kalian. Pastinya, pagi akan selalu mengisi itu semua dengan
tarian indah berbau sendu di kepalamu. Tapi kamu sadar tarian itulah yang
membuatmu tetap tersenyum dan memulai aktifitas apapun dengan ekspresi yang
tidak banyak orang tahu.
Lalu, bagaimana dengan
malam?
Mungkin inilah waktu
yang paling ingin kamu hindari, waktu yang telah menggagalkanmu melupakan
dirinya, waktu yang membuatmu harus menanggung beban perasaan dan waktu yang
tidak bersahabat untuk menlancarkan aktifitasmu yang seharusnya dengan mudah diselesaikan. Malam adalah waktu yang paling
kamu takutkan karena airmata biasanya mengalir tanpa disadari, pikiranmu pun
berlari-lari kemana-kemana, dan hatimu terguncang kembali dengan kejam
mengobrak-abrik isinya yang sudah berantakan menjadi semakin berantakan. Tapi bisa
saja kamu lupa bahwa malam memiliki bagian terpenting dalam hidupmu. Sebab,
malam juga selalu membuatmu tertidur pulas dan menyelamatkanmu dari
teriakan-teriakan kenangan bahkan terkadang mengajakmu mengakat tangan sedada
untuk merajut setiap pengharapan yang mati. Begitulah adanya malam tak
selamanya ia kejam.
Pada hakikatnya, kamu
telah dirundung pilu yang bertubi-tubi. Kemalangan hati yang tiada hentinya,
sesungguhnya menjadikanmu lebih kuat lagi menjalani hidup. Kamu memang perlu
melihat ke belakang meskipun itu butuh kesiapan hati untuk meratapi karena
dengan begitu kamu tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, takdir seperti apa
yang telah kamu dapatkan dan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Melihat ke
belakang adalah langkah di mana semestinya akan melanjutkan perjalanan bahwa
tidak mungkin selamanya hidup akan sama.
Prihal takdir, kamu
tidak perlu protes. Hidup ini sejatinya adil, terkadang ia sengaja membiarkanmu
larut dalam duka supaya nantinya kamu mampu memantapkan diri ketika bahagia
menghampirimu. Bicara tentang takdir memang lucu, takdir memiliki sejumlah
paket yang berbeda. Jadi, Jangan pernah menganggap kisah yang tidak sempurna
itu mati karena di lain waktu kisah itu tetap menghampiri ingatanmu. Mungkin dengan
sengaja dia ingin melihatmu bersedih atau justru ingin melihatmu jadi sesosok
yang kuat, tegar, dan tidak menjadi bisu.
Pada akhirnya apa yang
harus kamu lakukan, hanya memaafkan. Memaafkan kisahnya yang yang sudah membuat
seluruh tubuhmu menikmati pesakitan luar dan dalam. Maafkanlah kisahnya yang
sempat membuatmu menangis karena sebuah pengharapan yang dipatahkan takdir. Jangan
pernah menyalahkan rindu, cinta, dan seluruh perasaan yang dianugerahkan Tuhan.
Sebab, masa depan siapa yang tahu. Mungkin kamu tidak bisa memilikinya,
setidaknya kamu memiliki kisahnya. Dan Begitulah kehidupan, kita perlu
memaafkan semua yang terjadi karena dengan begitu kita akan menjadi pribadi
yang lebih baik lagi.